Benteng Moral Generasi: Saat Syariat Terpinggirkan, Anak-Anak Jadi Korban

Lulu nugroho
0


Ilustrasi Pinterest
Oleh : Welly Okta M



Beritakan.my.id, Opini_ Kasus pelecehan seksual terhadap anak di Simeulue hingga maraknya dispensasi nikah di berbagai daerah seakan menampar wajah bangsa. Di balik angka-angka itu tersimpan rapuhnya benteng moral generasi, lemahnya peran keluarga, dan terpinggirkannya syariat dalam kehidupan. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita membiarkan anak-anak jadi korban?
 Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak masih menjadi perkara dominan yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Simeulue, Aceh. Meski Aceh menerapkan hukum syariat Islam melalui Qanun, khusus untuk perkara ini, pelaku tidak dijatuhi hukuman cambuk, melainkan pidana penjara sesuai hukum nasional.
Hal itu disampaikan Kasubsi I Seksi Intelijen Kejari Simeulue Muhammad Rafiqan. Pria yang akrab disapa Rafi ini menyebutkan sebagian besar kasus yang ditangani kejaksaan di wilayah kepulauan itu melibatkan anak sebagai korban, bahkan tak jarang pelakunya juga anak-anak.

"Kebanyakan kasus-kasus yang ada di Kabupaten Simeulue itu adalah terkait dengan perbuatan pelecehan seksual ataupun pemerkosaan terhadap anak. Itu yang paling sering terjadi selain perkara narkotika," ujar Rafi, dikutip dari detik.com, Jumat (5/9/2025).

Fenomena meningkatnya angka dispensasi nikah di berbagai daerah di Indonesia bukan sekadar deretan statistik yang bisa dilupakan. Ia adalah potret buram dari dunia pendidikan, lingkungan sosial, hingga lemahnya benteng moral generasi muda. Kasus-kasus di Sleman, Jombang, maupun Lamongan memperlihatkan betapa pergaulan bebas, kurangnya pendidikan seksual yang sehat, serta minimnya pengawasan keluarga dan lingkungan telah melahirkan persoalan serius: remaja yang belum matang secara fisik maupun mental terpaksa menikah dini.

Ironisnya, alasan utama di balik pengajuan dispensasi nikah hampir selalu berkutat pada hal yang sama: kehamilan di luar nikah atau ketakutan akan zina. Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan moral, agama, dan seksualitas di sekolah maupun di rumah masih belum mampu menyentuh akar persoalan. Alih-alih memperoleh pemahaman yang benar, banyak remaja justru mendapatkan pengetahuan tentang hubungan seksual dari sumber yang keliru—media sosial, pergaulan sebaya, hingga konten-konten yang tak terkontrol.

Dampaknya tentu tidak sederhana. Pernikahan dini seringkali memicu lingkaran masalah baru: perceraian, kemiskinan, anak yang terabaikan, hingga stunting. Negara memang membuka jalur dispensasi nikah untuk alasan darurat, tetapi jika jumlahnya terus meningkat, bukankah ini menandakan adanya kegagalan sistemik dalam membentengi generasi muda?

Lebih jauh, pola pikir masyarakat kini kian tergerus oleh paham sekuler-liberal. Atas nama kebebasan, seks bebas dan aborsi dijustifikasi, bahkan dikampanyekan melalui slogan global seperti “My Body, My Choice”. Nilai agama pun makin terpinggirkan; halal–haram diganti dengan standar manusia. Pacaran dimaklumi, zina tak lagi dianggap dosa, bahkan penyimpangan mulai dilegalkan sebagai pilihan hidup.

Lebih memprihatinkan lagi, negara turut membuka ruang lewat regulasi. PP 28/2024 misalnya, menyediakan akses kontrasepsi bagi remaja. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru berpotensi mengokohkan legalisasi maksiat sekaligus mengikis moral generasi.

Padahal, Islam telah memberi jalan yang jelas. Mendidik anak harus dimulai dengan menanamkan iman sejak dini. Orang tua adalah kunci, sebab anak lahir dalam fitrah dan akan tumbuh sesuai arahan mereka. Sejak kecil, anak perlu dikenalkan siapa Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, serta akidah yang benar agar tumbuh dengan hati yang kukuh.

Syariat Islam juga wajib diperkenalkan sejak awal: salat, adab, akhlak, hingga aturan pergaulan. Semua itu menjadi benteng dari pergaulan bebas dan maksiat, karena anak paham halal–haram serta konsekuensi dari setiap perbuatannya. Di tengah derasnya arus globalisasi, orang tua harus sabar mengarahkan anak untuk berpikir benar, menumbuhkan rasa tanggung jawab, serta membiasakan mereka berhati-hati dalam ucapan maupun tindakan.

Teladan orang tua adalah pendidikan paling nyata, sementara doa adalah senjata terkuat. Dengan iman, akhlak, tanggung jawab, teladan, dan doa, insyaAllah akan lahir generasi yang taat, tangguh, dan berakhlak mulia.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)