Job Hugging: Ketika Sistem Merampas Pilihan Hidup Manusia

Lulu nugroho
0

Ilustrasi Billie Ashworth

Oleh: Saffana Afra 
(Aktivis Mahasiswa)



Beritakan.my.id, Opini_ Fenomena job hugging yang kini marak di Indonesia maupun Amerika Serikat menunjukkan betapa ketidakpastian pasar kerja semakin mempengaruhi banyak pekerja. Job hugging mengacu pada perilaku seseorang yang memilih untuk bertahan di pekerjaan yang tidak lagi memberikan kepuasan atau motivasi, hanya demi mempertahankan stabilitas finansial. Banyak orang yang terjebak dalam pekerjaan yang tidak mereka cintai, dengan alasan bahwa lebih baik bekerja di pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat daripada menjadi pengangguran. Keadaan ini diperburuk dengan situasi ekonomi yang sedang lesu, ditambah dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor. Banyak perusahaan yang kesulitan dalam meningkatkan kinerja dan daya saing mereka, sementara para pekerja merasa semakin terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang tidak memberikan pengembangan diri (finance.detik.com, 20/09/2025).

Di sisi lain, fenomena ini juga dialami oleh lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang studi mereka. Banyak lulusan yang memilih untuk bekerja di sektor-sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, karena mereka merasa lebih aman memiliki pekerjaan meskipun tidak sesuai dengan passion mereka. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.A., menekankan bahwa fenomena ini terjadi karena ketidakpastian pasar kerja yang tinggi, yang membuat banyak orang merasa lebih baik bertahan di pekerjaan yang mereka anggap aman, meskipun itu tidak sesuai dengan minat mereka (suarasurabaya.net, 22/09/2025).

Akar permasalahan maraknya fenomena job hugging ini tidak lain adalah karena penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme global saat ini tidak lagi mampu menjamin lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Kebijakan ekonomi yang lebih mengutamakan profit ketimbang kesejahteraan masyarakat menyebabkan banyak orang terjebak dalam pekerjaan yang tidak mereka cintai hanya untuk memastikan bahwa mereka dapat bertahan hidup dan mendapatkan penghasilan. Bahkan, banyak perusahaan yang tidak lagi mengutamakan pengembangan karyawan, melainkan lebih fokus pada efisiensi dan pengurangan biaya operasional.

Di sisi lain, peran sektor swasta dalam penyediaan lapangan kerja juga semakin menguat. Negara, yang seharusnya bertanggung jawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan, cenderung melepas tanggung jawabnya kepada sektor swasta. Meskipun sektor swasta menyediakan pekerjaan, seringkali pekerjaan tersebut tidak memberikan jaminan masa depan yang baik bagi karyawannya.
 
Fenomena ini juga diperburuk oleh penyalahgunaan sumber daya oleh segelintir kapitalis yang menguasai ekonomi global. Sumber daya alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas oleh negara justru dikuasai oleh segelintir orang untuk keuntungan pribadi. Memang pada akhirnya akan ada lapangan pekerjaan, namun jangan lupa prinsip para kapitalis ini adalah mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan mencari untung sebesar-besarnya. Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin besar, dan lapangan pekerjaan yang layak semakin sulit ditemukan. 

Selain itu, banyak negara yang mengadopsi praktik ekonomi non-riil dan ribawi, yang lebih mengarah pada pengumpulan kekayaan tanpa menghasilkan dampak positif pada penciptaan lapangan pekerjaan. Keuntungan yang dihasilkan dari sektor-sektor ini tidak digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat atau menciptakan pekerjaan yang produktif. Hal ini memperburuk kesenjangan antara kalangan elit dan masyarakat pada umumnya, serta menciptakan ketidakpastian bagi para pekerja.
Dalam peradaban kapitalisme, meskipun kurikulum di Perguruan Tinggi (PT) saat ini terus diubah agar lebih adaptif dengan kebutuhan dunia kerja, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hal tersebut tidak cukup untuk menjamin lulusan mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam sistem kapitalisme global, liberalisasi perdagangan – termasuk di dalamnya perdagangan jasa dan tenaga kerja – justru membuat negara lepas tangan dari tanggung jawab memastikan setiap warga negara dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan pokoknya. PT didorong untuk mencetak lulusan yang "siap kerja", namun pasar kerja tidak berkembang seiring jumlah lulusan. Alhasil, banyak lulusan PT yang mengalami kekecewaan karena tidak menemukan pekerjaan sesuai bidang dan kompetensinya. Sistem pendidikan yang hanya diarahkan untuk memenuhi tuntutan pasar bebas pada akhirnya menjadikan lulusan sebagai korban dari sistem, bukan agen perubahan dalam masyarakat.

Menghadapi fenomena job hugging yang semakin marak ini, diperlukan sebuah perubahan sistem ekonomi yang lebih adil dan merata. Maka Islam hadir dengan sistem hidupnya yang sempurna.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara adalah penanggung jawab utama dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Imam itu adalah pemimpin (raa’in) dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin (HR Bukhari dan Muslim). Di antara urusan penting yang termasuk bagian dari tugas ri’aayah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki kemampuan, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan.  Negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap individu dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan minat mereka.

Selain itu, kebijakan Khilafah (Negara dengan sistem Islam) dalam sistem ekonomi Islam menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Negara dapat mengelola sumber daya alam dengan bijak untuk memastikan rakyat dapat memperoleh manfaat darinya. Kebijakan Khilafah juga mendorong pengembangan sektor-sektor seperti industri dan pertanian yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Negara dapat memberikan tanah produktif, bantuan modal, dan pelatihan keterampilan untuk memfasilitasi individu atau kelompok yang ingin membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja baru. Dalam sistem ini, negara bertindak sebagai fasilitator yang memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks pendidikan, Islam menekankan bahwa pendidikan dan pekerjaan tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk memperoleh pendapatan, tetapi juga sebagai bagian dari ibadah. Dalam sistem ekonomi Islam, pendidikan dirancang untuk membekali individu dengan keterampilan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter yang baik, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh individu bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pahala.

Negara dalam sistem Islam juga bertugas melayani urusan rakyatnya dengan dorongan ibadah. Setiap kebijakan yang diambil oleh negara bertujuan untuk memastikan kesejahteraan umat. Negara tidak hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelayan yang memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat hidup dengan layak, dengan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka.

Fenomena job hugging yang semakin meluas di tengah ketidakpastian pasar kerja menunjukkan betapa sistem kapitalisme global telah gagal dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Sistem yang lebih adil dan inklusif sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini dan hanya sistem Islam-lah yang menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan dan lebih adil bagi seluruh rakyat. wallahu a'lam.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)