Kohabitasi dan Potret Liberalisasi Pergaulan

Goresan Pena Dakwah
0


Ilustrasi Kohabitasi (pinterest)

Oleh : Ummu Hanan


Beritakan.my.id, Opini--Beberapa waktu lalu publik digemparkan dengan berita penemuan potongan tubuh manusia di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Potongan tubuh tersebut kemudian terindikasi sebagai korban mutilasi.  Miris manakali diketahui  pelaku mutilasi tidak lain adalah kekasih korban dan keduanya telah hidup bersama dalam satu atap selama 5 tahun tanpa hubungan pernikahan. 


Konon tuntutan gaya hidup korban yang telah memicu amarah pelaku hingga tega melakukan pembunuhan dan berujung mutilasi (news.detik.com, 8-9-2025). Meski telah menyampaikan permintaan maaf dan mengaku khilaf atas tindakannya tersebut pelaku akan ditindak lebih lanjut oleh pihak yang berwajib. 


Kohabitasi adalah sebuah istilah yang merujuk pada kehidupan dua orang yang tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan. Dengan kondisi demikian maka akan sangat terbuka peluang bagi kedua belah pihak untuk melakukan aktifitas seperti layaknya suami istri dalam sebuah rumah tangga. Sayangnya kondisi ini tidak lagi dipandang sebagai perkara tabu, justru sebaliknya. Tidak sedikit para pemuja kohabitasi yang meyakini dengan tinggal bersama akan menjadikan mereka lebih mengenal pasangannya satu sama lain.

Baca juga:

Memalak Rakyat atas Nama Pajak?


Ada pula yang berpendapat bahwa tinggal seatap tanpa ikatan pernikahan akan menghemat pengeluaran karena ada pihak yang bersedia membiayai sebagai konsekuensi hubungan mereka. Inilah tren di tengah masyarakat kita yang seharusnya membuat hati siapapun terpukul dengan kerusakan yang ada.


Kohabitasi tidaklah muncul tiba-tiba, apalagi menjadi sebuah gaya hidup. Kohabitasi atau dulu masyarakat kita lebih mengenal dengan istilah kumpul kebo, adalah hasil pengaturan kehidupan yang salah kaprah. Interaksi masyarakat tidak lagi dilandasi oleh norma-norma agama melainkan beralih pada kemanfaatan yang bersifat jasadiyah atau materi. Kehidupan semacam ini jelas kerusakannya karena menjauhkan peran Pencipta dalam mengatur interaksi manusia. 


Akhirnya manusia tak ubahnya hewan, bahkan boleh jadi lebih rendah lagi derajatnya. Sebab manusia telah dilebihkan dengan akal yang dengannya manusia dapat berpikir serta mempertimbangkan sesuatu, adapun hewan tidak. Namun saat aturan Pencipta tidak lagi diindahkan maka akal pun hilang dan manusia hidup dengan dominasi hawa nafsu saja.

Baca juga: 

Tragedi Gaza dan Urgensitas Tegaknya Khilafah


Kohabitasi lahir dari aturan kehidupan yang sekularistik. Dalam pandangan sekularisme pelaksanaan kehidupan bermayarakat haruslah steril dari nilai agama kecuali pada batas sempit praktik ritualitas belaka. Sekularisme memandang biasa perkara yang jelas larangannya dalam agama, contohnya zina. Sekularisme menjadikan praktik zina dalam sudut pandang materialistik, selama tidak ada pihak yang merasa dirugikan maka tidak ada yang perlu memperkarakan. 


Sekularisme bahkan melegalkan zina dengan melokalisasinya, menyebut para pelakunya dengan sebutan “pekerja”. Pelampiasan seksualitas cukup dikembalikan pada nilai manfaat tanpa memedulikan batasan baik dan buruk, terpuji dan tercela benar maupun salah yang sesuai dengan ketentuan Pencipta.


Sekularisme telah melahirkan liberalisasi dalam pergaulan. Ide kebebasan diusung dimana-mana. Seolah manusia bebas untuk melampiaskan apapun yang diinginkan tanpa batas. Seperti pada kasus mutilasi yang dipicu oleh adanya praktik kohabitasi, ini bukanlah perkara kasuistik melainkan sistemik. 


Masyarakat tidak boleh memaklumkan apalagi cenderung menormalisasi gaya hidup serba bebas. Nilai kebebasan yang dielukan dalam sekularisme akan membawa masyarakat pada jurang kehancuran sedikit demi sedikit. Tidak ada lagi yangn dapat diharapkan dari generasi yang akan datang ketika kehidupan mereka telah dirusak oleh ide liberalism yang batil ini. 


Terlebih masyarakat kita adalah mayoritas muslim. Kaum muslim wajib menyandarkan kehidupannya pada aturan Allah swt, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 208 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara sempurna (kaffah)”.


Liberalisasi kehidupan wajib kita tolak. Gaya hidup semacam ini nyata rusak dan merusak serta sangat bertentangan dengan akidah Islam. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sistem pendukung yang akan membentengi masyarakat dari kerusakan serupa. Pertama, keberadaan individu yang bertakwa menjadi fondasi awal bagi masyarakat yang beradab dengan ketakwaan dan keimanannya. Kemudian adanya kontrol di tengah masyarakat yang akan memastikan aktifitas amar makruf nahi mungkar senantiasa lestari dalam interaksi mereka.


Terakhir namun mutlak ada adalah eksistensi negara yang akan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Negaralah yang akan berperan vital menjaga akidah umat dari berbagai macam potensi kerusakan melalui penerapan syariat Islam yang integral. 

Baca juga: 

Pujian Global Emansipasi, Perempuan Dalam Jebakan Narasi


Akhirnya, masyarakat tentu akan menjadi baik seiring dengan baiknya aturan yang mereka terapkan. Dan, kebaikan yang hakiki tentu harus berpulang kepada Zat yang maha memahami tentang hakikat penciptaan manusia, Dialah Allah swt dengan seperangkat aturan Islam yang sempurna. 


Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk mewujdkan aturan Allah di tengah kehidupan. Sebab di dalam setiap penerapan hukum syara’ pasti ada mashlahat di dalamnya. Allahu’alam. [ry].

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)