Ilustrasi Pinterest
Oleh Nadisah Khairiyah
Beritakan.my.id, Opini_ Suatu sore, di sebuah warung kecil pinggir jalan, seorang ibu menghela napas panjang.
“Bu, berasnya naik lagi ya?” tanya seorang pelanggan.
“Iya, Bu. Padahal gaji suami saya nggak naik-naik. Kalau begini terus, uang belanja makin tipis…”
Obrolan sederhana itu mungkin kita dengar, di warung, di pasar, atau di teras rumah. Dan setiap kali mendengar, hati kita ikut sesak. Karena inilah wajah nyata ekonomi kita: bukan soal grafik naik atau turun, tapi tentang dapur yang harus tetap mengepul, anak yang harus tetap sekolah, dan keluarga yang ingin hidup dengan tenang.
Ketika Angka Tak Menyelamatkan
Rp200 triliun. Angka itu bikin kita melongo. Pemerintah bilang, uang sebesar itu ditarik dari Bank Indonesia untuk membantu dunia usaha. Harapannya, pertumbuhan bisa melesat sampai 8%.
Tapi nyatanya? Di meja makan kita, harga beras naik. Di rekening listrik, tagihan tambah tebal. Di tempat kerja, gaji masih segitu-segitu saja. Anak muda pun banyak yang pusing cari kerja.
Artinya, seberapa pun besar angka yang digelontorkan, kalau tidak sampai ke dapur rakyat, semua itu hanya jadi hitungan di layar presentasi.
Ekonomi bukan sekadar angka 8% atau 5%. Ekonomi adalah susu untuk anak, pekerjaan bermartabat bagi pemuda, dan keluarga yang tenang tanpa utang.
Dan kita pun teringat lagi obrolan di warung tadi: “Kalau uang triliunan itu benar ada, kenapa hidup rakyat tetap berat?”
Pertumbuhan yang Menipu
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator keberhasilan. Tapi kenyataannya, pertumbuhan itu bersifat gambaran rata-rata. Semua penghasilan penduduk, dari yang paling besar sampai dengan yang paling kecil dijumlahkan kemudian dibagi jumlah penduduk. Sehingga segelintir orang kaya dengan belanja besar menutupi turunnya konsumsi jutaan rakyat miskin. Grafik naik, tapi rakyat tetap menahan lapar.
Allah sudah memperingatkan yang artinya:
“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS al-Hasyr [59]:7)
Betapa lembut tapi tegas teguran Allah. Jangan biarkan kekayaan hanya berputar di kalangan kaya. Bukankah justru itu yang terjadi hari ini?
Islam Bicara Distribusi, Bukan Sekadar Pertumbuhan
Islam hadir dengan aturan yang menyejukkan hati. Rasulullah ï·º mengajarkan, sumber daya besar, seperti air, padang rumput, dan api (energi) bukan milik individu, melainkan milik umat yang dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Syaikh an-Nabhani, seorang ulama kontemporer, menjelaskan bahwa persoalan utama ekonomi bukan pada jumlah kekayaan yang tersedia, tetapi pada distribusinya.
Dalam kitab karyanya, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam), beliau menegaskan bahwa Islam telah menetapkan aturan mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, ada tiga jenis kepemilikan. Individu, seperti rumah, kebun, atau toko. Kepemilikan umum, seperti tambang, listrik, dan minyak, tak boleh diprivatisasi. Dan kepemilikan negara, seperti kharaj atau fai’, untuk membiayai kebutuhan umat.
Riba diharamkan, sebab riba hanya memperkaya segelintir orang dan memiskinkan yang lain (QS al-Baqarah [2]:275).
Dan negara dalam Islam punya kewajiban: memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menciptakan lapangan kerja, serta menghidupkan muamalah nyata melalui zakat, infak, wakaf, syirkah, mudharabah.
Inilah sistem yang dulu membuat Madinah dan negeri-negeri Islam berjaya. Rakyat hidup sejahtera, bukan karena angka pertumbuhan, melainkan karena distribusi yang adil.
Cinta Islam Bukan hanya di Sajadah
Kita semua mencintai Allah. Kita semua mencintai Rasulullah ï·º. Itu kita buktikan dengan shalat, doa, dzikir, dan shalawat. Tapi, bukankah cinta sejati bukan hanya di bibir dan sajadah?
Cinta kepada Allah dan Rasul harus terwujud juga dalam keberanian kita menegakkan aturan-Nya di tengah kehidupan. Termasuk dalam urusan ekonomi.
Bayangkan, betapa indahnya jika cinta kepada Allah dimiliki para pemimpin, dengan membuat mereka berjuang agar tidak ada lagi ibu-ibu yang resah di warung, tidak ada lagi bapak-bapak bingung karena gaji tak cukup, tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan mimpi karena sekolah terlalu mahal.
Itulah cinta Islam yang nyata: cinta yang menyejukkan hati, menggerakkan langkah, dan menghadirkan keadilan bagi semua.
Harapan itu Nyata
Saudaraku, mungkin jalan ini terasa berat. Tapi setiap kali kita merasa lelah, ingatlah bahwa Islam bukan sekadar agama untuk shalat dan puasa. Islam adalah rahmat Allah untuk seluruh hidup kita.
Saat kita memperjuangkan ekonomi Islam, sejatinya kita sedang memperluas makna cinta kita: dari sajadah menuju dapur, sekolah, rumah sakit, hingga seluruh masyarakat.
Dan di sanalah kita akan merasakan, bahwa Islam benar-benar memeluk kita, bukan hanya di akhirat nanti, tapi juga di dunia hari ini. Mari kita mulai dari diri kita: belajar, berbicara, dan mendukung sistem Islam dengan penuh cinta. Itulah cinta yang nyata: cinta yang bukan hanya menenangkan hati di sajadah, tapi juga menguatkan langkah kita di jalan perubahan.
و الله اعلم بالصواب