Memalak Rakyat Atas Nama Pajak?

Goresan Pena Dakwah
0

Ilustrasi: Pajak Sama Dengan Zakat (Pinterest)

Oleh: Ummu Hanan 


Beritakan.my.id, Opini--Pemerintah tengah menggodok rancangan pemberlakuan pajak baru bagi masyarakat. Wacana penerapan 10 pajak baru digadang-gadang mampu menambah pemasukan negara hingga mencapai Rp 388,2 triliun (cnnindonesia.com,12-8-2025).


Diantara sektor pajak baru yang rencananya akan diberlakukan adalah pajak kekayaan, pajak pengilangan keanekaragaman hayati dan pajak digital. Dalam rangka mendekatkan praktik pajak di tengah realitas masyarakat negeri ini yang notabene mayoritas muslim, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti halnya kita menunaikan zakat maupun wakaf. 


Menurut Sri Mulyani kesamaan pajak dan zakat ataupun wakaf adalah sebagai bentuk penyaluran sebagian harta kita kepada pihak lain yang membutuhkan (cnbcindonesia.com,14-8-2025). Pernyataan Menkeu disampaikan saat forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 pada tanggal 13 Agustus 2025.

Baca juga:

Tax, Zakat dan Wakaf, Which One Wins?


Menarik untuk dicermati tentang bagaimana massifnya pemerintah menggalakkan pajak demi menggenjot pemasukan negara. Satu demi satu hajat masyarakat disangkutkan dengan kewajiban pajak. Maka tidaklah heran muncul slogan masyhur para pegiat pajak, “orang bijak taat pajak”. 


Seolah ingin memberi kesimpulan prematur bahwa bijaknya seseorang dapat diukur dengan ketaatannya dalam membayar pajak. Sayangnya, pajak tidak serta merta menyelesaikan problematika anggaran di negeri ini. 


Sebagaimana diketahui pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024 terdapat defisit anggaran sekitar Rp 500 triliun. Angka defisit ini harapannya akan berkurang pada tahun 2025 melalui penggenjotan sektor pajak, terlebih ketika terdapat opsi pemberlakuan jenis pajak baru yang tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya.


Pajak memang masih menjadi primadona, setidaknya hingga saat ini. Hampir setiap tahun kita dihadapkan pada regulasi yang terkesan mengutak-atik kebijakan soal pajak, entah dengan menaikkan persentasenya atau memperluas objek pajaknya. Namun apakah dengan mengandalkan sektor pajak apalagi melipatgandakan hingga beratus kali akan menghantarkan negeri ini pada solusi atas defisit anggaran? 


Tentu kita perlu meluaskan cara pandang. Dalam Sistem Kapitalisme pajak ibarat tulang punggung perekonomian suatu bangsa. Negara digambarkan akan kolaps dan pembangunan terancam berhenti jika sektor pajak ditiadakan. Akan tetapi masyarakat seolah dibutakan dengan potensi kekayaan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah dimiliki oleh negeri mereka. Kekayaan alam tersebut berlalu dan singgah kepada korporasi yang akhirnya mendapat jatah sangat besar atas hak konsesi tambang. 


Kekayaan alam tak benar-benar dapat dinikmati oleh rakyat. Pemanfaatan SDA sebagian besar mengalir kepada pihak swasta. Kesejahteraan rakyat hanya sebatas retorika belaka. Rakyat semakin tertindas akibat pemalakan atas nama pajak. Ini semua tidak dibenarkan dalam Islam. 

Baca juga: 

PPPK Turun SK, Pernikahan Resmi Talak Cerai


Syariat Islam telah menetapkan secara tegas bahwa padang rumput, air dan api adalah milik kaum muslim dan harga atasnya adalah haram seperti yang telah disabdakan oleh Nabi saw dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad. Artinya, kepemilikan terhadap kekayaan alam dengan jumlah melimpah wajib berada di tangan umat dan dikelola sepenuhnya oleh negara. Tidak diperkenankan atas alasan apapun kepemilikan tersebut beralih kepada individu (swasta).


Berkebalikan dengan sistem Islam yang tak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama bagi negara. Pemenuhan atas kebutuhan rakyat dipenuhi dengan mekanisme pengelolaan kekayaan negara berupa SDA yang melimpah oleh negara. Selain itu terdapat sumber pemasukan berupa zakat akan tetapi peruntukannya harus mengacu pada ketentuan syara’, seperti hanya disalurkan kepada delapan asnaf.


Adapun wakaf tidak termasuk ke dalam sumber pemasukan APBN Khilafah karena itu sifatnya sunah tidak wajib sebagaimana ketika syarat haul dan nishab telah terpenuhi pada seorang wajib zakat. Oleh karena itu sangat jauh keterkaitan antara zakat dan wakaf jika ingin disandingkan dengan pajak seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani. 


Benar, jika dikatakan bahwa pajak juga dikenal dalam sistem Islam. Hanya saja yang perlu dipahami konteks pajak dalam Islam sangat berbeda dengan realitas pajak pada Sistem Kapitalisme seperti sekarang. Dalam Islam pajak adalah salah satu mekanisme yang akan dilakukan oleh negara untuk mengatasi kekosongan kas dalam Baitulmal. 


Pemungutan juga tidak diberlakukan bagi setiap individu rakyat melainkan hanya kepada individu muslim yang terkatagori kaya sebab telah terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan ia masih memiliki kelebihan atasnya. Sedangkan penerapan pajak pada sistem kapitalisme nyata tak pandang bulu, menyasar individu rakyat tanpa melihat kebutuhan hidup mereka. Jika sudah demikian bagaimana rakyat bisa sejahtera?

Baca juga: 

Tragedi Gaza dan Urgensitas Tegaknya Khilafah


Tak elok jika negara memalak rakyat atas nama pajak. Negara seharusnya hadir sebagai pengayom rakyat yang menjamin pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan perintah sang pencipta, Allah swt. Karena itu syariat Islam yang diterapkan secara kafah dalam Khilafah akan menjalankan pengaturan kehidupan masyarakat berdasar akidah Islam. 


Sumber pemasukan negara diselaraskan dengan perintah asy-Syari’ seperti adanya konsep kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Keberadaan pajak hanyalah instrumen dalam mengatasi kekosongan kas dalam Baitulmal dan hanya menyasar kalangan yang terkatagori kaya berkecukupan. Inilah gambaran penerapan sistem yang memenuhi rasa keadilan serta mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Allahu’alam. (ry).

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)