PPPK Turun SK, Pernikahan Resmi Talak Cerai

Goresan Pena Dakwah
0



Ilustrasi perceraian (pinterest)

 Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritakan.my.id, Opini--Miris, dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, di Kabupaten Blitar, Jawa Timur ada 20 wanita Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengajukan izin perceraian lantaran masalah ekonomi.


Kabid Pengelolaan SD Disdik Kabupaten Blitar, Deni Setiawan membenarkan fakta tersebut, ia menambahkan pernikahan mereka rata-rata sudah lebih dari 5 tahun. Kemudian suami atau pasangannya bukan pekerja tetap atau di sektor formal yang secara nominal tidak bisa dipastikan penghasilannya (detik.com, 19-7-2025).


Deni menilai fenomena permohonan izin cerai ini perlu menjadi perhatian. Terutama kepada lembaga pendidikan tempat mereka bekerja diharapkan dapat menjalin sinergi dan membangun lingkungan kerja harmonis, agar dapat sedikitnya mengurangi permasalahan keluarga yang dihadapi guru, bisa berupa penguatan mental dan pembinaan yang masif.


Lebih penting lagi agar seluruh guru dapat bekerja dengan nyaman sehingga proses belajar dengan siswa juga bisa berjalan lancar. Bagaimana pun keluargalah yang dari awal mendukung profesi atau karir hingga sekarang, sehingga jangan sampai merasa glamor dan melupakan keluarga terdekat.

Baca juga: 

PMI, Masa Depan Cerah, Devisa Negara Bertambah


Deni juga berharap, meski permohonan izin cerai adalah hak individu. Hendaknya para PPPK dan ASN dapat mematuhi peraturan maupun mekanisme yang ada pada pemerintahan. Sebelum ada izin dari bupati, jangan ada keputusan pengadilan agama, karena akan masuk tanah inspektorat terkait sanksi kepegawaian.


Peran Negara Sangat Dibutuhkan, Mungkinkah?


Siapa yang menghendaki pernikahannya berakhir dengan perceraian? Terutama dari pihak perempuan yang akan mengalami kerugian, mulai dari menyandang sebutan janda yang konotasinya di negeri ini buruk, kebutuhan anak dan dirinya yang pasti sulit, apalagi jika mantan suami atau keluarga suami tidak paham hak dan kewajiban sehingga menelantarkan begitu saja, ditambah sebagai single parent sangatlah berat.


Jika pernikahan itu sudah hadir anak, maka akan ada risiko kehilangan kasih sayang, hingga trauma kelak ketika dewasa akan perpecahan pernikahan orang tuanya. Dan masih banyak lagi hal yang bisa jadi menjadi masalah tersendiri bagi sebuah pernikahan yang hancur.


Terlebih dengan belitan persoalan ekonomi yang hari ini tak hanya menghancurkan ikatan pernikahan 5 tahun bahkan puluhan tahun pun terdampak. Banyaknya kebutuhan, harga bahan pokok yang tinggi, akses kebutuhan publik seperti sekolah, rumah sakit, transportasi aman dan nyaman, keamanan hingga kriminalitas marak membuat para keluarga pesimis bahkan apatis bisa melampuinya. Maka tak heran jika para perempuan itu nekat menggugat suaminya, karena berharap status kepegawaiannya bisa menjamin hidupnya ke depan.


Pertanyaannya, kemana negara? Jika saja negara hadir dan berperan sebagaimana fungsi negara yaitu menjadi pelayan umat tentulah keluarga tidak hancur meski terdampak perekonomian yang tidak stabil, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Baca juga: 

Marak Konten Sampah, Lemahnya Pengawasan Negara


Berharap pada negara bak berharap pada matahari bersinar di malam hari, yang didapat hanya bulan yang tak memiliki cahaya. Akar masalahnya, negara menerapkan sistem Kapitalisme sehingga mencapai kegagalan dalam mewujudkan rakyatnya sejahtera.


Saatnya Kembali Kepada Solusi Islam


Dalam sistem Kapitalisme, negara hanya memiliki fungsi regulator atau pembuat kebijakan. Mirisnya, yang dimaksud adalah menggelar karpet merah bagi para investor untuk mengelola sumber-sumber daya alam negeri ini. Yang terjadi, asing hanya tahu bisnis, sehingga setiap keuntungan akan didapat ketika rakyat dijadikan pasar dan dipaksa membeli produk mereka.


Negara pun tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang luas, sehingga rakyat hanya ingin menjadi pegawai negara, meski statusnya pegawai kontrak, selain mendapat jaminan gaji rutin dan sesuai aturan pemerintah terkait UMR (Upah Minimum Regional) tetap lebih menjanjikan dibanding profesi yang lain.


Dalam Islam, diwajibkan negara itu beraktifitas sebagaimana yang Rasûlullâh sebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya, haram menyengsarakan rakyat. Negara wajib menjaga keutuhan setiap keluarga dan rumah tangga, sebab keluarga adalah institusi terkecil dalam negara yang menjadi tempat lahirnya generasi penunjang peradaban.


Negara harus sekuat tenaga mengupayakan kesejahteraan dengan membuka lowongan pekerjaan seluas mungkin untuk para pria baligh. Ketika seorang ayah bisa menafkahi keluarganya dengan mudah, menuntut ilmu pun menjadi menyenangkan, baik ilmu akademik maupun berbagai tsaqofah Islam yang bisa memgokuskan setiap pasangan pada makna dan tujuan pernikahan, maka perceraian akan bisa dihindari.

Baca juga: 

Saat Pengelolaan Tambang Berbasis Profesionalitas Semata


Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja dengan waktu yang bisa melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya. Karena perempuan tidak memiliki kewajiban memberi nafkah kepada keluarganya. Negara juga tidak membebani rakyat dengan pajak, melainkan memenuhi semua kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan secara murah atau gratis.


Negara memiliki Baitulmal yang sangat berbeda dengan APBN dalam sistem Kapitalisme, pos pendapatan Baitulmal berasal dari pengelolaan kekayaan milik umum dan negara yang juga tidak dikenal dalam Kapitalis, sebab asasnya sekular, memisahkan agama dari kehidupan sehingga tak ada halal haram dalam memperoleh harta.


Jika ingin negara sukses melangkah menjadi sebuah peradaban mulia, maka keluarga harus dibangun berdasarkan syariat Islam. Sinergi antara individu yang bertakwa, masyarakat yang saling tolong menolong dan negara yang menerapkan syariat menjadi jaminan terbai mewujudkannya. Wallahualam bissawab. [ry].




Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)