Ilustrasi tambang (freepik)
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beritakan.my.id, Opini--Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta Menteri UMKM Maman Abdurrahman untuk segera menginventarisasi UMKM yang memiliki kapabilitas dan keprofesionalan pada bidang pertambangan, sebab pemerintah akan memberikan prioritas tambang di daerah-daerah kepada UMKM tersebut (Republika.co.id, 10-6-2025)
Kebijakan ini menurut Bahlil adalah bagian dari upaya pemerintah mewujudkan keadilan dalam retribusi aset negara. Namun pemberian tambang ini terbatas hanya untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang sudah profesional, bukan untuk usaha mikro yang masih membutuhkan kredit untuk modal awal pengelolaan tambang.
Perluasan izin pengelolaan tambang telah disahkan melalui revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kini UMKM, koperasi, dan organisasi kemasyarakatan keagamaan (ormas) diizinkan untuk mengelola tambang dan pemerintah sedang merancang peraturan pemerintah (PP) sebagai landasan hukum yang lebih detail mengenai kriteria dan skema bagi UMKM untuk mengelola tambang.
Kapitalisme Ilusi Sejahterakan Rakyat
Alasan pemerintah dengan kebijakan bolehnya UMKM mengelola tambang, yaitu mewujudkan keadilan dalam retribusi aset negara, sangatlah menyesatkan. Pada praktiknya akan ada seleksi alam jenis UMKM mana yang bisa mengelola, apalagi jelas pemerintah sudah membatasi, yaitu UMKM yang sudah profesional dan bukan yang untuk modal awal saja masih kredit.
Baca juga:
Job Fair Ricuh, Sarjana Hingga Pasca PHK Bertaruh
Kalimat ini harus kita pahami secara detil, ketika profesionalitas semata yang dibutuhkan, ini adalah bisnis. Tidak akan menyentuh kepentingan rakyat. Padahal dari ribuan UMKM yang ada hari ini, baik binaan pemerintah atau perusahaan-perusahaan besar di Indonesia bisa diitung dengan jari berapa yang masuk kriteria profesional.
Padahal sesuai amanat UUD 1945, pasal 33 ayat (3). Pasal ini menyatakan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Disinilah krusialnya, sebab kata "dikuasai" dalam pasal ini memiliki makna yang luas, meliputi pengawasan, pengaturan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Negara dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam melalui berbagai cara, seperti pemberian izin, penetapan peraturan, dan pembangunan infrastruktur. Jelas ada ruh kapitalisasi sumber daya alam, boleh dibilang ada penyelewengan penguasaan.
Frasa pemberian izin hari ini sangat lekat dengan istilah hilirisasi dan investasi. Bahkan berubah menjadi perluasan konsensi tambang boleh untuk koperasi, UMKM dan lainnya. Kelak, hasilnya akan tetap yang kaya bertambah kaya, yang miskin semakin miskin. Kapitalisme mampu menyejahterakan itu ilusi. Karena seberapa pun tingkat profesionalitas pengelola, pasti membutuhkan pihak ketiga untuk mendapatkan hasil maksimal dari pengelolaan tambang.
Sebab, pengelolaan tambang bukan hal yang remeh temeh, hanya digali atau dikeruk kemudian kita bisa mendapatkan hasilnya. Namun butuh proses yang rumit, mulai dari eksplorasi, penjernihan, pemisahan hingga proses pembuatan bahan setengah jadi. Artinya lagi butuh modal yang besar, kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan dari para ilmuwan.
Baca juga:
Konsep Ekoteologi untuk Masyarakat Seimbang dan Modern
Kapitalisasi pertambangan, juga menimbulkan ekses yang tidak murah, yang pasti terlihat adalah rusaknya ekosistem. Kerakusan eksplorasi tak mengindahkan AMDAL dan lainnya. Di sisi lain para pecinta alam berteriak save the world, tapi di sisi lain pemerintah gencar menawarkan kepada asing seluruh kekayaan yang ada. Kasus Raja Ampat Papua Barat hanya sebagian kecil kasus yang viral, sebelumnya sudah banyak yang gundul, tercemar, hancur dan musnah baik karena penambangan legal maupun ilegal.
Islam saja yang Pasti Sejahterakan Rakyat
Dalam pandangan Islam, apa yang dilakukan Bahlil jelas haram. Sebab, tambang adalah harta kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menjelaskan keharamannya tiga benda itu dimiliki oleh individu atau swasta. Sebab letak keharamannya bukan pada bendanya tapi pada sifat benda yang jika hilang maka akan timbul sengketa di antara manusia.
Maka, pihak yang wajib mengelola hanya negara, dalam artian kekuasaan yang ada pada negara bukan untuk memiliki kemudian boleh menjual kepada siapa saja. Pemilik kekayaan dalam Padang rumput, api (energi) dan air (laut, sungai, danau dan lainnya) adalah rakyat. Negara hanya pengelola, terlebih karena negara dengan kekuasaannya akan memiliki kemampuan yang besar.
Dari sinilah alasan mengapa negara bisa menjamin kesejahteraan secara adil dan merata, sebab hasil pengelolaan kekayaan milik umum dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk zatnya, misal BBM dan listrik. Atau dalam bentuk pembiayaan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, dan lainnya.
Baca juga:
Halal Haram Terdistrak Kapitalisasi
Negara tidak bersandar pada pajak apapun termasuk pajak investasi. Sebab negara berfungsi sebagai raa'in atau pemelihara kebutuhan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah Saw.“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Maka, kekayaan tidak hanya berputar pada orang kaya saja, melainkan semua yang berstatus rakyat negara Khilafah. Tidakkah kita merindukan sistem terbaik yang berasal dari Allah SWT.ini? Wallahualam bissawab. [ry].