PMI, Masa Depan Cerah, Devisa Negara Bertambah

Goresan Pena Dakwah
0

Ilustrasi berbagai profesi ( freepik)


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritakan.my.id, Opini--Saat memberikan kuliah umum di di Universitas Maritim AMNI Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 26 Juni lalu, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mendorong masyarakat Indonesia untuk bekerja di luar negeri karena menawarkan berbagai keuntungan, selain pendapatan yang lebih besar juga akan ada transfer of knowledge. 


Standar profesional bekerja orang Indonesia masih kalah dibandingkan dengan orang-orang Eropa, inilah yang disebut transfer of knowledge. Kita bisa sekalian belajar dari budaya mereka, tambah Karding. Pandangan ini Karding sampaikan di hadapan para taruna jika mereka bekerja sebagai awak kapal di luar negeri. 


Mengacu pada ILO Joint Maritime Commission, gaji pelaut terendah pada 2026 adalah sekitar 690 dolar AS atau setara Rp 11,2 juta per bulan. Jika dibandingkan dengan UMK Semarang yang hanya Rp 3,2 juta, maka harus bekerja 3,5 bulan untuk mendapatkan upah setara satu bulan sebagai awak kapal dengan jabatan terendah. Potensi devisa dari PMI pada 2024 nilainya mencapai Rp 253,3 triliun, angka tersebut terbesar kedua setelah migas. Maka jelas, masa depan lebih cerah asal mau bekerja di luar negeri, baik bagi masyarakat maupun negara pungkas Karding (republika.co.id, 27-6-2025). 


Kapitalisme, Negara Gagal Jamin Rakyat Sejahtera 


Tak bisa dipungkiri, kini, menempuh pendidikan tinggi adalah untuk mendapatkan peluang lebih besar pekerjaan dan sekaligus pendapatan. Guru yang D3 diminta linier ke jenjang S1. Demikian juga dosen, dokter dan beragam profesi lainnya. Semakin tinggi jenjang jabatan atau golongan di PNS maka gaji mengikuti. 


Baca juga: 

Marak Konten Sampah, Lemahnya Pengawasan Negara


Akibatnya banyak jurusan di berbagai fakultas dan Universitas yang memperbanyak jurusan vokasi, tujuannya dengan gelar sarjana terapan mampu segera menjawab tuntutan pasar akan SDM terampil dan terdidik. Tak peduli miskin adab atau tidak, bahkan tak peduli standar kompentesinya profesional atau belum dalam jenis pekerjaannya, karena hanya fokus pada output kelulusan bukan didapatkannya berkah. 


Namun, faktanya tak seindah teori. Di lapangan job fair tak pernah sepi peminat, semua adalah fresh graduate universitas, SMA/SMK bahkan paska PHK dan mereka yang memang sudah lama mencari kerja namun belum beruntung. Kriminalitas meningkat sebab banyak yang lapar dan putus asa tidak mendapatkan kepastian akan masa depannya. 


Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyebutkan salah satu penyebab banyaknya pengangguran karena tidak terjadi link and match atau tidak ada kesesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Melalui Perpres ini, dunia usaha dan industri turut terlibat. Dengan begitu, permintaan pasar tenaga kerja dapat disuplai dari pendidikan vokasi maupun pelatihan vokasi (detik.com, 22-5-2025). 


Tetap saja belum menunjukkan angka pengangguran dan pencari kerja menurun. Sebab sistem yang mengatur urusan ini adalah kapitalisme. Asasnya sekular, pemisahan agama dari kehidupan, sehingga orientasinya hanyalah keuntungan materi semata. Membuka lapangan bagi rakyat adalah beban, sebab itu berarti memberikan kesempitan bagi para investor untuk mengeksploitasi kekayaan alam. 


Baca juga: 

Saat Pengelolaan Tambang Berbasis Profesionalitas Semata


Di sisi lain, pemerintah malah mendorong rakyat untuk bekerja di luar negeri dengan berbagai keuntungan yang didapat, salah satunya pendapatan devisa yang meningkat. APBN sangat butuh ini, sebab postur pendapatannya hanya bersandar pada pajak dan utang luar negeri. 


Kembali rakyat yang tersakiti, sebab pajak menyasar rakyat apapun kondisinya. Obyek pajak terus diperluas, kebutuhan pokok sulit dijangkau dan harganya mahal. Masih pula tega hati mengatakan sebaiknya rakyat Indonesia bekerja di luar negeri. Keuntungan memang ada, tapi dampak negatifnya justru lebih banyak. 


Selain rawan mengalami penipuan perdagangan orang, sindikat perdagangan organ tubuh, kekerasan dari majikan, jauh dari keluarga, suami istri terpisah yang kemudian memicu perselingkuhan dan sekaligus kehancuran bangunan keluarga, melakukan tindak kriminal karena perbedaan bahasa dan budaya dan lainnya. Bagi yang muslim pun risiko tidak bisa beribadah dengan sempurna karena pasti ada beberapa syariat yang malah ditinggalkan.


Islam Jamin Sejahtera Terwujud Nyata


Pernyataan menteri P2MI menunjukkan bukti sahih bahwa pemerintah telah gagal mengurusi urusan rakyatnya, artinya, fungsi pemimpin yang dimaksud Rasulullah tidak berfungsi, sebagaimana Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).


Penguasa tak boleh menggunakan aturan lain selain Islam. Secara historis, empirik, sejarah dan norma, kita tak bisa hidup tanpa syariat Islam. Sebab syariat Islam dari Yang Maha Hidup dan Maha Mengatur. Jika Allah tetapkan sesuatu jelas tak boleh manusia melanggarnya. Karena pasti azab yang pedih imbalannya. 


Demikian pula ketika urusan negara diserahkan kepada penguasa yang samasekali tidak bertakwa kepada Allah, dengan semena-mena mengatur urusan rakyat, maka bencanalah yang hadir. Jelas gagal jika kebijakan ditujukan untuk menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru. 


Baca juga: 

Job Fair Ricuh, Sarjana Hingga Pasca PHK Bertaruh


Dalam pandangan Islam, bekerja adalah kewajiban bagi para suami, ayah atau pria baligh. Maka, negara, dalam hal ini pihak yang memiliki kewenangan wajib membuka seluas mungkin lapangan pekerjaan bagi mereka, tak perlu mengirim mereka ke luar negeri, sebab pengelolaan sumber daya alam oleh negara secara mandiri otomatis telah membuka lapangan pekerjaan yang luas.


Jika industrialisasi belum memadai, maka bisa dibuka lapangan pekerjaan di bidang pertanian, kelautan, kesehatan, pendidikan dan lainnya hingga ASN. Negara menjadi support system dengan menyediakan apa yang dibutuhkan individu rakyat, dari mulai modal ( bergerak dan tidak), pelatihan, pendampingan dan lainnya. 


Pendidikan akan digencarkan agar lebih banyak lagi lahir para ilmuwan yang akan memberikan kontribusi keilmuannya kepada negara dan rakyat. Negara tidak akan memungut pajak atau membuka negoisasi dengan negara asing agar mendapatkan utang. Sebab skema APBN negara yang menerapkan Kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam, yaitu Baitulmal. 


Dengan Baitulmal, negara akan mampu menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Tidak ada pajak dan berbagai pembiayaan yang tinggi, seperti air, listrik hingga BBM.


Maka, satu-satunya jalan yang bisa mewujudkan kesejahteraan adalah dengan menerapkan Islam secara kafah, bukan yang lain. Wallahualam bissawab. [ry].

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)