Problem Sistemik Penyelenggaraan Ibadah Haji

Admin Beritanusaindo
0

 



Berulangnya permasalahan penyelenggaraan haji menunjukkan bahwa hal ini bukan hanya masalah teknis, tapi merupakan persoalan sistemik dan ideologis. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekular, memandang segala sesuatu dari sisi materi, termasuk dalam urusan ibadah. 



Oleh Umi Lia

Member Akademi Menulis Kreatif


Beritakan.my.id - OPINI - Ongkos naik haji semakin mahal adalah fakta yang tidak terbantahkan, padahal pelayanan yang diberikan tidak kunjung berubah menjadi lebih baik. Bahkan penyelenggaraannya pada tahun ini lebih kacau dari tahun-tahun sebelumnya. Kekacauan ini terjadi dari sebelum pelaksanaan ibadah sampai puncak prosesi haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina). Praktik pungutan liar pun marak dilakukan terhadap para jemaah lansia, disabilitas dan yang berisiko tinggi.


Penyelenggaraan haji ini juga semakin rumit tak terkendali dengan adanya jemaah yang tidak mengantongi izin resmi. Pasukan pengaman Arab Saudi menangkap mereka di sejumlah pintu masuk ke kota Mekah. Menurut laporan Saudi Press Agency (SPA) dari 49 orang yang ditangkap 18 di antaranya adalah warga lokal dan 31 asing, termasuk dari indonesia (WNI) karena terbukti membawa 197 calon haji tanpa dokumen legal. Adapun sanksi yang diberlakukan adalah penjara, denda sampai 100 ribu riyal (sekitar Rp425 juta), publikasi identitas dan pelanggarannya, deportasi hingga larangan masuk ke negara ini selama 10 tahun. Aturan tersebut bertujuan menjamin keamanan, keselamatan dan kelancaran pelaksanaan ibadah serta mencegah kepadatan berlebih yang beresiko. (Beritasatu.com, 7/6/2024)


Berbagai masalah penyelenggaraan haji tidak hanya terjadi saat ini, tapi terus berulang setiap tahunnya. Adanya aturan baru dari pemerintah Arab Saudi semakin menambah kekacauan. Hal ini sebenarnya bisa diminimalisasi seandainya diantisipasi dari sebelum keberangkatan. Misalnya dengan menyingkronkan peraturan kloter dengan sistem syarikah yang ada di Mekah. Sayangnya itu tidak dilakukan, dari sini terlihat negara minim sekali peran dan tanggung jawabnya dalam pengurusan jemaah haji. Ketiadaan konsolidasi ini menyebabkan banyak calon haji yang terlantar pada saat Armuzna, mereka tidak mendapat konsumsi, transportasi bahkan tenda untuk wukuf.


Berulangnya permasalahan penyelenggaraan haji menunjukkan bahwa hal ini bukan hanya masalah teknis, tapi merupakan persoalan sistemik dan ideologis. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekular, memandang segala sesuatu dari sisi materi, apakah bisa mendatangkan keuntungan ataukah tidak. Begitu pula dalam urusan ibadah, penguasa dan para pejabatnya tidak melayani rakyatnya dengan tulus. Bahkan menyerahkan urusan ibadah ini ke pihak swasta atau syarikah yang sangat minim akan pengawasan, seolah berlepas diri dari tanggung jawabnya.


Sekularisme yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan telah menyuburkan praktik pungutan liar, tak peduli halal haram. Jemaah yang hendak beribadah dimanfaatkan agar dapat keuntungan besar. 


Haji adalah rukun Islam yang kelima. Hukumnya wajib bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Karena itu negara harus melayani rakyatnya dalam melaksanakan kewajiban dari Allah ini. Adapun penyelenggaraannya, walaupun terkait masalah administrasi dan teknis, namun tetap harus terikat dengan keimanan dan ketakwaan. Sehingga penguasa harus hati-hati dan detil dalam pengurusannya karena menyangkut masalah ibadah orang banyak. Hal ini bisa kita dapati pada masa kepemimpinan khalifah di masa lalu, yang telah berhasil mengemban amanah menjadi pelayan bagi para tamu Allah di tanah suci. 


Setiap muslim bercita-cita dan selalu merindukan untuk beribadah di depan ka'bah (Baitullah). Allah berfirman dalam QS. al-Hajj ayat 27:

"Dan berserulah kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh."


Oleh karenanya, seorang penguasa muslim harus memberi kemudahan kepada para jemaah haji dalam melaksanakan seluruh prosesinya. Termasuk di dalamnya penyediaan fasilitas, transportasi, akomodasi, konsumsi, penginapan, tenda dan lain-lain. Juga senantiasa memperhatikan dan memastikan semuanya berjalan sesuai mekanisme dan birokrasi yang terbaik dan menyediakan layanan premium bagi seluruh tamu Allah tanpa adanya diskriminasi. Tujuannya demi kemaslahatan rakyat bukan keuntungan materi. Jika penyelenggaraan haji diserahkan kepada penguasa wilayah Haramain (Mekah dan Madinah), maka khalifah tetap mengarahkan dan mengaturnya karena tanggung jawabnya meliputi semua negeri-negeri muslim. Petugas-petugas pun akan dikerahkan dalam jumlah yang banyak untuk melayani jemaah sehingga tidak ada orang yang terlantar tanpa pelayanan.


Seorang pemimpin muslim akan senantiasa membersamai warga yang tengah berhaji dan memastikan semua layanan berjalan dengan lancar, juga menerima segala keluhan atau kritikan (muhasabah) dari rakyat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra., yang sering memanfaatkan momen haji untuk bertanya pada rakyat terkait wali atau pejabat yang diangkatnya. Kehadiran penguasa di tengah jemaah akan menjadi tempat bertanya tentang agama, sehingga masalah yang dialami akan langsung diatasi.


Negara yang menerapkan Islam akan terus berupaya memudahkan pelaksanaan haji dengan membangun berbagai infrastruktur yang dibutuhkan. Seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan lain-lain. Begitu pula dengan sarana transportasi seperti: pesawat, kapal, kereta, bus dan lain sebagainya, tidak akan luput dari perhatian. Pada masa kepemimpinan Utsmani, pernah dibangun jalur kereta api Hijaz yang mampu mempersingkat perjalanan ke tanah suci. Perjalanan dari Damaskus ke Madinah yang awalnya biasa ditempuh 40 hari menggunakan unta, dapat ditempuh dalam waktu tiga hari saja dengan kereta. Teknologi dan sarana yang disediakan mengikuti perkembangan zaman dan penemuan terbaru.


Layanan yang memuaskan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang sumber dananya melimpah. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, penguasa muslim akan mampu mengumpulkan harta yang banyak sehingga bisa memberikan pelayanan paripurna pada jemaah haji. Sehingga ONH bisa ditekan semurah mungkin agar tidak memberatkan orang-orang yang ingin melaksanakan kewajiban ini. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kehadiran Khilafah Islamiyah begitu mendesak, agar keselamatan dan kesempurnaan ibadah umat bisa terlaksana dengan baik. 

Wallahu a'lam Bish shawab.

Editor: Rens


Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)