Panggung Flexing

Lulu nugroho
0

Ilustrasi Lera Nauman

Oleh Lulu Nugroho



Beritakan.my.id, Opini_ Ramai protes masyarakat setelah menyaksikan aksi joget-joget anggota DPR yang mendapat tambahan tunjangan. Sebagian pengamat menilai aksi tersebut telah menyakiti hati rakyat. Para petinggi bahagia, sementara rakyat hidup merana karena adanya beragam pungutan dan pajak, kenaikan harga sembako, pencabutan subsidi dan bantuan sosial, yang semuanya berkelindan dalam kehidupan.

Sejalan dengan itu Wali Kota Bekasi Tri Adhianto pun mengingatkan jajarannya dan melarang ASN di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi, agar bersikap sederhana, empati sosial, serta tidak memamerkan kemewahan (flexing). Atau jika tidak, mereka siap diberikan sanksi. (Rakyatbekasi, 12-9-2025)

Sikap nirempati yang ditampilkan pejabat, menjadi salah satu pemicu gelombang aksi unjuk rasa di beberapa kota. Masyarakat kecewa sebab para pejabat tak peka terhadap nasib mereka.

Media sosial pun membuat seluruh warga dapat menyaksikan kehidupan pejabat negara, dan menjadi konsumsi publik. Dengan kemasan infotainment, menjadikannya tampak menarik, bahkan sebagian warga pun mengikuti jejaknya. Meski dengan kemampuan terbatas, namun gaya hidup glamour akhirnya ditiru.

Di samping itu media juga meraup cuan melalui tayangan yang bersifat hiburan. Seluruh mata terpana menonton kehidupan ideal para pejabat, yang senantiasa tampil menawan dengan busana serba mahal, merk ternama, serta rumah, keluarga dan keseharian mereka tampak berkilau di dunia maya. 

Sekularisme Memberi Panggung 

Sekularisme meniscayakan kehidupan yang jauh dari tuntunan Allah SWT. Tujuan kebahagiaan yang disandarkan kepada materi, membuat kehidupan berputar di sekitar hal tersebut. Sementara paham kebebasan terus mendorong individu memperoleh materi sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Jadilah nilai keindahan dan kemuliaan, ada pada seseorang yang memiliki banyak uang. 

Akibatnya, baik penguasa maupun  masyarakat, mengejar kebahagiaan tadi, mengabaikan norma dan agama, dan terus menumpuk materi. Akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial dan kesenjangan satu dengan lainnya. Tujuan kebahagiaan bukan lagi menggapai rida Allah.

Sementara sistem ekonomi kapitalis yang diemban negeri ini, menyelisihi pengaturan harta kepemilikan dan menyebabkan distribusi yang keliru. Alih-alih untuk membiayai kehidupan rakyat, malah menumpuk pada individu kapital. Penerapan ekonomi kapitalis membuat jabatan digunakan untuk memperkaya diri.

Sejalan dengan itu, media memanfaatkan momen flexing untuk meraih banyak penonton. Alhasil media tidak lagi menebarkan kebaikan (Islam), malah sebaliknya mencontohkan keburukan. Masyarakat dininabobokan keindahan hidup para pejabat, yang mereka sendiri tak mampu sampai ke sana, sebab harus terus berjibaku dengan kesempitan hidup.

Solusi Islam

Kembali pada kehidupan Islam melalui penerapan Islam kaffah, akan membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islam). Setiap manusia berlomba dalam kebaikan dan takwa, tidak menghamburkan uangnya untuk aktivitas pamer, sebaliknya digunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat.

Islam tidak memberi panggung bagi pejabat flexing. Ada mekanisme persanksian berupa takzir, bagi pejabat yang kedapatan flexing atau media sosial yang tidak menyebarkan kebaikan (dakwah Islam).
Setiap insan terpacu meninggikan kalimatullahu, hingga terbentuk kepribadian yang baik (syakhsiyah Islam) yang memahami arah tujuan hidupnya.

Penerapan sistem ekonomi Islam pun memastikan tercapainya kesejahteraan orang perorang. Pengaturan harta kepemilikan sesuai perintah Allah SWT, meniscayakan kesejahteraan bagi setiap individu, serta kehidupan yang berkah penuh rahmat bagi semesta alam. 

Penguasa dalam Islam

Di masa kekhilafahan, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Gubernur Syam, yang kehidupannya tidak miskin, namun beliau sangat sederhana, zuhud, dan tawadhu.  Bahkan digambarkan sebagai gubernur yang paling miskin karena semua hartanya ia sedekahkan untuk membantu orang lain. Ia pun dijuluki "Kepercayaan Umat" karena akhlaknya yang mulia, ketaatannya kepada Islam, dan tidak mementingkan kekayaan. 

Ada pula Gubernur Homs, yang dikenal hidup sederhana pada masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab yaitu Sa'id bin Amir al-Jumahi. Ia tidak menggunakan harta yang diberikan Khalifah untuk kebutuhan pribadinya. Ia kerap membantu istrinya membuat roti di pagi hari dan hanya ke luar menemui rakyat sekali dalam sebulan karena tidak punya pembantu dan hanya memiliki satu baju. Ia membagikan 1.000 dinar kiriman Khalifah Umar kepada orang-orang miskin.

Sementara itu, Umair bin Sa'ad yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur Homs, tak kalah sederhananya. Bahkan ia tidak mengutus kabar kepada Umar selama setahun karena tidak memiliki pembantu dan hanya memiliki sedikit harta. Jabatan adalah amanah. Para pejabat negara di masa Kekhilafahan, senantiasa berhati-hati dan bertanggung jawab. Sebab setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, termasuk amanah sebagai pejabat negara. 

Maka kembali pada tatanan kehidupan Islam adalah sebaik-baik cara menghilangkan flexing beserta panggungnya. Melalui penerapan Islam kaffah akan tercipta rahmat bagi semesta alam. Allahumma ahyanaa bil Islam.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)