Proxy War dan Gejolak Asia – Siapa yang Mengendalikan?

ZRP
0


Oleh: Rizqi Awal
(Pengamat Politik dan Ekonomi di Indonesia Justice Monitor)

Akhir Agustus 2025 mencatatkan babak baru ketegangan di Asia. Di Jakarta, kerusuhan merebak dan menjadi sorotan publik internasional. Hanya beberapa hari berselang, Manila diguncang aksi massa besar-besaran yang menuntut perubahan drastis dalam tata kelola pemerintahan. Sementara di Kathmandu, Nepal, kericuhan besar melumpuhkan ibu kota, menandai krisis politik dan sosial yang semakin akut.

Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sekadar rangkaian gejolak domestik di negara-negara berbeda. Namun, bagi para pengamat kontra intelijen dan geopolitik, pola ini tidak bisa dibaca sebagai kebetulan. Terlalu sinkron, terlalu paralel, dan terlalu sistematis untuk dianggap sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Ada tangan-tangan tak terlihat yang tengah memainkan proxy war—perang perpanjangan tangan—di halaman depan Asia.

Pola Lama, Wajah Baru

Sejarah sudah berulang kali menunjukkan bahwa kekuatan besar dunia jarang turun tangan secara langsung. Mereka lebih suka menggerakkan bidak-bidak di papan catur geopolitik. Kolonialisme klasik memang berakhir di abad ke-20, tetapi kolonialisme gaya baru (neo-kolonialisme) hadir dengan metode yang lebih canggih: melalui infiltrasi ideologi, instrumen ekonomi, pengendalian media, hingga provokasi sosial.

Hari ini, perang generasi kelima (fifth generation warfare) menjadi senjata utama. Serangan tidak selalu berupa misil atau tentara, melainkan algoritma media sosial, framing opini publik, pengucuran dana ke kelompok tertentu, hingga orkestrasi isu identitas yang memecah belah. Negara-negara “target” dibuat gaduh, instabilitas domestik dipelihara, dan akhirnya mereka jatuh ke dalam pelukan kekuatan besar yang menawarkan solusi—tentu dengan syarat ketundukan pada agenda global.

Indonesia, Filipina, Nepal: Bidak di Papan Catur Global

Indonesia dengan posisi strategisnya di jalur Indo-Pasifik jelas tidak pernah lepas dari sorotan. Sumber daya alam yang melimpah, populasi besar, serta statusnya sebagai negara muslim terbesar di dunia menjadikan negeri ini target empuk. Setiap gejolak politik domestik, dari isu pemilu hingga kerusuhan jalanan, selalu berpotensi ditunggangi oleh kepentingan asing.

Filipina pun tidak berbeda. Sejak lama negeri itu menjadi pangkalan militer Amerika Serikat, sekaligus pintu masuk strategi Indo-Pasifik Washington. Aksi massa yang terjadi di Manila tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik pengaruh AS dan Tiongkok. Sementara Nepal, meski kecil, adalah titik penting di antara India dan Tiongkok. Instabilitas di sana bukan sekadar urusan lokal, melainkan bagian dari pertarungan dua raksasa Asia yang sedang bersaing dalam bayang-bayang kekuatan Barat.

Kapitalisme Global: Mesin Penghisap yang Sama

Jika ditelisik lebih dalam, akar dari seluruh dinamika ini adalah sistem kapitalisme global. Kapitalisme menempatkan keuntungan materi dan dominasi sebagai tujuan utama. Demokrasi hanyalah wajah politik yang mereka suguhkan untuk melapisi kepentingan tersebut.

Kapitalisme melihat dunia sebagai pasar, negara sebagai aset, dan manusia sebagai angka statistik. Dalam logika ini, kerusuhan bukanlah tragedi, melainkan “biaya operasional” yang bisa dipakai untuk menciptakan momentum perubahan rezim atau penyesuaian kebijakan yang lebih menguntungkan investor global.

Lihatlah bagaimana demokrasi sering dijadikan pintu masuk: slogan kebebasan dipakai untuk meruntuhkan rezim yang tidak sejalan dengan kepentingan adidaya. Ketika sebuah pemerintahan dianggap mengancam aliran investasi atau jalur energi, maka narasi demokratisasi, HAM, dan reformasi segera dimainkan. Di balik layar, yang bekerja bukan idealisme, melainkan kepentingan geopolitik dan kapital finansial.

Demokrasi dan Kapitalisme: Dua Sisi Koin yang Sama

Di sinilah kita harus jujur menilai: demokrasi dan kapitalisme adalah dua instrumen yang saling menguatkan. Demokrasi memberi legitimasi politik, sementara kapitalisme menjadi mesin penggerak ekonomi yang memastikan keuntungan mengalir pada oligarki global. Demokrasi menjanjikan suara rakyat, tetapi kenyataannya yang berdaulat adalah modal. Rakyat hanya dijadikan angka, sementara kebijakan ditentukan oleh pemilik modal dan aktor internasional.

Akibatnya, negara-negara seperti Indonesia, Filipina, atau Nepal terus berada di posisi rawan: selalu diguncang, selalu diperebutkan, dan selalu berada di bawah bayang-bayang skenario global.

Solusi: Islam Sebagai Jalan Keluar

Pertanyaannya, sampai kapan bangsa-bangsa ini rela menjadi pion dalam permainan proxy war? Sampai kapan kita mengulang siklus instabilitas yang pada akhirnya hanya menguntungkan pihak luar?

Jawabannya jelas: selama kita masih bertahan pada demokrasi dan kapitalisme, siklus ini tidak akan pernah berhenti.

Kita membutuhkan sistem alternatif yang benar-benar mandiri, adil, dan tidak tunduk pada kepentingan adidaya. Sistem itu bukanlah demokrasi yang penuh manipulasi, bukan pula kapitalisme yang menuhankan materi. Solusi itu adalah Islam, yang menyatukan politik, ekonomi, dan masyarakat dalam aturan yang bersumber dari wahyu, bukan dari oligarki global.

Hanya Islam yang mampu memutus rantai dominasi asing, karena ia menolak dikendalikan oleh modal dan kepentingan geopolitik luar. Hanya dengan Islam, kekayaan alam dimanfaatkan untuk rakyat, politik dijalankan sebagai amanah, dan umat disatukan dalam kepemimpinan yang berdaulat.

Maka, gejolak di Jakarta, Manila, dan Kathmandu bukan sekadar berita harian. Ia adalah cermin keras bahwa dunia sedang sakit. Dan obatnya tidak bisa lagi tambal sulam. Obat itu adalah kembali kepada Sistem Islam—sistem yang menjamin keadilan, mengikat umat, dan mengangkat martabat manusia dari sekadar pion di papan catur menjadi pemimpin peradaban.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)