Belajar dari Kasus Masjid Malikal Mulki: Saat Amanah dan Hukum Diuji

ZRP
0

 



Oleh: RIZQI AWAL, SE.Sy
Intelektual Muslim – Pembina Komunitas Hijrah

Beberapa hari terakhir, media sosial kembali gaduh. Kasus yang melibatkan publik figur Taqy Malik dan pembangunan Masjid Malikal Mulki mencuat dengan label “wanprestasi”—sebuah istilah hukum perdata yang secara sederhana berarti “ingkar janji.” Tuduhan ini lantas menjadi bahan cibiran publik, seolah semua praktik fundraising umat identik dengan penipuan atau penyalahgunaan dana.

Namun, sebelum terlalu cepat menuding, ada baiknya kita menempatkan persoalan ini secara proporsional—baik secara hukum, moral, maupun manajerial.

1. Antara Amanah dan Administrasi

Dalam dunia fundraising—khususnya yang bersifat sosial dan keagamaan—hubungan antara donatur dan pengelola dana sebenarnya tidak selalu bisa disamakan dengan kontrak bisnis komersial. Donasi bukanlah akad jual-beli, melainkan tabarru’ (pemberian sukarela untuk kebaikan). Maka, jika terjadi keterlambatan atau kendala dalam realisasi proyek, hal itu tidak otomatis bisa disebut wanprestasi hukum, apalagi bila tidak ada unsur penipuan, penggelapan, atau niat jahat.

Masalahnya sering kali bukan pada niat, melainkan pada manajemen. Banyak proyek amal di negeri ini yang berawal dari semangat spiritual tinggi, tapi kurang diimbangi tata kelola profesional—perencanaan matang, timeline realistis, dokumentasi transparan, serta komunikasi publik yang konsisten. Padahal, dalam fundraising modern, aspek kepercayaan (trust management) jauh lebih penting daripada sekadar target dana.

2. Fundraising: Bukan Sekadar Galang Dana, tapi Bangun Kepercayaan

Kritik keras terhadap Taqy Malik sebenarnya membuka ruang refleksi bagi para penggerak dakwah dan fundraiser Muslim: sudahkah kita mengelola kepercayaan publik dengan standar yang tinggi?

Dalam Islamic fundraising, ada tiga prinsip utama: transparansi (shafafiyyah), akuntabilitas (mas’uliyyah), dan keberlanjutan (istimrariyyah). Donasi bukan hanya urusan hati, tapi juga urusan tata kelola. Rasulullah ﷺ mengajarkan amanah bukan dengan kata-kata, tapi dengan sistem: “Berikanlah amanah kepada yang berhak, dan janganlah kamu mengkhianatinya.” (QS. An-Nisa: 58)

Maka, lembaga atau tokoh yang terjun dalam penggalangan dana publik harus berani diaudit, terbuka terhadap publikasi keuangan, dan memiliki tim pengawas independen. Di sisi lain, publik pun perlu belajar membedakan antara “proyek amal” dan “investasi.” Amal bisa tertunda, hasilnya bisa berbeda, tapi niatnya tetap suci. Sedangkan investasi tunduk pada kontrak komersial dan hukum profit.

3. Ketika Hukum dan Moral Bertemu

Dalam konteks hukum, tuduhan “wanprestasi” tidak bisa serta-merta disematkan hanya karena proyek belum rampung atau muncul keterlambatan. Diperlukan bukti adanya pelanggaran terhadap perjanjian yang disepakati secara sah dan tertulis. Jika tidak ada kontrak hukum yang mengikat antara donatur dan pengelola, maka ranahnya bukan “wanprestasi,” melainkan “evaluasi moral” dan manajemen publik.

Di sinilah kita sering keliru: mencampuradukkan ranah hukum positif dengan etika amanah dalam Islam. Islam tidak sekadar mengatur kontrak, tapi membentuk kesadaran moral bahwa setiap rupiah umat harus dijaga dengan penuh tanggung jawab di hadapan Allah. Maka, penyelesaian terbaik bukanlah saling serang di ruang digital, tetapi duduk bersama, membuka laporan, dan memperbaiki tata kelola.

4. Dari Kasus ke Kesadaran

Kasus Masjid Malikal Mulki seharusnya tidak menjadi ajang pembunuhan karakter, melainkan pelajaran kolektif. Bahwa setiap gerakan dakwah yang menyentuh urusan publik harus siap diuji, bukan hanya oleh opini, tapi oleh standar syariah dan profesionalitas.

Kita membutuhkan generasi fundraiser Muslim yang bukan hanya piawai menggugah emosi, tetapi juga paham hukum perdata, akuntansi publik, dan prinsip syariah dalam pengelolaan dana. Fundraising bukan sekadar mengumpulkan uang, melainkan mengelola amanah umat.

Dan kepada publik, mari bijak menilai. Tidak semua keterlambatan adalah pengkhianatan. Kadang, proyek besar butuh waktu tumbuh—seperti pohon yang baru berbuah setelah bertahun-tahun disiram kesabaran dan doa.


Penutup:
Kasus ini bukan tentang Taqy Malik semata, tapi tentang kita—umat Islam—yang sedang belajar menyeimbangkan antara semangat dakwah, profesionalitas manajemen, dan kesadaran hukum. Semoga dari kegaduhan ini lahir kesadaran baru: bahwa amanah publik bukan sekadar urusan hukum di dunia, tapi juga amanah besar di hadapan Allah di akhirat kelak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)