![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Yulia Fahira
Pada akhir Agustus 2025 lalu, Indonesia mengalami kerusuhan di berbagai
wilayah. Kerusuhan yang terjadi merupakan bentuk protes masyarakat terhadap
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang tak sejalan dengan kondisi masyarakat
saat ini. Aksi protes yang dilakukan masyarakat di dominasi oleh kaum muda.
Sayangnya, buntut dari peristiwa protes tersebut polisi justru menetapkan 959
orang menjadi tersangka, dengan rincian 664 dewasa dan 295 anak-anak.
Disisi lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mengingatkan kepolisian akan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam
penetapan 295 tersangka berusia anak dalam kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan, polisi harus mengkaji kembali apakah
penetapan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam sistem
peradilan pidana anak (SPPA). KPAI juga mendorong agar pihak kepolisian ketika
menetapkan anak sebagai tersangka dilakukan secara transparan karena
dikhawatirkan proses penyelidikan sarat akan ancaman dan intimidasi.
Munculnya gelombang protes yang dilakukan kalangan muda terutama
dari generasi Z atau yang biasa disebtu Gen-Z merupakan akumulasi kemarahan mereka
atas apa yang terjadi di negeri ini. Gen-Z sendiri tumbuh ditengah derasnya
arus modernisasi informasi digital sehingga mereka dapat dengan mudah menerima,
memahami dan melihat adanya kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi dan carut
marut sistem pengelolaan negara. Gen-Z juga merupakan generasi yang mudah
menerima perbedaan, spontan dan kritis, sehingga adanya aksi turun ke jalan
untuk menyuarakan keadilan merupakan bentuk kesadaran politik yang mulai timbul
dalam diri mereka.
Kesadaran politik yang dimiliki Gen-Z harusnya menjadi angin segar
bagi sebuah peradaban. Namun sayangnya, alih-alih dipandang sebagai ekspresi
politik generasi muda, hal itu justru dianggap sebagai ancaman oleh para
pemangku kekuasaan, sehingga suara Gen-Z seringkali dibelokkan dengan berbagai
isu dan narasi, dibungkam dengan bayang-bayangi hukuman, bahkan di diskriminalisasi
dengan label anarkisme.
Diskriminalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap generasi yang
kritis bukan hanya membungkam suara tapi juga pembunuhan karakter dan
pembentukan stigma buruk ditengah masyarakat terhadap generasi yang
kritis. Keadaan seperti ini merupakan
sebuah keniscayaan bagi negeri yang menganut sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme dengan hukum demokrasi-nya merupakan sistem
kehidupan bathil buatan manusia yang berpegang pada asas kebebasan hidup, termasuk
kebebasan berpendapat, namun pada kenyataannya kebebasan itu bersyarat.
Kapitalisme hanya akan memberikan ruang dan kebebasan pada suara yang sejalan, bukan
yang mengajak pada perubahan.
Kapitalisme memandang suara masyarakat hanya sebagai alat dalam
perpolitikan yang di dengar ketika dibutuhkan untuk meraih tujuan yaitu
kekuasaan, dan akan dibiarkan selama tidak mengancam kedudukan namun akan
dibungkam ketika menawarkan perubahan dan kritikan. Inilah pemerintahan kapitalisme-demokrasi
yang anti kritik dan memandang masyarakat hanya sebagai alat pendukung
kekuasaan.
Islam memandang generasi muda sebagai tonggak peradaban dan
penggerak perubahan. Kesadaran politik yang dimiliki generasi muda harus diarahkan
pada perubahan yang sistematis dan hakiki, bukan sekedar luapan emosi dan ambisi.
Perubahan yang hakiki bukanlah sekedar aksi spontan melainkan harus melalui
berbagai tahapan perbaikan, mulai dari dibangunnya pemikiran yang melahirkan kesadaran
individu hingga membentuk sebuah masyarakat yang memiliki satu pandangan, pemikiran
dan keyakinan bahwa mereka siap hidup di dalam sistem kehidupan yang shahih
sesuai fitrah manusia yaitu Islam.
Sejarah telah mencatat generasi muda memilik andil besar dalam
sebuah perubahan peradaban. Potensi generasi muda sudah terbukti sejak awal
dakwah Rasulullah dimulai, dimana para pemuda berada di barisan terdepan dan
menempati posisi penting dalam strategi dakwah Rasulullah, seperti Ali bin abi
Thalib, Mus'aib bin Umair, Asma' binti abu Bakar, Utsman bin Affan, Umar bin
Khathab dan sahabat lainnya.
Para sahabat yang notabenenya adalah para pemuda berhasil mengubah
peradaban, tak lepas dari peran Rasulullah yang langsung membina mereka.
Rasulullah melakukan pembinaan dengan tsaqofah Islam selama kurun waktu 3 tahun
dan berhasil membentuk kepribadian mereka menjadi kepribadian Islam (syaksiyah Islamiyah)
yang terdiri dari pola pikir islami (aqliyah islamiyah) dan pola sikap islami (nafsiyah
Islamiyah).
Dengan terbentuknya kepribadian Islam pada diri para mereka,
akhirnya mereka mampu mencurahkan segala kemampuan, ide dan potensi diri untuk
membangun sebuah peradaban yang mulia untuk menyelamatkan diri dan ummat
manusia dari peradaban gelap menuju cahaya Islam yang memuliakan dalam naungan
negara Khilafah. Sebab mereka telah paham bahwa tujuan hidupnya adalah mencari
ridho Allah SWT bukan manfaat dan keuntungan individu. Demikianlah Islam
mengelola potensi generasi mudanya.
Allahualam bishowab.
-----
Editor : Vindy Maramis
