![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Arie Rahmayanti
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan
dengan kasus viral yaitu kepala sekolah SMAN 1 Cimarga, Banten menampar salah satu siswa yang kedapatan merokok di area sekolah. Tak terima anaknya ditampar, orang tua siswa tersebut membawa kasus ini ke jalur hukum. Kejadian
ini memantik pro dan kontra. Ada yang menilai sang kepala sekolah berlebihan,
tapi tak sedikit pula yang merasa apa yang dilakukan tersebut hanyalah upaya untuk menegakkan
kedisiplinan yang kini kian memudar.
Bila kita flashback model pendidikan tahun 90-an, mungkin sudah sangat berbeda jauh dengan situasi pendidikan hari ini. Dulu, para siswa sangat menghormati guru-guru yang ada di sekolah, walaupun gaya mengajar guru tahun 90-an sering menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk pendisiplinan siswa. Tidak pernah terbesit dalam benak siswa di masa itu untuk melawan apalagi sampai melaporkan kepada polisi, justru hal tersebut disadari sebagai konsekuensi dari perbuatan melanggar aturan yang ada di sekolah. Pada masa itu, orang tua murid juga sangat menghormati guru-guru yang mendidik anak-anak mereka di sekolah, segala bentuk kebijakan dan aturan guru diikuti dengan taat.
Kini zaman telah berganti, sentuhan kecil dari guru bisa berujung pada laporan ke pihak polisi. Yang luput dari perhatian saat ini adalah apa sebenarnya esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan haruslah dipahami sebagai upaya untuk membentuk karakter dan akhlak, dalam perjalanannya tetap membutuhkan ketegasan namun juga dibarengi dengan kasih sayang.
Seni Menegur dalam Islam
Dalam Islam, menegur kesalahan adalah
kewajiban. Rasulullah Saw bersabda:
"Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan
lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR.
Muslim)
Artinya, apabila seorang guru menegur siswa
karena merokok di lingkungan sekolah artinya ia sedang menjalankan perintah
agama. Ia berusaha menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, mencegah keburukan agar
anak didiknya tidak terbiasa dengan perbuatan yang sia-sia ataupun perbuatan yang merusak.
Namun begitu, di dalam Islam, adab-adab dalam menasehati juga ada aturannya. Allah SWT berfirman :
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (TQS. Thaha: 44)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam Islam,
niat baik tidak bisa dijalankan dengan cara yang kasar. Tujuan menegur bukan
untuk mempermalukan, tetapi menyadarkan. Bukan melampiaskan emosi tetapi
mendidik hati.
Mencontoh Pendidikan Ala Rasulullah
Rasulullah Saw dikenal sebagai pendidik
sejati. Beliau tidak pernah memukul muridnya, tidak membentak apalagi
mempermalukan. Pendidikan beliau selalu berawal dari keteladanan dan kasih
sayang.
Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain kecuali
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Sebagai contoh, ketika seorang pemuda datang
kepada Rasulullah meminta izin untuk berzina, para sahabat sangat marah besar,
namun Rasulullah tidak membentak pemuda itu. Beliau justru bertanya dengan
lembut, "Apakah kamu rela jika itu dilakukan kepada ibumu? Putrimu?
Saudara perempuanmu?" Pemuda itupun malu, menunduk hingga akhirnya ia menyesal dan bertaubat.
Itulah pendidikan yang sesuai fitrah yaitu menasehati dengan lembut namun sembari mengaktifkan nalar sehingga mampu membangun kesadaran dari dalam diri seseorang, bukan memaksa dari luar dengan pukulan ataupun kekerasan.
Inspirasi dari Khilafah Abbasiyah: Negara Menjamin Ilmu dan Akhlak
Pada masa Khilafah Abbasiyah (750 - 1258 M), pendidikan Islam mampu mencapai puncak tertinggi pada saat itu. Baghdad bukan hanya pusat ilmu, tetapi juga pusat peradaban dunia. Negara memainkan peran sentral dalam membangun sistem pendidikan yang unggul dan berakhlak tinggi.
Pemerintah mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), tempat para ulama, ilmuwan, dan penerjemah dari berbagai bangsa meneliti, menulis, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Semua itu dibiayai penuh oleh kas negara. Pendidikan dibuat gratis dan terbuka, sehingga siapa pun, baik kaya atau miskin bisa mengakses ilmu tanpa terhalang status sosial.
Namun yang terpenting, negara tidak hanya
mencerdaskan akal, tapi juga mendidik jiwa. Kurikulum menekankan pembentukan
adab, tanggung jawab moral, dan kesederhanaan hidup. Para guru dihormati dan
digaji layak oleh negara karena mereka dianggap sebagai pilar peradaban.
Sistem pendidikan Abbasiyah membuktikan bahwa peran negara sangat menentukan jaminan akses ilmu untuk seluruh rakyat; menjaga nilai moral dan akhlak dalam kurikulum; memastikan guru dihormati dan dilindungi dalam menjalankan amanahnya.
Itulah sebabnya pendidikan pada masa itu
melahirkan generasi hebat seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, dan
ribuan ulama serta ilmuwan lainnya. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual namun sekaligus memiliki akhlak yang tinggi.
Berbeda dengan kondisi sekarang, ketika
pendidikan sering kali hanya diukur dari nilai ujian, akreditasi, dan peringkat
internasional, sementara akhlak dan karakter bangsa justru terabaikan.
Antara Disiplin, kasih sayang, dan Tanggung
Jawab Negara
Kasus di SMAN 1 Cimarga bukan hanya soal tamparan. Ia adalah cermin dari krisis moral dan pergeseran nilai antara guru, murid dan orang tua, dan negara. Guru kehilangan wibawa karena dibatasi oleh aturan, murid kehilangan rasa hormat karena merasa selalu benar, sementara negara kerap abai terhadap pendidikan akhlak yang seharusnya menjadi pondasi bangsa.
Dalam Islam keseimbangan peran sangat dijaga dalam sistem pendidikan, dimana guru bersikap tegas namun lembut; siswa hormat, tetapi berani introspeksi diri; orang tua mendukung bukan menghakimi; serta negara wajib memastikan pendidikan berjalan dengan arah yang benar, mencerdaskan akal sekaligus meluaskan hati.
Wallahu a'lam.
-----
Editor : Vindy Maramis
