oleh: Erika Febiana, Amd.SI.Ak
Beritakan.my.id, Opini_ Pelecehan seksual merupakan segala bentuk tindakan atau perilaku yang tidak pantas dan bernuansa seksual, dilakukan tanpa persetujuan, serta menimbulkan rasa tidak nyaman, ketakutan, bahkan ancaman bagi korban.
Sepanjang tahun 2025, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Karawang mencatat 121 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual pada anak menjadi yang paling dominan (tvberita.co.id, 3/10/2025).
Fakta ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukan sekadar persoalan perilaku individu yang hilang kendali, melainkan cerminan dari sistem sosial yang gagal menjaga kehormatan manusia. Di tengah arus sekularisme yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari kehidupan, batas antara kebebasan dan kerusakan semakin kabur.
Siapa yang tidak mendambakan kehidupan yang aman dan terhormat? Semua tentu menginginkannya. Namun, mungkinkah hal itu terwujud dalam sistem yang rusak seperti saat ini?
Sekularisme: Akar dari Maraknya Kasus Pelecehan Seksual
Kasus pelecehan seksual yang terus berulang bukan sekadar bukti lemahnya hukum, tetapi juga tanda bahwa masyarakat hidup dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme menjadi akar dari kerusakan ini karena ia menyingkirkan hokum Allah dari aturan hidup, lalu menyerahkan urusan hukum kepada hawa nafsu dan kepentingan dunia.
Sekularisme mengajarkan bahwa agama cukup di tempat ibadah, sementara urusan publik diatur oleh “akal manusia”. Akibatnya, batas antara benar dan salah menjadi kabur.
Lebih parah lagi, sekularisme memandang permasalahan sosial sebagai tanggung jawab individu semata. Ketika seseorang melakukan pelecehan seksual, maka yang disalahkan hanya pelakunya, tanpa melihat bahwa sistem masyarakat juga berperan dalam melahirkan perilaku tersebut. Berbeda dengan Islam, yang memandang pelecehan seksual sebagai masalah sosial. Penanganannya harus memberikan efek jera di tengah masyarakat agar tidak terulang kembali.
Sekularisme juga menjadikan umat fokus pada perbaikan akhlak individu saja, namun melupakan akar sistemik yang membentuk perilaku itu. Bagaimana akhlak bisa tumbuh baik jika hidup dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan?
Dari sekularisme pula lahir paham kebebasan tanpa batas. Masyarakat menganggap bahwa pakaian terbuka sebagai “kebebasan berekspresi”, candaan merendahkan perempuan sebagai “humor”, dan hubungan bebas dilegalkan atas nama “hak asasi manusia”.
Pelecehan seksual yang berulang adalah cermin bahwa kita telah jauh dari hukum Allah. Kita sibuk memperbaiki individu, tetapi membiarkan sistem rusak tetap berjalan. Padahal, akhlak yang baik hanya bisa tumbuh dalam sistem yang benar. Selama dunia menolak untuk kembali pada hukum Allah, pelecehan hanya akan berpindah tempat bukan berhenti. Pelecehan seksual bukan sekadar dosa individu, tetapi buah pahit dari ideologi yang menolak syariat Allah.
Islam Menutup Jalan Menuju Pelecehan Seksual
Islam bukan hanya menegur individu, tetapi menutup seluruh jalan menuju keburukan. Islam tidak menunggu kejahatan terjadi baru menghukum pelaku, melainkan membangun sistem pencegahan yang menyeluruh. Islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan, agar syahwat tidak tumbuh dari pandangan bebas, menutup aurat, agar tubuh tidak menjadi objek pandangan liar, menjaga pergaulan, agar interaksi antara laki-laki dan perempuan berlangsung dalam batas kehormatan, menegakkan hukum, agar pelaku pelecehan mendapat sanksi tegas dan menjadi pelajaran bagi masyarakat.
Dalam Islam perempuan sangat dimuliakan kita bisa perhatikan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika seorang perempuan diganggu di jalan, Umar segera melindunginya dan menghukum pelaku dengan tegas. Ia menegaskan bahwa pelecehan adalah kejahatan terhadap kehormatan umat. Ketegasan ini lahir dari sistem yang menegakkan hukum Allah secara menyeluruh.
Selama masyarakat masih berpegang pada sistem sekular yang menolak aturan Allah, kasus pelecehan akan terus berulang. Sebab akar masalahnya bukan pada individu, melainkan pada ideologi yang menolak peran agama dalam mengatur kehidupan.
Sudah saatnya umat kembali pada sistem Islam, sistem yang menjaga kehormatan, menutup pintu-pintu maksiat, dan menegakkan keadilan hakiki bukan hanya untuk individu, tapi untuk seluruh masyarakat.
Wallahu a'lam bish-shawab

