Mengembalikan Martabat Guru: Menyuarakan Keadilan dalam Bingkai Syariat Islam

Admin Beritanusaindo
0

 



Penulis: Widiawati A.Md.A.K | Aktivis Dakwah Remaja


Beritakan.my.id- OPINI- Seorang perwakilan guru dari Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) menyampaikan curahan hati yang menyentuh di hadapan anggota DPR RI terkait kondisi yang dirasakan para guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa para guru PPPK tidak iri terhadap status Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Ia meminta agar negara tidak menzalimi para guru yang telah mengabdi dengan tulus demi pendidikan anak bangsa.

Keluhan utama yang disampaikan mencerminkan berbagai ketidakpastian dan ketimpangan dalam sistem kepegawaian guru PPPK. Mereka mengungkapkan bahwa hingga saat ini, tidak ada jenjang karier yang jelas bagi guru PPPK, tidak seperti PNS yang memiliki struktur kenaikan pangkat dan jenjang jabatan yang terukur. Selain itu, guru PPPK juga tidak mendapatkan tunjangan pensiun yang menjadi salah satu jaminan masa tua yang penting bagi para pekerja di sektor publik. Kondisi ini membuat mereka merasa dipinggirkan meskipun mereka memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang sama dengan guru PNS, termasuk dalam hal mendidik, menyusun administrasi pembelajaran, dan menghadapi berbagai tantangan di lapangan.


Tak hanya itu, penghasilan yang diterima guru PPPK pun dinilai belum layak, terutama jika dibandingkan dengan beban kerja yang mereka emban. Mereka berharap agar Negara hadir memberi perlindungan, kejelasan status, dan kesejahteraan yang sepadan.


Para guru PPPK merasa bahwa pengabdian mereka selama ini belum direspons secara adil dalam kebijakan pemerintah. Mereka meminta DPR untuk memperjuangkan nasib mereka dan memastikan bahwa status PPPK bukan menjadi bentuk diskriminasi baru dalam birokrasi pendidikan, melainkan menjadi bentuk pengakuan yang setara atas kerja keras dan pengabdian mereka. (Liputan6.com, 26/9/2025)


Kapitalisme Akibatkan Ketimpangan Profesi Guru 


Masalah utama dalam kasus ini adalah pembiaran atas ketimpangan yang dilegalkan. Negara menciptakan dua kelas dalam tubuh ASN: PNS yang mapan dan dilindungi, serta PPPK yang "legal tapi rentan." Ini bukan hanya soal gaji atau pensiun, ini tentang bagaimana Negara memandang keadilan dan penghargaan atas pengabdian. Perasaan tidak dihargai ini semakin dalam karena profesi guru bukanlah pekerjaan biasa. Mereka mendidik generasi masa depan bangsa. Ketika mereka merasa didiskriminasi, itu bukan hanya luka personal, tapi cermin kegagalan Negara dalam menempatkan pendidikan sebagai prioritas.


Dalam sistem PPPK, guru dipandang sebagai tenaga kontrak yang dapat diatur melalui mekanisme pasar tenaga kerja seperti, kontrak kerja, evaluasi kinerja, dan kemungkinan tidak diperpanjang. Padahal profesi guru adalah profesi yang menuntut dedikasi jangka panjang, pembinaan kompetensi berkelanjutan, serta stabilitas emosional dan finansial untuk bisa menjalankan fungsinya secara maksimal. Kebijakan ini lahir dalam konteks relasi kekuasaan yang timpang, di mana suara para guru, terutama yang non-PNS, tidak cukup kuat untuk memengaruhi arah kebijakan. Selama bertahun-tahun, guru honorer dan kini guru PPPK menjadi bagian dari "kelas bawah" dalam struktur ASN. Jika pemerintah terus memelihara ketimpangan ini, maka bukan hanya para guru yang terluka, tapi juga sistem pendidikan kita secara keseluruhan.


Islam Melindungi Martabat Guru 


Dalam sistem Islam, penyelesaian ketimpangan perlakuan terhadap guru—seperti yang dialami guru PPPK dibandingkan dengan PNS—berakar pada kewajiban Negara untuk menegakkan keadilan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya secara merata. Guru, sebagai pihak yang mendidik generasi bangsa, tidak boleh diperlakukan sebagai tenaga kerja rendahan atau tenaga kontrak yang bisa diabaikan hak-haknya. Islam memandang profesi guru sebagai bagian dari penjaga ilmu dan pembentuk peradaban, sehingga penghargaan terhadap mereka harus diwujudkan secara nyata melalui kepastian status, jaminan penghasilan yang layak, serta perlindungan sosial dan masa depan yang terjamin.


Dalam sistem Islam, semua pihak yang mengemban tugas yang sama dari Negara harus mendapatkan perlakuan yang setara, tanpa diskriminasi berdasarkan status administratif seperti PPPK atau PNS. Negara dalam pandangan Islam bukan sekadar pengelola anggaran, tetapi pelayan umat yang bertanggung jawab penuh atas urusan rakyat. Kewajiban ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw. :

"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menjadi dasar bahwa Negara tidak boleh abai terhadap kondisi rakyatnya, termasuk para guru. Ketika Negara menciptakan struktur ketenagakerjaan yang timpang dan membiarkan ketidakpastian menghantui para pendidik, maka itu berarti Negara telah gagal menjalankan peran sebagai pelayan rakyat.


Negara dalam sistem Islam bertindak sebagai pengurus urusan rakyat (raa’in), bukan sekadar pembuat kebijakan yang berorientasi efisiensi anggaran. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan dasar guru, termasuk gaji yang mencukupi, jaminan hari tua, dan lingkungan kerja yang kondusif, bukan sekadar opsi, melainkan kewajiban syar’i yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Dana untuk itu berasal dari Baitul Mal—kas Negara—yang dikelola secara adil dan amanah untuk kepentingan publik, termasuk sektor pendidikan.


Dalam sejarah Islam, para guru dan ulama digaji secara layak dari Baitul Mal karena dianggap sebagai penjaga ilmu dan pembentuk peradaban. Mereka tidak diperlakukan sebagai pekerja rendahan atau kelas dua, sebab kontribusi mereka bersifat strategis dan jangka panjang. Sistem Islam juga menolak adanya kasta dalam birokrasi. Tidak boleh ada dua kelas dalam tubuh aparatur Negara yang menyebabkan ketimpangan perlakuan, terutama dalam profesi yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan bangsa. Islam menilai seorang pegawai bukan berdasarkan status administratifnya, tetapi berdasarkan amanah, integritas, dan kontribusinya terhadap masyarakat. Dalam kerangka ini, Negara tidak akan menjadikan guru sebagai "tenaga kontrak" yang bisa dipecat atau tidak diperpanjang sewaktu-waktu, melainkan sebagai pelayan umat yang harus diberi penghormatan dan kepastian kerja.


Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, gaji guru pada masa kekhalifahan bervariasi tergantung era dan status pengajar, namun umumnya sangat tinggi dan memuliakan profesi tersebut. Misalnya, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, guru anak-anak digaji 15 dinar per bulan, di mana 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Sementara pada masa Daulah Abbasiyah, terutama kepemimpinan Harun Ar-Rasyid, gaji pendidik umum bisa mencapai 2.000 dinar per tahun, sedangkan guru spesialis hadis dan fikih bisa mendapatkan 4.000 dinar per tahun. Guru-guru tidak hanya diberikan gaji rutin tetapi juga penghargaan berdasarkan karya, yaitu dengan menimbang berat emasnya.


Dengan demikian, solusi Islam terhadap persoalan ketimpangan guru PPPK ini sangat mendasar: menghapus diskriminasi berbasis status, menjamin kesejahteraan secara menyeluruh, dan menempatkan pendidikan sebagai urusan utama Negara, bukan beban anggaran. Jika prinsip-prinsip ini dijalankan, maka tidak akan ada lagi guru yang merasa dipinggirkan atau dizalimi oleh sistem, karena Negara hadir sebagai pelindung dan pengayom sejati, bukan sekadar administrator yang menghitung biaya dan laba rugi. Inilah wajah keadilan Islam dalam mengelola urusan publik—adil, manusiawi, dan berlandaskan tanggung jawab moral serta spiritual.


Wallahu a'lam bish shawab. 


Editor: Rens


Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)