Penulis: Irma Faryanti |Pegiat Literasi
Beritakan.my.id- OPINI - Sulitnya bertahan hidup dalam situasi perekonomian saat ini, membuat masyarakat melakukan berbagai upaya untuk bertahan hidup. Lapangan kerja yang tidak mudah didapatkan menjadi kendala lain yang kian menambah pelik permasalahan. Maka tidak heran jika jenis pekerjaan apapun akan dijalani selagi halal dan menghasilkan uang.
Bahkan saat ini muncul fenomena baru yang dikenal dengan istilah Job Hugging, di mana para pekerja lebih memilih memeluk pekerjaannya walaupun berada di tengah situasi pasar yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka lebih memilih mencari aman dan bertahan daripada kehilangan pekerjaan. Padahal dulu, berpindah-pindah kerja (Job Hugging) menjadi sesuatu yang biasa ketika pekerjaannya dianggap tidak kondusif atau merugikan.
Menurut catatan CNBC, tingkat pekerja yang keluar dalam beberapa bulan terakhir hanya sebesar 2% dan menjadi yang terendah sejak tahun 2016. Sementara menurut survei ZipRecruiter, karyawan baru yang mengganti pekerjaan selama dua tahun belakangan hanya sejumlah 52 persen saja. Para pekerja merasa pasar tengah lesu dengan resiko PHK yang bisa meningkat sewaktu-waktu. Pertumbuhan pekerjaan pun melemah dengan laju perekrutan yang semakin rendah. (Detik.com, Sabtu 20 September 2025)
Demikian pula dari sisi perusahaan yang lebih memilih memeluk karyawannya karena khawatir kekurangan tenaga kerja. Mereka lebih cenderung mempertahankan daripada harus merekrut pekerja baru. Scott Wren, seorang ahli strategi pasar global senior di Wells Fargo Investment Institute menyatakan bahwa ketidakpastian mengenai dampak tarif dan pertumbuhan ekonomi membuat perusahaan-perusahaan merasa ragu untuk menambah tenaga kerja.
Fenomena Job Hugging, meski nampak aman namun memiliki sisi negatif. Para pekerja berpotensi kehilangan peluang kenaikan gaji ketika terlalu lama bertahan. Karena mereka yang pindah pekerjaan biasanya mendapat upah yang lebih besar dibanding bertahan di posisi lama. Di samping itu, mereka akan cenderung stagnan, kurang berkembang, dan tidak kompetitif saat pasar tenaga kerja bergairah kembali. Karena perusahaan akan memutuskan hubungan kerja ketika karyawannya dianggap tidak memenuhi standar.
Job Hugging terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, karena tidak ada lagi pilihan, daripada tidak memiliki pekerjaan lebih baik bertahan walau kondisi sudah tidak nyaman. Kedua, demi stabilitas finansial agar tetap aman. Ketiga, terbatasnya ketersediaan lapangan kerja. Keempat, akibat kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian, rentan terjadi inflasi dan resesi. Inilah bukti nyata ketidakmampuan kapitalisme global dalam menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
Memang diakui, saat ini kondisi perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Permasalahan ketidaktersediaan lapangan kerja seolah menjadi masalah global. Hal ini terjadi akibat aturan kapitalis yang dianut oleh berbagai negara, menjadi ideologi problematik yang cenderung menyelesaikan masalah dengan masalah. Contohnya, sistem ini lebih menekankan produktivitas dan efisiensi, yang membuat perusahaan bisa menyesuaikan jumlah pekerja dengan kebutuhan produksi dan biaya. Alhasil mereka bisa dengan mudah mengurangi kuota pekerja dan menggantinya dengan mesin dan teknologi.
Pada dasarnya, melakukan Job Hugging menjadi pilihan yang serba salah, jika bertahan belum tentu kesejahteraan terjamin. Mereka pun sewaktu-waktu bisa terancam terkena PHK. Dalam kapitalis, pekerja tak ubahnya sebagai bagian dari mesin produksi. Manusia pun akhirnya mudah dieksploitasi dengan tuntutan kerja tinggi, tapi upahnya rendah. Sementara, ketika karyawan memutuskan keluar, belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Demikianlah, kapitalisme mampu menimbulkan kesenjangan ekonomi antara pekerja dengan pemilik modal. Kekayaan hanya berputar pada segelintir orang, sehingga si kaya semakin jaya dan mereka yang miskin semakin larut dalam kemiskinan. Sementara itu, negara tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui ketersediaan lapangan pekerjaan. Sehingga keberlangsungan hidup pekerja bergantung pada mekanisme pasar. Upah mereka ditentukan berdasarkan standar dan kebutuhan hidup paling minimum dari masyarakat.
Selain harus menghadapi persaingan yang sengit untuk mendapatkan pekerjaan, para pekerja juga harus bergantung pada perusahaan dalam penentuan penghasilan. Risiko menganggur pun sangat besar karena keberlangsungan mereka tergantung pada situasi ekonomi. Sayangnya, posisi negara hanya sebagai regulator, sekedar menetapkan regulasi dan kebijakan yang pro pada kepentingan para pemilik modal. Pemerintah memberi fasilitas dan kemudahan bagi swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Tidak ada jaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar individu dan publik yang menunjang terwujudnya kesejahteraan.
Berbeda dengan Islam, sistem ini menetapkan negara sebagai pengurus urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Bukhari dan Muslim:
“Imam itu adalah pemimpin dan dia dimintai pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin.”
Adalah bagian dari pengurusan seorang penguasa dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya, termasuk menafkahi orang fakir yang tidak memiliki kerabat.
Adapun cara Islam menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyatnya adalah dengan mewajibkan suami dan ahli waris memberi nafkah kepada wanita secara mutlak dan orang yang tidak mampu secara hakiki. Jika tidak ada atau tidak memiliki kemampuan, maka kewajiban itu diserahkan kepada negara. Adapun untuk mengatasi masalah pengangguran, Job Hugging dan PHK massal, penguasa akan menanganinya dengan beberapa cara: Pertama, mengelola SDA yang terkategori milik umum seperti tambang, dan melarang memberikan pengelolaannya kepada individu ataupun swasta. Dengan mengelola sendiri otomatis akan membuka peluang tenaga kerja.
Kedua, negara juga akan menerapkan kebijakan ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Yaitu dengan mengelolanya, sehingga produktivitas pun akan timbul dan membuka peluang pekerjaan juga keberkahan bagi siapapun yang mampu menghidupkannya. Ketiga, lahan produktif juga bisa diberikan pada rakyat untuk kebutuhan bertani dan berkebun (iqtha’), yaitu memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami. Keempat, penguasa akan memberi modal berupa hibah ataupun pinjaman tanpa riba. Fasilitas pun akan diberikan berupa pelatihan dan keterampilan yang bisa menunjang bekerja di berbagai jenis industri.
Semua itu baru akan terwujud, seandainya Islam ditegakkan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam. Kehadirannya menjadi janji Allah yang pasti akan terjadi, sehingga kesejahteraan umat menjadi sesuatu yang niscaya. Wallahu alam bisawwab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.