Ilusi Perdamaian Oslo dan Khianat Solusi Dua Negara

ZRP
0


Oleh: Rizqi Awal

Pengamat Politik di Indonesia Justice Monitor


Telah lama kita saksikan drama nestapa yang tak kunjung usai di tanah Al-Quds yang diberkahi. Sebuah drama yang dipentaskan di panggung politik internasional dengan dalih "perdamaian", namun sejatinya adalah babak demi babak penyerahan dan pengkhianatan terhadap hak-hak sejati umat. Kita bicara tentang pusaran krisis Israel-Palestina, dari laknat Perjanjian Oslo hingga ilusi pengakuan "Two-State Nation" yang samar.

Saya harus mengatakan dengan tegas: Semua skema yang ditawarkan oleh Barat dan para pengikutnya, yang berujung pada pengakuan entitas Zionis di tanah suci kaum Muslimin, adalah sebuah fatamorgana politik yang wajib kita tolak mentah-mentah.

Oslo: Tikaman di Punggung Umat

Masih terngiang di benak kita, khususnya para pengamat dan penikmat sejarah, bagaimana tahun 1993 menjadi titik balik kelam. Perjanjian Oslo—yang diteken di taman Gedung Putih, jauh dari aroma debu pertempuran di bumi Syam—bukanlah pintu menuju kemerdekaan, melainkan gerbang legitimasi pendudukan haram.

Perjanjian itu sejatinya adalah alat untuk mengikis hak mutlak umat Islam atas seluruh tanah Palestina. Ia memaksa pihak Palestina untuk mengakui keberadaan entitas Zionis, menanggalkan perjuangan bersenjata sebagai opsi strategis, dan menerima batas-batas yang ditentukan oleh kekuatan penjajah. Hasilnya? Otoritas yang diciptakan hanyalah pengelola administrasi di bawah bayang-bayang penjajahan, bukan sebuah negara yang berdaulat seutuhnya. Ia menjauhkan kita dari akidah yang memandang seluruh tanah syam adalah harta milik umat, yang tidak boleh diserahkan sejengkal pun kepada musuh.

Deklarasi Kemerdekaan dan Ilusi Two-State Solution

Kemudian, muncul pula Deklarasi Kemerdekaan Palestina dan tuntutan gencar terhadap solusi "Two-State Nation" (Solusi Dua Negara). Secara kasat mata, ini mungkin terdengar adil: dua bangsa hidup berdampingan. Namun, mari kita telaah dengan kacamata syariat dan politik yang utuh.

Solusi dua negara adalah sebuah kapitulasi (penyerahan) ideologis.

1. Mengakui Kebatilan: Mengakui solusi dua negara berarti mengakui hak entitas Zionis atas 78% tanah Palestina yang dicaplok pada tahun 1948. Ini adalah pengakuan atas kebatilan dan pembenaran terhadap perampasan.
2. Pelemahan Permanen: Negara Palestina yang diimpikan (di Tepi Barat dan Gaza) hanyalah negara yang terjepit secara geografis, tercekik secara ekonomi, dan lumpuh secara militer. Sebuah entitas yang terfragmentasi, dikendalikan oleh pos-pos pemeriksaan, dan sepenuhnya bergantung pada belas kasihan musuh. Apakah ini yang dinamakan kedaulatan?
3. Pengkhianatan Aqidah: Bagi seorang Muslim ideologis, tanah Palestina (termasuk Al-Quds, dengan Masjidil Aqsa) adalah tanah Kharajiyah (tanah yang dibebaskan melalui jihad). Ia adalah bagian dari Dar al-Islam (Negeri Islam) yang pernah berada di bawah naungan Khilafah selama berabad-abad. Akidah kita melarang penyerahan satu jengkal pun tanah tersebut kepada kaum kafir yang memerangi kita (lihatlah bagaimana hukum-hukum mu'amalat dalam kitab-kitab fikih tentang wilayah dan jihad).

Solusi dua negara bukanlah perdamaian, melainkan penjajahan dengan topeng kenegaraan bagi kaum Muslimin. Ia adalah upaya mematikan perjuangan ideologis dengan imbalan entitas administrasi yang lemah.

Solusi Tegas: Jihad dan Kembalinya Kekuatan Sentral

Dalam krisis yang berlarut-larut ini, umat Islam tidak butuh "jalan tengah" yang merugikan. Kita butuh solusi yang bersumber dari Akidah Islam kita yang kokoh, bukan dari meja perundingan musuh.

Solusi tegasnya hanya satu: Bukan Two-State Solution, melainkan One-State Solution yang Berbasis Akidah.

1. Penolakan Mutlak terhadap Zionis: Seluruh keberadaan entitas Zionis di tanah Palestina adalah haram dan tidak memiliki legitimasi. Seluruh tanah Palestina adalah milik kaum Muslimin. Tidak ada kompromi atas perampasan ini. Kaum Nasrani dan Yahudi boleh hidup berdampingan di dalamnya.
2. Mobilisasi Kekuatan Umat: Krisis Palestina bukanlah masalah kedaulatan sebuah kelompok kecil, melainkan krisis sentral seluruh umat Islam (sekitar 1,8 miliar jiwa!). Solusi tidak akan pernah datang dari Otoritas yang lemah, melainkan dari kekuatan militer yang terorganisir dari negara-negara Muslim yang berbatasan dan memiliki kemampuan, dengan didorong oleh sentimen dan akidah yang kuat.
3. Kebutuhan akan Sentralisasi Kepemimpinan (Khilafah): Masalah fundamental umat Islam saat ini adalah ketiadaan sentralisasi kekuatan politik dan militer yang mampu memobilisasi seluruh sumber daya umat. Tanpa kepemimpinan yang tunggal dan ideologis (Khilafah ala minhaj an-Nubuwwah), negeri-negeri Muslim akan terus terpecah belah, dan kekuatan mereka akan dinetralisir satu per satu. Hanya dengan tegaknya Daulah Islam yang kuat dan bervisi ideologis-politik mendunia, barulah Jihad untuk membebaskan Palestina secara total dapat dilaksanakan.

Perjanjian Oslo dan tawaran dua negara adalah jerat. Mereka menghendaki kita berdamai dengan kezaliman. Demi Allah! Tugas kita adalah mewujudkan janji Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan mengembalikan hukum Allah ke seluruh wilayah Islam, termasuk Palestina.

Mari kita tinggalkan perdebatan politik picisan yang berputar-putar dalam bingkai peradaban Barat. Kembalilah pada kekuatan akidah dan ketegasan syariat. Hanya dengan Jihad Fii Sabilillah dan di bawah naungan sistem kepemimpinan yang bersatu (Khilafah), Palestina dapat kembali suci, seutuhnya, dari lautan hingga sungai!

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)