Fenomena Fatherless : Lumpuhnya Ketahanan Keluarga dalam Sistem Kapitalisme

Admin BeritakanMyId
0

 

Sumber Ilustrasi : iStock.

Oleh : Ari Rahmayanti (Guru SAT – An  Nuha)

Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah kini menjadi persoalan besar yang melanda jutaan anak di Indonesia. Mereka tumbuh tanpa kehadiran ayah baik secara fisik maupun emosional. Ada yang ayahnya pergi karena perceraian, ada pula yang setiap hari ada di rumah, tetapi kehadirannya nyaris tak dirasakan.


Data menunjukkan, jutaan anak di Indonesia hidup dalam kondisi fatherless. Tak sedikit yang dibesarkan hanya oleh ibu, atau bahkan oleh nenek dan kakek. Fenomena ini melahirkan berbagai dampak psikologis yang mengakibatkan anak menjadi lebih rapuh, kehilangan kepercayaan diri, dan sulit mengenali jati dirinya.


Namun fatherless bukan fenomena yang muncul tiba-tiba. Bukan pula semata akibat buruknya komunikasi keluarga atau lemahnya pendidikan karakter. Fatherless adalah gejala sosial dari sistem hidup yang rusak. Sistem yang membuat para ayah kehilangan waktu, kehilangan arah, bahkan kehilangan peran.


Sistem kapitalisme-sekuler saat ini menuntut para ayah untuk terus bekerja tanpa henti, mengejar target nafkah yang kian berat. Sementara itu, biaya hidup yang terus naik, lapangan kerja yang terbatas, dan gaya hidup materialistik memaksa mereka menjauh dari keluarga. Ayah akhirnya hanya menjadi “mesin pencetak uang”, bukan pendidik dan pelindung bagi anak-anaknya.


Padahal dalam Islam, ayah memiliki peran sangat besar, ia bukan sekedar pemberi nafkah, tetapi juga qowwam (pemimpin, pelindung, dan penuntun bagi keluarga). Qowwam berarti seseorang yang berdiri tegak menjaga keluarganya dengan kasih sayang, tanggung jawab dan keteladanan.


Namun hari ini, banyak ayah kehilangan fungsi itu. Mereka terseret dalam arus kerja yang melelahkan, pulang larut malam, atau bahkan bekerja di luar kota demi menyambung hidup. Anak-anak tumbuh tanpa bimbingan langsung, sementara para ibu menanggung beban ganda yaitu mengasuh sekaligus menjadi penopang ekonomi keluarga.


Inilah potret nyata sistem hidup kapitalistik; keluarga tercerabut dari kehangatan, ayah kehilangan perannya, dan anak kehilangan figur pelindungnya. Anak-anak tumbuh di dalam rumah namun kehilangan rasa untuk pulang.


Islam memandang keluarga sebagai institusi suci yang harus dijaga oleh negara dan masyarakat. Dalam Islam, peran ayah dan ibu jelas dan saling melengkapi. Ayah bertugas sebagai pemimpin keluarga, pemberi nafkah, dan teladan dalam pendidikan anak. Ibu berperan sebagai pengasuh, pendidik, dan penjaga rumah tangga.


Teladan terbaik bisa kita lihat dari kisah Lukman al-Hakim. Ia bukan hanya seorang ayah yang bekerja keras, tetapi juga sosok pendidik yang menanamkan tauhid, adab, dan tanggung jawab pada anaknya. Kisah itu menjadi contoh abadi bahwa ayah sejati bukan diukur dari banyaknya uang yang diberikan, tetapi dari seberapa dalam ia hadir dalam jiwa anaknya.


Islam juga menempatakan negara sebagai penopang peran keluarga. Negara wajib menjamin kehidupan rakyat, membuka lapangan kerja dengan upah layak, serta menciptakan sistem ekonomi yang manusiawi. Dengan begitu, seorang ayah tidak harus mengorbankan waktunya bersama keluarga hanya untuk bertahan hidup.


Negara yang menerapkan sistem Islam akan memastikan bahwa para ayah memiliki keseimbangan antara tanggung jawab dunia dan tugas pengasuhan. Dalam sistem seperti ini, keluarga tidak dibiarkan berjuang sendirian di tengah kerasnya ekonomi.


Islam juga memiliki sistem perwalian yang kokoh. Anak yatim atau anak tanpa ayah tidak dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan. Negara akan menunjuk wali yang bertanggung jawab secara moral dan hukum untuk mendidik, menafkahi, serta menjaga mereka. Dengan demikian, tidak ada anak yang terlantar.


Prinsip ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga fitrah keluarga. Setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang, teladan dan rasa aman. Sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh sistem hidup yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi.


Fenomena fatherless adalah panggilan bagi kita semua untuk merenung, bahwa di balik setiap anak yang kehilangan ayah, ada sistem yang gagal menjaga manusia tetap dalam fitrahnya. Sistem yang mengukur kebahagiaan dari harta, bukan dari kedekatan hati.


Islam tidak hanya menawarkan nasihat moral, tetapi sistem yang menawarkan solusi nyata. Sistem ekonomi yang adil, sistem sosial yang peduli dan sistem politik yang memastikan setiap keluarga mendapatkan perlindungan.


Saat ayah bisa kembali menjalankan perannya sebagai pemimpin keluarga dan negara hadir sebagai pelindung rakyat, maka akan lahir generasi yang kuat, beriman, dan bahagia. Generasi yang tidak lagi merasa kehilangan, karena mereka tumbuh dalam pelukan kasih sayang yang dijaga oleh aturan Allah.

Allahu a’lam.

------

Editor : Vindy Maramis 



 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)