![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Ari Rahmayanti (Guru SAT An-Nuha)
Pernyataan
presiden Prabowo tentang kerugian negara hingga Rp 300 trilliun akibat tambang
ilegal di kawasan PT. Timah Tbk. kembali
membuka luka lama tentang pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Tambang
yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat justru sering kali berubah menjadi sumber
kerugian, kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi.
Masalah ini
bukan sekedar persoalan teknis atau lemahnya pengawasan. Ia adalah potret dari sistem pengelolaan tambang yang selama ini berorientasi pada
kepentingan ekonomi jangka pendek. Negara seringkali berperan hanya sebagai
regulator dan penerima pajak, sementara keuntungan besar dinikmati oleh
segelintir pihak. Akibatnya, rakyat terutama mereka yang tinggal di sekitar
tambang justru menanggung polusi, kehilangan lahan, dan kerusakan ekosistem.
Dalam pandangan
Islam, tambang dan sumber daya alam merupakan milik umum (milkiyah ‘ammah).
Rasulullah saw bersabda,
“Kaum muslim
berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput dan api” (HR. Abud Dawud, Ahmad)
Hadits ini
menunjukkan bahwa segala sumber daya vital yang menjadi kebutuhan bersama tidak
boleh di monopoli oleh individu atau korporasi. Para ulama menegaskan bahwa
kekayaan alam seperti minyak, gas, batu bara, tembaga, emas, dan timah termasuk
dalam kategori ini. Artinya, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan
pengelolaannya kepada pihak swasta, apalagi asing.
Kebijakan privatisasi
tambang sering dijustifikasi dengan alasan efisiensi dan keterbatasan anggaran
negara. Namun faktanya, ketika kekayaan alam diserahkan kepada korporasi besar,
negara kehilangan kendali atas harta strategis milik rakyat. Pendapatan negara
dari royalti dan pajak hanya sebagian kecil keuntungan yang sebenarnya
dihasilkan.
Sementara itu, masyarakat sekitar tambang kerap hidup dalam kemiskinan, lingkungan rusak, air
tercemar, dan udara tidak layak. Islam menolak model pertambangan semacam ini, sebab ia
menimbulkan ketimpangan dan mengabaikan prinsip keadilan sosial. Dalam sistem
Islam, pengelolaan tambang adalah amanah besar negara, bukan komoditas yang
bisa di perjualbelikan di pasar global.
Dalam sistem
ekonomi Islam, hasil pengelolaan tambang tidak mengalir ke segelintir elite,
melainkan masuk ke Baitul Maal untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat. Dana
ini digunakan untuk membiayai layanan publik yang mendasar seperti pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan jaminan sosial. Dengan demikian, kekayaan alam menjadi
instrumen pemerataan kesejahteraan, bukan sumber ketimpangan.
Skema ini sangat
logis dan manusiawi. Ketika negara menjalankan amanahnya dengan benar, rakyat
tidak perlu bergantung pada utang luar negeri untuk membiayai kebutuhan dasar.
Inilah bentuk nyata keadilan ekonomi dimana kekayaan alam kembali kepada yang
berhak yaitu seluruh rakyat.
Dengan demikian, akar masalah
tambang tidak hanya pada manajemen yang buruk, tetapi pada paradigma sistem
ekonomi sekuler yang memisahkan kebijakan publik dari nilai moral. Dalam sistem
kapitalisme, keuntungan menjadi ukuran utama, sedangkan kemaslahatan manusia dikesampingkan.
Islam hadir
dengan sistem yang menyatukan nilai spiritual dan sosial dalam pengelolaan
ekonomi. Negara bertanggung jawab penuh terhadap kekayaan rakyat dan tidak
boleh menjadi “penonton”. Dalam eksploitasi tambang, negara memastikan bahwa setiap keputusan ekonomi tunduk pada syariat, bukan tekanan
pasar atau kepentingan oligarki.
Rasulullah saw
bersabda,
“Imam adalah
pengurus, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang
dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Negara wajib
memastikan tambang besar dikelola langsung oleh pemerintah, karena dampaknya
luas bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan. Adapun tambang kecil boleh
dikelola oleh rakyat, tetapi tetap di bawah pengawasan negara agar tidak
menimbulkan bahaya ekologis dan sosial.
Allah SWT telah memperingati manusia dalam firman-Nya :
“Janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS. Al A’raf: 56)
Oleh karena itu, eksploitasi
berlebihan tanpa kontrol adalah bentuk penghianatan terhadap amanah Allah.
Karena itu, tanggung jawab negara tidak hanya memastikan keuntungan ekonomi,
tetapi juga menjaga keseimbangan alam, hidup dan manusia.
Penutup
Problem tambang hari
ini mencerminkan krisis nilai dalam mengelola kekayaan alam. Selama paradigma
kapitalisme masih digunakan, tambang akan terus menjadi sumber kerusakan dan
ketimpangan. Islam menawarkan solusi yang adil, manusiawi, dan sesuai
fitrah. Pengelolaan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan demi
segelintir pemodal.
Ketika prinsip-prinsip Islam diterapkan, kekayaan alam akan menjadi berkah, menumbuhkan kesejahteraan, menjaga kelestarian alam, dan menghadirkan ketenangan sosial.
Allahu a’lam.
------
Editor : Vindy Maramis
