Penulis: Ummu Bisyarah |Pemerhati Remaja dan Pegiat Literasi literasi
"Ketika kampus kehilangan nuraninya, mahasiswa tak lagi menemukan tempat untuk hidup, bahkan di ruang ilmu sekalipun"
Beritakan.my.id- OPINI - Kasus tragis yang menimpa seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) pada pertengahan Oktober 2025 kembali mengguncang publik. Seorang pemuda 22 tahun, mahasiswa semester tujuh, ditemukan tewas di lingkungan kampusnya sendiri. Dugaan kuat mengarah pada tindakan bunuh diri setelah ia mengalami tekanan sosial dan perundungan dari rekan-rekannya (detik.com, 18/10/2025). Namun yang lebih mengkhawatirkan, peristiwa semacam ini bukanlah yang pertama. Sepanjang 2023–2025, puluhan kasus bunuh diri mahasiswa dan remaja dilaporkan terjadi di berbagai kampus di Indonesia. Menurut data WHO, bunuh diri kini menjadi penyebab kematian kedua tertinggi di kalangan usia 15–29 tahun di dunia. Sedangkan survei PDSKJI tahun 2023 mengungkapkan bahwa 59% mahasiswa Indonesia mengalami gejala depresi, dan 22% mengaku pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Angka ini menjadi sinyal kuat bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang nyata.
Tragedi seperti ini tak bisa dipahami sekadar sebagai “kesalahan pribadi” atau “kurangnya ketahanan mental”. Setiap kali ada mahasiswa mengakhiri hidupnya, pernyataan kampus selalu sama: berduka, mengimbau agar semua pihak menjaga kesehatan mental, lalu menutup kasus dengan doa. Namun, pertanyaan paling penting jarang disentuh, mengapa kampus yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar justru berubah menjadi ladang tekanan, persaingan, dan penilaian tanpa empati? Mengapa mahasiswa harus hidup dalam sistem yang menekan dari segala arah, tanpa sandaran sosial yang memulihkan?
Faktanya, krisis mental mahasiswa tak bisa dilepaskan dari struktur sistem pendidikan yang kian menindas. Mahasiswa dituntut berprestasi di tengah biaya kuliah yang tinggi, beban tugas yang tak manusiawi, dan lingkungan yang memuja citra dibanding substansi. Dalam banyak kasus, seperti yang terjadi di Unud, relasi antarmahasiswa bahkan berubah menjadi ajang perundungan (tempo.co, 17/10/2025). Sistem pendidikan kita gagal menanamkan adab, empati, dan solidaritas sosial. Yang tumbuh justru budaya kompetisi, pamer, dan penghakiman sosial yang kejam. Baik di dunia nyata maupun di media digital.
Lebih jauh lagi, sistem negara hari ini pun turut memperparah luka itu. Negara membiarkan pendidikan menjadi komoditas mahal yang hanya bisa diakses dengan tekanan ekonomi. Pemerintah bicara soal “mental health awareness”, tapi abai membangun lingkungan hidup yang manusiawi. Tak ada jaminan pendidikan gratis, tak ada sistem dukungan psikologis yang memadai, tak ada perlindungan dari kekerasan struktural di kampus (kompas.com, 18/10/2025). Sementara di sisi lain, generasi muda dijejali narasi kesuksesan palsu, yakni harus kaya, harus viral, harus unggul. Maka ketika gagal memenuhi standar ilusi itu, banyak jiwa muda yang hancur dalam diam.
Inilah wajah sistem sekuler kapitalistik yang rusak hingga ke akar. Ia menilai manusia dari nilai ekonomi, bukan dari ketakwaan atau kontribusi. Ia memisahkan pendidikan dari nilai kemanusiaan, dan menggantinya dengan logika pasar. Tak heran bila kampus tak lagi mendidik manusia utuh, melainkan mencetak pekerja yang siap ditekan dan diperas. Dari sistem seperti inilah lahir generasi yang rapuh, bukan karena lemah, tapi karena hidup di tengah struktur yang tidak memanusiakan.
Islam menawarkan arah perubahan yang hakiki. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan alat industri, tapi sarana pembentukan kepribadian dan peradaban. Negara berkewajiban menyediakan pendidikan gratis, bermutu, dan berorientasi akhlak. Di masa kekhilafahan Islam, para ulama dan ilmuwan tumbuh dalam atmosfer ilmu yang menenangkan jiwa, bukan menekan. Tidak ada komersialisasi kampus, tidak ada standar sosial yang menindas, dan tidak ada manusia yang dibiarkan berjuang sendirian. Sistem Islam memandang manusia sebagai amanah, bukan alat produksi.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada masa kekhilafahan Islam, ilmu berkembang pesat sekaligus menumbuhkan kesejahteraan jiwa masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, Madrasah Nizamiyyah di Nisyapur, hingga Universitas al-Qarawiyyin di Fez berdiri dengan dukungan penuh negara, tanpa biaya bagi penuntut ilmu. Para pelajar diberi tempat tinggal, makanan, bahkan tunjangan hidup agar dapat fokus mencari ilmu tanpa tekanan ekonomi. Ilmu dan agama tidak dipisahkan, sehingga para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi tumbuh dalam lingkungan yang seimbang antara akal, iman, dan ketenangan batin. Inilah contoh nyata bahwa sistem Islam mampu menciptakan generasi cemerlang bukan hanya cerdas, tapi juga sehat secara spiritual dan sosial.
Karena itu, setiap kali ada mahasiswa yang mengakhiri hidupnya, sesungguhnya yang mati bukan hanya satu jiwa, tetapi juga nurani sistem yang membentuknya. Selama pendidikan masih tunduk pada logika kapitalisme, tragedi seperti ini akan terus berulang. Maka sudah saatnya kita berhenti menambal luka dengan seminar dan slogan “self love”, dan mulai menuntut perubahan mendasar yakni sistem pendidikan dan sosial yang kembali berpihak pada manusia. Dan itu hanya mungkin terwujud dalam naungan sistem Islam yang menegakkan ilmu, iman, dan kasih antar sesama.
Wallahualambishowwab.
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
