Ilustrasi Pinterest
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Beritakan.my.id, Opini_ Fenomena fatherless kini menjadi sorotan publik. Berbagai laporan menyebutkan jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah—baik secara fisik maupun psikis. Mereka hidup bersama figur ayah yang ada namun tak hadir, atau bahkan sama sekali kehilangan figur tersebut sejak kecil. Menurut laporan dari berbagai media, termasuk Kompas dan Tagar, situasi ini telah menjadi alarm serius bagi masa depan bangsa. Sebab, fatherless bukan sekadar persoalan keluarga, tetapi persoalan peradaban.
Yang menarik untuk kita renungkan, fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari akar peradaban yang telah lama menanamkan nilai-nilai materialisme dan individualisme, yakni peradaban kapitalistik-sekuler. Peradaban yang menempatkan manusia bukan sebagai hamba Allah, melainkan sebagai mesin ekonomi yang dituntut produktif tanpa henti. Maka, banyak ayah akhirnya menjadi sosok yang hidup di bawah tekanan untuk “berhasil” secara materi, bahkan jika itu harus dibayar dengan absennya peran mereka di rumah.
Para ayah hari ini bangun pagi sebelum anak terjaga, lalu pulang malam ketika anak sudah tertidur. Hari demi hari, mereka menua di balik layar kerja tanpa pernah benar-benar menjadi guru pertama bagi anaknya. Waktu yang tersisa hanya cukup untuk berbagi sisa energi, bukan perhatian. Dan begitulah, generasi fatherless lahir—bukan karena para ayah tak sayang, melainkan karena sistem hidup ini telah memaksa mereka menjauh.
Islam memandang ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah qawwam—pemimpin, pelindung, penopang keluarga. Allah berfirman:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. an-Nisa [4]: 34)
Ayah sejatinya adalah pelindung yang menghadirkan rasa aman, guru pertama yang menanamkan nilai-nilai iman, dan teladan yang menunjukkan bagaimana menjadi laki-laki sejati yang bertanggung jawab. Namun, ketika peran ini tergantikan oleh tekanan ekonomi, maka hilanglah figur qawwam yang seharusnya menjadi sandaran bagi anak-anak.
Kita bisa melihat contoh teladan luar biasa dalam kisah Luqman al-Hakim. Ia menasihati anaknya bukan dengan kemarahan, tetapi dengan hikmah dan cinta. Luqman berkata:
“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)
Dalam nasihat itu, tampak jelas bahwa peran seorang ayah bukan hanya memberi makan dan pakaian, tetapi menanamkan akidah dan akhlak. Luqman mengajarkan kepada anaknya keimanan, tanggung jawab, kesabaran, bahkan kesadaran sosial. Ia hadir bukan sekadar secara fisik, tetapi secara ruhiyah dan intelektual.
Kontras dengan kondisi hari ini, di mana banyak ayah terseret dalam pusaran kapitalisme. Mereka bekerja bukan sekadar untuk mencari rezeki halal, tetapi untuk memenuhi gaya hidup yang dibentuk oleh iklan, kompetisi sosial, dan standar sukses material. Sistem ekonomi kapitalistik telah mengubah makna bekerja dari ibadah menjadi survival. Ia menekan para ayah agar selalu sibuk, bahkan di luar batas kemanusiaan. Akibatnya, rumah kehilangan kehangatan, anak kehilangan figur teladan, dan ibu menanggung beban ganda.
Dampak fatherless begitu luas dan dalam. Anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung mengalami kesulitan dalam pembentukan karakter. Mereka mudah kehilangan arah, sulit mengenali batas tanggung jawab, dan rentan terhadap pengaruh lingkungan negatif. Banyak penelitian menunjukkan korelasi antara fatherless dengan meningkatnya kenakalan remaja, kecanduan, gangguan emosi, hingga krisis identitas gender. Secara sosial, ini adalah bom waktu bagi masa depan bangsa.
Namun, Islam memiliki pandangan sistemik terhadap hal ini. Dalam masyarakat Islam yang diatur dengan syariat, peran ayah tidak akan terpinggirkan oleh tuntutan ekonomi. Negara akan memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak dengan gaji mencukupi, sehingga tidak perlu bekerja berlebihan hanya untuk bertahan hidup. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, dalam sistem Islam, negara bukan hanya pengatur administratif, tetapi penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Ayah dapat menjalankan fungsinya sebagai qawwam tanpa harus menjadi budak sistem ekonomi. Dengan jaminan hidup yang layak, ia memiliki waktu untuk mendidik, membimbing, dan menanamkan nilai-nilai iman di hati anak-anaknya.
Dalam sejarah Islam, kita dapat melihat bagaimana peradaban Islam melahirkan figur-figur ayah yang luar biasa. Umar bin Khaththab r.a., misalnya, dikenal tegas sebagai pemimpin, namun lembut di hadapan anak-anaknya. Diriwayatkan, suatu malam ia menggendong anak kecil yatim dan menidurkannya di pelukannya agar tak menangis kelaparan. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai kasih sayang dan tanggung jawab dalam diri seorang ayah muslim.
Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab pertama orang tua, dan ayah memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai akhlak. Ia menulis, “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih bagaikan mutiara yang belum diukir. Apa pun yang diukirkan padanya, itulah yang akan melekat seumur hidup.”
Maka, ketika ayah absen dari peran tarbiyah ini, anak kehilangan ukiran terbaik dalam jiwanya. Mereka akan mencari teladan di luar rumah—dari media sosial, budaya populer, atau teman sebaya yang sama rapuhnya. Inilah mengapa fenomena fatherless bukan sekadar masalah personal, tetapi ancaman peradaban.
Krisis figur ayah adalah krisis maskulinitas sejati. Sistem sekuler telah mengikis identitas laki-laki sebagai pelindung dan pemimpin keluarga, menggantinya dengan peran pekerja yang diukur dari gaji dan jabatan. Maka, tak heran jika anak-anak hari ini tumbuh dengan figur ayah yang lelah, emosional, bahkan kehilangan otoritas moral. Mereka kehilangan contoh bagaimana menjadi pemimpin, karena sang pemimpin di rumah pun telah tunduk pada sistem yang menindasnya.
Untuk menyembuhkan luka ini, kita perlu kembali pada paradigma Islam. Bahwa hidup bukan sekadar mencari nafkah, tetapi beribadah kepada Allah. Bahwa menjadi ayah bukan hanya tentang memberi makan, tetapi membangun generasi pembela kebenaran. Bahwa keluarga bukan unit ekonomi, melainkan madrasah pertama peradaban.
Hanya sistem Islam yang mampu mengembalikan kehormatan ayah. Dalam naungan syariat, setiap laki-laki dibekali tanggung jawab spiritual dan sosial. Negara mendukung peran ayah dengan kebijakan yang adil: upah layak, jaminan kebutuhan dasar, dan sistem perwalian yang memastikan setiap anak memiliki pelindung. Tak ada istilah dalam Islam, karena jika seorang anak kehilangan ayah biologisnya, negara akan memastikan ada wali yang memelihara, mengasihi, dan mendidiknya dalam nilai-nilai Islam.
Fenomena fatherless yang kita saksikan hari ini adalah cermin dari rapuhnya peradaban modern. Ketika manusia menyingkirkan Allah dari kehidupan, maka peran suami, ayah, dan keluarga pun kehilangan makna. Kita menyaksikan bagaimana “kebebasan” justru melahirkan keterasingan, dan “kemajuan ekonomi” justru menciptakan kekosongan batin.
Maka, saat anak-anak tumbuh tanpa pelukan ayah, sesungguhnya kita sedang menyaksikan generasi yang tumbuh tanpa arah. Solusinya bukan sekadar pelatihan parenting atau kampanye kesadaran, melainkan perubahan sistemik yang mengembalikan manusia pada fitrahnya—hidup dalam ketaatan kepada Allah.
Karena sejatinya, peradaban yang sehat dimulai dari keluarga yang kuat. Dan keluarga yang kuat hanya akan terwujud ketika para ayah kembali pada perannya sebagai qawwam, para ibu dimuliakan sebagai umm, dan seluruh sistem kehidupan tunduk di bawah aturan Sang Pencipta.

