Angka Bunuh Diri Pada Anak Sekolah Meningkat : Buah Penerapan Sistem Kehidupan Sekuler

Admin BeritakanMyId
0


Sumber Ilustrasi : iStock.


By: Ika Juita Sembiring, S. Gz

Beragam prestasi anak sekolah melalui berbagai lomba bidang akademik dan kemampuan lain menghiasi pemberitaan nasional, itulah yang kita harapkan. Namun sayang, yang justru sering menjadi head line kabar berita adalah kasus bunuh diri anak sekolah. Beberapa waktu ini, anak sekolah melakukan bunuh diri menjadi kasus beruntun di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Dalam sepekan, dua anak ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri. Ditempat lain juga ditemukan anak meninggal dunia gantung diri di kelas dan di ruang OSIS.

Lantas, apa yang mendorong mereka mengambil keputusan pintas ini?.

Isu Mental-illness

Belakangan di kalangan anak-anak Gen Z santer isu mental health (kesehatan mental). Tekanan kecil dalam hidup ternyata cukup membuat trigger pada diri mereka yang kemudian akan menimbulkan gangguan kesehatan mental. Penyebab gangguan kesehatan mental ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti hubungan percintaan, perundungan, prestasi, hingga hubungan dengan orang terdekat (orang tua).

Menurut Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono, kondisi kesehatan jiwa anak-anak Indonesia menghadapi “lampu merah”. Angka temuan menunjukkan lebih dari dua juta anak di Indonesia saat ini berjuang dengan berbagai bentuk gangguan mental. Hasil pemeriksaan yang telah menjangkau sekitar 20 juta jiwa secara keseluruhan, mengungkap besarnya krisis yang tersembunyi di kalangan generasi muda (www.ameera.republika.co.id, 30/10/2025).


Bahkan data perusahaan riset kecerdesan buatan (OpenAI) menunjukkan lebih dari satu juta pengguna ChatGPT membahas percakapan mengarah ke keinginan atau rencana bunuh diri. Mengutip ulasan Tech Crunch pada Senin, 27 Oktober 2025, sekitar 0,15 persen dari pengguna aktif mingguan ChatGPT membahas percakapan yang mengandung indikator eksplisit niat bunuh diri. Persentase serupa juga menunjukkan peningkatan keterikatan emosional terhadap AI, sementara ratusan ribu pengguna menunjukkan tanda-tanda psikosis atau mania (
www.tempo.co, 30/10/2025).


Melihat jumlah kasus yang terus meningkat, dan terjadi di berbagai tempat, tentu ini bukan sekadar masalah individu. Ada sistem yang saling berkaitan memicu kasus ini. Sangat mengkhawatirkan, pemuda yang menjadi harapan bangsa justru memiliki mental yang rapuh. Tidak mampu mengelola emosional justru lari dari masalah dengan bunuh diri.

Solusi Parsial

Mengatasi tingginya kasus bunuh diri pada anak, banyak kalangan mengusulkan adanya screening kejiwaan atau deteksi dini, baik secara langsung maupun melalui platform digital. Bahkan disarikan data pencarian/percakapan dengan aplikasi chatGPT, ternyata banyak pengguna yang bertanya terkait bunuh diri.


Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menegaskan bahwa setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup mencerminkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap masalah psikologis di lingkungan sekolah dan keluarga. “KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system yang efektif di sekolah dan komunitas. Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stress berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal” (
www.mediaindonesia.com, 31/10/2025).


Jika deteksi dini ini saja yang diharapkan untuk mengatasi kasus bunuh diri, maka ini hanya solusi parsial. Tidak menyeluruh dan mendasar. Deteksi hanya akan menemukan anak yang sudah mengalami tanda-tanda depresi, bukan mencegah agar tidak terjadi depresi pada anak, atau jika sudah terjadi depresi bagaimana agar anak mampu bertahan terhadap tekanan jiwanya, bukan kemudian mencari solusi praktis dengan bunuh diri.


Sarana konseling yang disediakan sekolah dan kampus juga tidak banyak membantu. Sering kali anak pelaku bunuh diri, anak yang terlihat tidak mengalami masalah ataupun perundungan. Bahkan ada yang merupakan anak berprestasi secara akademik, namun berakhir dengan bunuh diri juga.

Sistem Yang Rusak

Tidak semata masalah kesehatan mental. Sistem dimana kita hidup saat ini justru tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan manusia. Circle tempat anak hidup dan beraktifitas turut berkontribusi besar membentuk kepribadian anak. Apakah kemudian menjadi anak yang tangguh atau lemah. Baik fisik maupun mentalnya.


Rumah diharapkan menjadi tempat pembentukan karakter awal bagi anak, yaitu mendapat pendidikan aqidah paling awal dari kedua orang tua di rumah. Kini fungsi orang tua pun telah dikerdilkan menjadi hanya tempat kepulangan secara fisik. Banyak anak justru mendapat tekanan dari dalam rumah. Namun, apakah salah orangtua semata?. Tentu tidak, orang tua hari ini juga kesulitan bertahan di tengah gempuran sistem yang amburadul. Ekonomi sulit, sementara biaya yang harus ditanggung selangit.


Kemudian sekolah tempat anak menuntut ilmu juga tak kalah rusak. Sistem sekuler mengambil hanya secuil peran agama (aqidah). Padahal kuatnya aqidah lah yang akan menjadi dasar karakter pribadi yang kuat bagi anak. Pendidikan hari ini sibuk mengejar prestasi fisik pun akademik yang tidak melibatkan aqidah. Pelajaran agama (aqidah) hanya sepintas menampilkan teori, tidak meninggalkan pengaruh yang melekat pada anak. Sistem pendidikan hari ini menuntut anak mampu menyelesaikan masalah secara praktis. Bukan membangun karakter kuat agar mampu menghadapi masalah.


Negara yang paling diharapkan perannya dalam masalah ini juga hanya menghadirkan solusi-solusi parsial. Melalui lembaga-lembaga semisal KPAI dengan projek deteksi dini kesehatan jiwa bersama kementerian kesehatan. Selebihnya diserahkan kepada sekolah, kampus dan keluarga masing-masing.

Pendidikan Mental Dalam Islam

Berharganya nyawa manusia di dalam Islam di lindungi dengan sistem yang saling mendukung. Ada sistem terkait penjagaan nyawa manusia agar tidak hilang secara sia-sia, baik dihilangkan oleh orang lain ataupun bunuh diri. Tanggung jawab penjagaan ini dilaksanakan oleh negara. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (Al Maidah : 32).


Dalam hal ini tentu yang akan dilakukan pertama kali adalah penerapan dasar aqidah yang kokoh oleh negara sebagai sebuah sistem kehidupan, kemudian diturunkan kepada orang tua, para guru, pemangku jabatan dan anak sekolah. Sebab aqidah adalah asas dari tingkah laku manusia.


Negara berkewajiban menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Ekonomi yang sehat juga akan menciptakan atmosfer sistem sosial yang masyarakatnya saling peduli dan tolong-menolong. Hal-hal semacam ini akan mengurangi faktor nonklinis penyebab gangguan kesehatan mental dan depresi.


Orang tua yang dibekali dengan pemahaman aqidah Islam yang kokoh akan menerapkan syariat dan nilai-nilai agama dalam keluarga sehingga anak-anak yang terlahir akan di didik, di rawat, dan di lindungi secara bertanggung jawab. Sehingga anak-anak tumbuh tangguh dan mampu menghadapi persoalan dalam kehidupan dan tidak cepat berputus asa.


Pada tingkat sekolah, para guru dan pihak sekolah akan menyusun kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, konten pendidikan dan interaksi yang berlangsung sesuai dengan aturan Islam. Sehingga terbentuk lah anak-anak didik yang berkepribadian Islam yang kuat, baik secara pemikiran maupun perilaku, mereka akan bertingkah laku sesuai dengan hukum syara..


Anak-anak, baik di dalam rumah, di lingkungan masyarakat, maupun lingkungan sekolah dipersiapkan dengan matang menuju manusia dewasa yang tidak hanya baligh secara fisik, tetapi juga aqil secara pemikiran.

Wallahu`alam.


------

Editor : Vindy Maramis

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)