Duta GenRe, Penentu Suksesnya Generasi Emas 2045

Goresan Pena Dakwah
0

Ilustrasi: duta GenRe atasi pernikahan dini (pinterest)

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritakan.my.id, Opini--Saat membuka acara Apresiasi Duta dan Jambore Ajang Kreativitas GenRe Nasional (Adujaknas) 2025 di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Wamendukbangga) Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka menegaskan pentingnya peran Duta GenRe sebagai agen perubahan sosial bagi para remaja di Indonesia (republika.co.id, 25-10-2025).


Menurut Ratu Ayu Isyana remaja harus meningkatkan pemahaman agar menghindari perilaku yang dapat merusak masa depan, termasuk pernikahan dini, aturan idealnya, usia pernikahan perempuan adalah 21 tahun dan untuk laki-laki 25 tahun. Tujuannya agar pasangan siap secara fisik dan mental.


Harapannya, duta GenRe dapat mencegah remaja dari dampak negatif kecanduan seperti narkoba dan pornografi, sebab otak remJa perkembangannya belum sempurna, sehingga rentan kecanduan. Maka dari program PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) yang dikelola oleh, dari dan untuk remaja bisa memberikan informasi dan konseling tentang kesehatan reproduksi dan persiapan kehidupan berkeluarga, karena tidak semua remaja nyaman berbicara dengan orangtua. Intinya, remaja GenRe adalah penentu masa depan Indonesia Emas 20245.


Salah Diagnosa Masalah Tentu Salah Beri Solusi


Data Kemenag menunjukkan pasangan di bawah 19 tahun yang menikah menurun dari 8.804 di tahun 2022, menjadi 5.489 di tahun 2023, dan 4.150 di tahun 2024. Namun hal itu tetap harus menjadi perhatian pemerintah.


Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Mastuki Mastuki mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat keempat global dalam kasus pernikahan anak, meski angka tersebut sudah menurun ke 8,60 persen pada 2022, mendekati target pemerintah sebesar 8,74 persen.


Faktor utama pernikahan dini meliputi norma agama, sosial, budaya, minimnya edukasi, media sosial yang mempertontonkan pergaulan bebas, tekanan ekonomi keluarga, serta keinginan menghindari kehamilan di luar nikah, atau jika sudah terlanjur hamil saat pacaran maka menikah dianggap solusi (kemenag.go.id, 25-1-2025).


Dan meski pemerintah sudah mengesahkan UU No. 16 Tahun 2019 yang memungkinkan dispensasi pernikahan dengan alasan tertentu, seperti situasi mendesak akibat kehamilan, tekanan norma sosial dan agama, dan minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi, namun tetap pernikahan dini dianggap penghambat tumbuhnya generasi emas.


Widyaiswara Kementerian Agama Siti Mukzizatin menjelaskan pentingnya perpindahan generasi yang smooth untuk meminimalkan pernikahan dini, yang nantinya akan memengaruhi pola asuh. Ia membandingkan generasi X yang tumbuh mandiri di era analog dengan generasi Y yang lebih adaptif terhadap teknologi digital.


Dalam perspektif budaya, pernikahan dini berdampak kompleks, seperti putus sekolah, risiko kesehatan, kemiskinan, kekerasan rumah tangga, hingga gangguan kesehatan mental. Pernikahan dini juga membawa penyesalan akibat hilangnya kebebasan dan kesempatan, yang menggambarkan seriusnya masalah ini.


Semua pendapat seolah mengerucut pada pendapat bahwa pernikahan dini itu buruk, dan dampaknya lebih buruk lagi. Dalam program duta GenRe, setidaknya ada empat program kerja yaitu kependudukan dan pembangunan keluarga, kesehatan reproduksi remaja, keterampilan hidup, dan perencanaan kehidupan berkeluarga.


Dengan dilaksanakannya program , remaja bisa mengoptimalkan masa mudanya untuk berkarya demi bangsa. Dari remaja untuk remaja, edukasi berbasis teman sebaya. Dan tentu, yang dimaksud berkarya di sini adalah mengutamakan pendidikan dan karier. Artinya, sangat kental demi kepentingan ekonomi.


Tak ada konteks lain yang lebih tepat untuk menggambarkan tujuan pemerintah. Sebab sistem yang mengatur kehidupan hari ini adalah kapitalisme, dengan asas sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, memandang makna kebahagiaan dan sukses hanya dari banyaknya materi yang diterima. Seperti misalnya wanita karier lebih mulia dibanding ibu rumah tangga, sebab dianggap wanita karier lebih menghasilkan materi dibanding ibu rumah tangga.


Ditundanya pernikahan,dengan anggapan remaja belum matang otak dan sikapnya jika nanti dalam pernikahan ada pengasuhan dengan harapan bisa lebih baik, namun nyatanya tak ada upaya pemerintah memberi kenyamanan pada naluri nau (insting berkasih sayang) yang menggebu karena pencarian identitas pada remaja. Pendidikan berbasis sekuler, agama hanya dipelajari sebagaimana belajar kimia atau bahasa Indonesia ,miskin penerapan dan teladan. Sehingga tidak menyentuh akalnya secara sempurna untuk menjadi kendali dari nafsunya.


Demikian pula dengan media sosial yang tanpa filter berarti, sesuatu yang porno dan bisa menggangu otak beredar dimanapun, di iklan, di konten edukasi, di gim anak-anak, di sinetron, di film bahkan di buku bacaan anak-anak. Pemerintah dibuat seolah tak berdaya dengan ulah para provider layanan digital, penguasa hanya peduli pada pajak yang mereka terima sebagai pendapatan negara namun abai terhadap pengaruh buruknya. Media sosial yang seharusnya bisa menjadi fasilitas edukasi dan penguat iman, justru menjadi guru dari perilaku tak beradab.


Pun hukuman bagi para pezina, pelaku pacaran, pengedar narkoba, dan kriminal lainnya tidak tegas bahkan tidak adil. Padahal semestinya bisa menjadi ancaman nyata bagi mereka yang berperilaku buruk bahkan keji. Hukum hanya berbicara siapa yang punya uang lebih, dialah pemenangnya.


Jelas tak ada harapan program ini bisa berjalan sukses sebab ada kesalahan pembacaan masalah, yang berujung pada kesalahan pemberian solusi. Jika dalam agama, terutama Islam pernikahan dini tidak dipermasalahkan maka mengapa justru negara dengan penduduk muslim terbanyak masih mencari celah dari peraturan lain?


Islam Pasti Wujudkan GenRe, Generasi Religius Peradaban Cemerlang


Dalam sistem Islam, pernikahan dini tidak menjadi soal. Batasannya hanya jika sudah menginjak usia baligh. Namun, gambaran pernikahan di era peradaban Islam dengan sekuler hari ini sangatlah berbeda. Sehingga wajar jika masyarakat antipasti terhadap fenomena pernikahan dini, sebab hari ini lebih identik pernikahan dini hanya untuk menyelamatkan muka akibat pergaulan bebas dan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.


Pendidikan berbasis akidah sudah ditanamkan sejak dini, dengan harapan usia emas ini anak mampu menyerap sebanyak mungkin pemahaman tentang agamanya dan kelak ketika baligh paham akan taklif syara bagi dirinya.


Kemudian, dalam Islam, negara wajib menjamin rakyatnya atas kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, juga kesehatan dan pendidikan). Artinya, negara memberikan jaminan yang cukup kepada seluruh rakyatnya. Sehingga ketika seseorang memutuskan akan menikah, maka ia hanya perlu kosentrasi pada bagaimana keluarganya akan menjadi salah satu keluarga yang taat kepada Rabbnya.


Negara tidak akan membebani keluarga dengan biaya apapun terkait kebutuhan publiknya, karena setiap pria baligh akan dijamin negara memperoleh pekerjaan layak agar mampu memberi nafkah kepada keluarganya secara makruf. Darimana negara mendapatkan pendanaan sedemikian besar? Tentu dari seluruh harta kekayaan kepemilikan umum ( tambang, minyak, kekayaan alam, laut, hutan dan lainnya), harta kepemilikan negara( jizyah, fa’I, kharaj, dan lainnya) serta zakat.


Sehingga rakyat, terutama remaja bukan sebagai faktor ekonomi semata tulang punggung negara. Namun, seorang hamba yang utuh dan bahagia yang bervisi misi akhirat, yaitu menjadi hamba Allah.


Hukuman dalam Islam bukan main-main, setiap pelaku zina pasti akan dicambuk atau dirajam sesuai dengan tingkat kejahatannya. Negara akan senantiasa mensuasanakan keimanan yang tinggi agar rakyat merasa aman dan nyaman. Remaja akan dialihkan pada perjuangan menegakkan kalimat Allah, bukan hanya sebagai penguat faktor ekonomi. Wallahualam bissawab. [ry].


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)