![]() |
Ilustrasi depresi (foto:freepik) |
Sungguh kasus kriminal di negeri ini tak ada masa surutnya, yang
terkini dan terbilang brutal kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13
tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan 26 orang
rata-rata anak di bawah umur alias masih berstatus pelajar . Kapolres Baubau,
AKBP Bungin Masokan Misalayuk beralasan karena mayoritas para pelaku adalah
anak di bawah umur maka belum mengumumkan identitasnya (CNN Indonesia.com, 23/6/2024).
Mirisnya para pelaku nasih anak sekolah, sedangkan korban sudah dua kali tidak naik kelas di SD dan
sempat berhenti karena malu tinggal
sendiri, orang tuanya bercerai, broken home jelas AKBP Bungin. Gambaran tak
ideal generasi muda kita hari ini.
Baca juga: Negara Gagal Melindungi Generasi Masa Depan
Kemudian kasus kematian AM (13) dengan dugaan dianiaya oknum
anggota Polda Sumatera Barat. Pelaporan versi LBH Padang ini bertentangan
dengan argumen polisi (Bisnis.com, 26/6/2024).
Dalam hal ini Kapolda Sumbar Irjen Suharyono membantah ada
dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota Sabhara terhadap AM. Memang ad kasus
pengeroyokan, namun saat dilakukan pengamanan terhadap 18 orang, pelajar atas
nama AM tidak terdata.
Lebih jauh, Suharyono menyebut berdasarkan keterangan rekan
AM berinisial A menyatakan bahwa dalam aksi patroli itu korban diduga sempat
mengajak untuk menceburkan diri ke sungai. Berbeda pula dengan kesaksian orangtua
korban yang menyatakan ada banyak luka lebam di tubuh sang anak.
Negara Gagal Memberi Jaminan Perlindungan Terhadap Anak
Apapun perbedaan pendapat di atas, satu hal yang pasti, ada
jaminan rasa aman yang hilang di tengah-tengah masyarakat. Dan parahnya, anak
menjadi korbannya. Kasus kekerasan
terjadi dimana saja, di lingkungan
masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya pun beragam, dari orang dewasa diantaranya orangtua , guru, teman sebaya, bahkan aparat.
Patut kita pertanyakan bagaimana dengan sistem pendidikan di negeri ini? Terbukti
jelas, gagal melahirkan individu yang
berakhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan dengan kurikulum merdeka belajar
hari ini adalah mempercepat pencapaian tujuan nasional di dunia
pendidikan yaitu meningkatnya kualitas SDM yang ada di Indonesia karena
memiliki keunggulan dan daya saing dengan negara-negara lain. Jika begini
kenyataannya akankah bisa tercapai?
Jika mau berbicara jujur, sejatinya Negaralah sumber kekerasan yang sebenarnya, karena menerapkan aturan yang
memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan sistem
sanksi pun tak mampu mencegahnya. Kesalahan menetapkan batasan usia anak-anak
juga berpengaruh, yaitu 18 tahun masih batas maksimal usia anak.
Padahal usia maksimal 18 tahun bisa dibilang sudah dewasa,
ia sudah bisa menentukan apa yang terbaik baginya, artinya pilihan berbuat baik
atau buruk sudah bisa ia lakukan dengan sadar dan matang.
Keberadaan Kementerian khusus pun dengan segala programnya,
nyatanya belum mampu mewujudkan perllindungan anak . Semua karena dilandaskan pada paradigma
sekuler kapitalisme, sehingga memandang anak pun dengan pandangan tersebut.
Anak Adalah Aset, Tak sekadar Butuh Jeli Tapi Iman
Anak adalah aset negara dan peradaban yang luar biasa. Tak
bisa dengan entengnya kita hanya membesarkannya, sementara pemikirannya kita
abaikan. Selama masih memandang anak dari sisi untung dan rugi, maka selama itu
pula kita akan terjebak dalam kebodohan yang sama.
Khilafah punya sistem perlindungan anak dengan tegaknya 3 pilar, yaitu mewujudkan keimanan dan ketakwaan pada taraf individu, kontrol Masyarakat dengan amar makruf nahi munkar dan penerapan aturan oleh negara yang tegas dan adil.
Sebab, mustahil tumbuh kembang anak hanya bisa kita upayakan dalam satu aspek, pendidikannya saja misalnya, Sementara ekonomi, sosial, hukum, kesehatan dan keamanan tidak saling mendukung. Inilah mengapa Allah Swt. Berfirman yang artinya,”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”. (TQS al-Baqarah: 208). Wa allahualam bissawab.