Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Demi meningkatkan perekonomian dan daya saing UMKM di Kabupaten Bandung, Bank DKI yang bekerjasama dengan PT Bangun Niaga Perkasa memberikan kemudahan kredit lapak, kios, atau los dengan tenor 5 tahun dan batas maksimal 500 juta bagi para pedagang di pasar sehat Banjaran. Pedagang yang berminat memiliki kios dan lokasi usaha di pasar ini dapat mengajukan pinjaman dengan melampirkan persyaratan, seperti KTP dan persyaratan lainnya. (mediaindonesia.com, 10/6/2024)
Revitalisasi pasar Banjaran sendiri sejak awal telah menuai pro dan kontra di kalangan pedagang. Sebagian besar pedagang menolak karena khawatir tidak akan mampu membeli lapak setelah pasar ini dibangun. Bahkan, mereka membawa perkara itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun, karena gugatan terhadap Pemkab Bandung ditolak oleh PTUN, akhirnya para pedagang menyetujui pembangunan pasar tersebut.
Baca juga: Pinjol untuk Pendidikan, Solusikah?
Keberadaan pasar tradisional menjadi salah satu hal yang penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Di tengah modernisasi saat ini, pasar masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam berbelanja kebutuhan pokok. Sebab, di pasar tradisional para pembeli masih bisa melakukan proses tawar menawar dengan harga lebih murah, lengkap, dan dapat berinteraksi dengan banyak orang. Revitalisasi pasar tradisional agar menjadi pasar sehat serta modern memang sangat diperlukan, karena dapat mengubah citra pasar tradisional yang tadinya kotor juga semrawut menjadi pasar yang bersih dan tertata.
Selama ini, para pedagang dapat berjualan di pasar dengan cara menyewa tempat usaha untuk jangka waktu tertentu atau dengan hak Pemakaian Tempat Usaha dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. Pedagang sebagai pemakai tempat dalam area pasar harus membayar kewajiban yang besarnya ditetapkan oleh pihak pengelola pasar yakni PD Pasar Jaya. Sedangkan untuk pasar sehat, para pedagang harus membayar sewa atau membeli lapak/kios kepada pengembang. Sebab, pemerintah tidak menggunakan dana APBD untuk membangun pasar sehat, melainkan bekerjasama dengan pengembang. Maka tidak heran harga tempat usaha di pasar sehat jauh lebih mahal bahkan mencapai ratusan juta rupiah.
Kini, pembangunan Pasar Banjaran akan segera rampung dan kekhawatiran para pedagang sepertinya akan menjadi kenyataan. Meskipun ada kemudahan yang ditawarkan oleh pihak pengembang, berupa kredit untuk membeli lapak, tetap saja hal ini akan memberatkan. Di tengah perekonomian yang semakin sulit dan daya beli masyarakat yang rendah, tentu para pedagang akan kesulitan untuk bertahan apalagi kalau harus membayar cicilan.
Baca juga: Rumah dalam Jaminan Negara, Islam Mewujudkannya
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya mampu memberikan perlindungan kepada seluruh rakyat, termasuk pedagang. Yakni dengan membangun pasar-pasar yang nyaman dan bersih, menyediakan kios gratis, memberi pinjaman modal tanpa bunga, berikut keamanannya. Bukan malah menyerahkan pembangunannya kepada swasta yang jelas-jelas hanya memikirkan keuntungan semata.
Dengan mengalihkan tanggung jawab merevitalisasi pasar kepada pengembang, berarti negara telah melepaskan tanggung jawabnya untuk mengurus rakyat. Penguasa dalam sistem kapitalisme saat ini hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang menjembatani bisnis antara pengusaha dan rakyat. Menyerahkan pembangunan sektor-sektor vital seperti pasar, rumah sakit, jalan, pelabuhan, bandara, kepada mereka. Dengan memberikan berbagai kemudahan kepada pemodal dan pengusaha, penguasa berharap kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Padahal kenyataanya, masyarakat bawah semakin terjepit, sementara para pemodal meraup cuan yang berlimpah.
Kehidupan dalam sistem kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Aturan Islam mewajibkan seorang pemimpin untuk menjadi pelayan rakyat, mengayomi dan menjamin kebutuhan pokok warganya serta menyediakan berbagai fasilitas kesehatan dan pendidikan. Negara Islam juga akan membangun infrastruktur seperti pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat dengan biaya yang diambil dari baitul mal yang bersumber dari pengelolaan SDA, fai, kharaj, dan sumber-sumber lain yang dibenarkan oleh syarak.
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga: HET Minyak Goreng dan HAP Gula Naik, untuk Kepentingan Siapa?
Negara akan memberikan berbagai kemudahan bagi para pedagang agar tetap dapat berjualan, seperti pemberian modal usaha secara cuma-cuma maupun berbentuk pinjaman tanpa bunga (nonribawi). Membangun pasar-pasar dengan lapak-lapak yang nyaman, bersih, dan tertata sehingga pedagang dan pembeli dapat melakukan transaksi jual beli dengan nyaman. Selain itu, pedagang juga tidak perlu khawatir dengan adanya berbagai pungutan, karena akan selalu ada qhadi hisbah dan syurtoh (aparat kepolisian) di sekeliling pasar. Jika pun ada jual beli lapak, itu hanya antar individu saja dengan mekanisme harus selaras dengan hukum syarak, salah satunya tidak boleh ada unsur ribawi di dalamnya.
Solusi atas muamalah ribawi hari ini tidak hanya sebatas individu maupun kelompok. Ini karena muamalah ribawi telah menjadi persoalan sistemik yang menjerat banyak pihak di negeri ini. Oleh karena itu Islam mewajibkan negara untuk melindungi rakyat dari praktik muamalah yang menyesatkan ini. Negara dalam Islam akan menghapus praktik muamalah yang mengandung riba/bunga termasuk bunga dalam utang piutang. Islam memandang bahwa riba hukumnya haram dan negara berkewajiban menjaga umat dari keharaman ini. Allah Swt. berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)
Negara yang menerapkan aturan Islam juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga ataupun kelompok yang masih mempraktikkan muamalah ribawi. Sanksi yang dijatuhkan berupa ta’zîr yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.
Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Maka, hanya dengan penerapan aturan Islam secara total dalam sebuah institusi negaralah masyarakat akan sejahtera. Sebab, penguasa akan sepenuhnya berpihak kepada umat dan membela kepentingan mereka. Para pelaku usaha baik pedagang pasar maupun pengusaha besar dapat beraktivitas jual beli dengan tenang dan nyaman terlindungi dari praktik riba yang mencekik. Wallahu’alam bi ash shawab. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
