Membangun Negara dengan Investasi Asing, Apa tidak Bahaya?

Admin Beritanusaindo
0
Sumber ilustrasi gambar: Kompas.id

Islam menentukan negara sebagai pihak yang akan membangun negeri dengan kekuatan sendiri, tidak boleh melibatkan swasta baik lokal maupun asing. Islam sudah menentukan sumber pemasukan negara sebagai modal untuk membangun negeri yang berasal dari fa'i, jizyah, ghanimah, kharaj, juga seluruh harta milik umum (SDA) seperti sumber energi, tambang, hutan, laut, dan lain sebagainya. 


Oleh Reni Rosmawati 

Pegiat Literasi Islam Kafah dan Admin Beritanusaindo


 

Beritanusaindo.my.id - OPINIBelum lama ini, Presiden Joko Widodo meresmikan operasional Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kabupaten Batang, Jumat 26 Juli 2024. KITB tersebut dipandang memiliki sejumlah keunggulan yang pastinya akan dilirik oleh para investor asing. Jokowi sendiri mencatat, investasi yang sudah masuk dalam KITB ini kurang lebih mencapai Rp14 triliun. Pemerintah berharap semakin banyak para investor asing yang menanamkan modalnya di KITB, akan bisa memberikan kontribusi dalam memajukan Indonesia serta menyerap tenaga kerja lokal. (Metrotvnews. com, 28/7/2024)


Menurut Bahlil Lahadila, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), saat ini setidaknya ada 18 perusahaan yang tergabung dalam KITB yang dapat menyerap 19 ribu tenaga kerja Indonesia. Nanti setelah 10 tahun, KITB akan mampu mempekerjakan 250 ribu pekerja. (CNBC, 26/7/2024)


Baca juga: Subsidi LPG Menjadi BLT, Solusikah?


Pembangunan KITB untuk Kesejahteraan Rakyat, Benarkah?


Sebenarnya, berbagai proyek serupa telah dibangun pemerintah di sejumlah tempat dan daerah, seperti di Kawasan Industri Kuala Tanjung di Provinsi Sumatera Utara, Kawasan Industri Landak di Kalimantan Barat, Kawasan Industri Ketapang, dan Sekarang Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB). 


Adapun menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984, Bab 2 Pasal 3, tujuan dari pembangunan kawasan industri tersebut antara lain; meningkatkan kesejahteraan juga kemakmuran rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memperluas serta meratakan kesempatan kerja. (Kemenkeu.go.id)


Namun jika ditelisik, pembangunan kawasan industri tersebut tidak sesuai yang diharapkan masyarakat saat ini. Klaim bahwa hadirnya perusahaan dapat menyerap tenaga kerja banyak belum terbukti. Karena nyatanya rakyat di sekitar industri tetap kesulitan mencari kerja. Bahkan jika ada kesempatan untuk bekerja pun mereka kerap dihadapkan dengan berbagai syarat berbelit, seperti batas usia maksimal, tingkat pendidikan, sertifikat, pengalaman kerja, dan lainnya. Belum lagi rakyat harus bersaing dengan para tenaga kerja asing (TKA), karena biasanya pembangunan kawasan industri dengan jalan investasi, membuka peluang semakin banyaknya TKA yang datang untuk bekerja di Indonesia.


Di sisi lain, pembangunan kawasan industri ini juga nyatanya telah menimbulkan banyak persoalan dan dampak buruk bagi lingkungan sekitar, seperti polusi air, udara, dan tanah akibat limbah pabrik yang berbahaya bagi makhluk hidup di sekitar. Belum lagi betapa banyak hak hidup rakyat yang terenggut akibat pembangunan tersebut. Para petani kehilangan mata pencahariannya, disebabkan lahan pertanian mereka dialihfungsikan menjadi bangunan-bangunan raksasa. Bahkan buntut akhir dari semua ini adalah terjadinya bencana alam, seperti banjir dan longsor. 


Baca juga: Moderasi Beragama Akankah Menciptakan Harmoni dan Keseimbangan dalam Masyarakat?


Seandainya benar pemerintah ingin membangun negara, menyejahterakan masyarakat, dan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya bagi mereka, maka yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengelola seluruh SDA yang ada di negeri ini. Apalagi Indonesia adalah negara yang kaya raya ‘gemah ripah loh jinawi.’ Berbekal ini semua, semestinya Indonesia mampu berdiri sendiri menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat dan bisa membiayai pembangunan kawasan industri. Tidak perlu melibatkan asing melalui mekanisme investasi. Kemudian pemerintah pun harus menutup keran investasi, baik bagi korporat lokal maupun asing. 


Sungguh disayangkan, lagi-lagi pemerintah mengambil opsi untuk membuka keran investasi untuk memajukan dan membangun negara ini. Padahal sejatinya, investasi amatlah berbahaya. Negara akan kehilangan kedaulatannya. Sebab ia adalah jalan mulus bagi asing untuk mencengkeramkan kuku penjajahannya dan mendominasi negeri ini dalam segala aspek. Baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Hal ini terbukti jelas dengan banyaknya kekayaan alam Indonesia yang dikuasai asing dan aseng. Sementara rakyat hidup terlunta-lunta di negerinya sendiri. 


Inilah potret negara yang menerapkan sistem kapitalisme neoliberal. Paradigma kapitalisme memandang bahwa investasi adalah kunci bagi terwujudnya lapangan pekerjaan dan kesejahteraan rakyat. Padahal sejatinya semua itu hanyalah ilusi. Karena investasi ala kapitalisme adalah model pembangunan yang hanya berpihak pada kepentingan para kapital/pemilik modal, bukan untuk rakyat. 


Sementara penguasa dalam sistem ini tak seutuhnya melayani rakyat. Namun ia sebatas regulator dan fasilitator yang menjembatani serta memuluskan jalan para kapital melakukan pembangunan di negeri atas nama investasi. Apalagi, berdasarkan amanat UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, negara wajib menetapkan investasi sebagai jalan membangun negeri.


Maka tidak heran, mengapa para korporat baik lokal maupun asing dapat dengan mudahnya menguasai dan mengendalikan berbagai kebijakan di negeri ini. Sedangkan negara kehilangan kedaulatannya. Sehingga untuk menyediakan lapangan pekerjaan pun harus menghamba kepada korporat asing. 


Baca juga: Subdisi LPG dalam Sistem Kapitalisme, Solusikah?


Pembangunan Negara dalam Islam 


Islam menentukan negara sebagai pihak yang akan membangun negeri dengan kekuatan sendiri, tidak boleh melibatkan swasta baik lokal maupun asing. Islam sudah menentukan sumber pemasukan negara sebagai modal untuk membangun negeri yang berasal dari fa'i, jizyah, ghanimah, kharaj, juga seluruh harta milik umum (SDA) seperti sumber energi, tambang, hutan, laut, dan lain sebagainya. 


Orientasi pembangunan dalam Islam benar-benar ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, bukan para pemilik modal seperti dalam sistem kapitalisme. Pembangunan infrastruktur di suatu daerah pun akan disesuaikan dengan yang dibutuhkan rakyat. Sehingga potensi perekonomian di wilayah tersebut dapat mengangkat kehidupan warga setempat. Apabila ada wilayah seperti Papua yang memiliki banyak kekayaan alam, maka negara akan membangun infrastruktur terkait sesuai kebutuhan di sana. Negara juga akan mengoptimalkan penduduk setempat agar dapat menjadi tenaga ahli dan terampil di industri tersebut. Sehingga tidak ada cerita penduduk Papua mengalami kemiskinan ekstrim seperti yang kita lihat saat ini.


Adapun dalam hal investasi, maka Islam tidak melarangnya. Asalkan, tidak menyangkut perkara sumber daya alam. Sebab ia merupakan harta kepemilikan umum (rakyat) yang haram dimonopoli dan dieksploitasi oleh segelintir orang. Namun ia wajib dikelola oleh negara, untuk kemudian hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat berupa pemenuhan seluruh kebutuhan vital seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. 


Pengelolaan harta kepemilikan umum secara mandiri oleh negara ini, tentunya akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja banyak pun akan terbuka lebar. Sehingga setiap laki-laki yang telah balig dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya dan anggota keluarganya seperti sandang, pangan, dan papan. Adapun bagi masyarakat yang tidak dapat bekerja karena tua ataupun memiliki keterbatasan fisik, maka tanggung jawab mencari nafkah tersebut akan beralih kepada anggota keluarganya yang lain. Namun, jika tidak ada sanak saudaranya, maka negaralah yang akan mengambil alih tanggung jawab tersebut. 


Islam pun sangat memperhatikan nasib para pekerja. Upah buruh akan disesuaikan dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, serta tempat dan waktu bekerja. Juga akan memberi bantuan kepada industri kecil dan masyarakat yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi memiliki keterbatasan modal usaha. Kemudian, Islam pun akan memanfaatkan lahan padat karya. Jika ada tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut, maka negara akan mengambilnya untuk kemudian diberikan kepada masyarakat yang mampu menghidupkannya. Sehingga semua masyarakat bisa bekerja, tidak ada yang menganggur. 


Demikianlah betapa sempurnanya sistem Islam dalam membangun negara dan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan. Sungguh, hanya Islam yang memiliki berbagai sistem yang akan menghantarkan kesejahteraan juga dalam menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat. Sebab dalam pandangan Islam, negara/penguasa bertanggung atas seluruh urusan rakyatnya dari hal kecil sampai yang besar. 

 

Sabda Rasulullah saw.: “Seorang pemimpin adalah pengatur urusan rakyat. Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.




 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)