Oleh : Eni Imami, S.Si, S.Pd
Pendidik dan Pegiat Literasi
Beritanusaindo.my.id -OPINI -Sebanyak 176.986 narapidana dan Anak Binaan menerima remisi pada HUT RI ke- 79. Hal ini diumumkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly pada Sabtu, 17 Agustus 2024. Ia mengatakan bahwa remisi ini bukan hadiah, tetapi bentuk apresiasi kepada narapidana yang menunjukkan prestasi, dedikasi, dan disiplin tinggi dalam mengikuti program pembinaan (metro.tempo.co, 18-08-2024).
Remisi yang diberikan berupa pengurangan masa pidana terhadap 172.678 narapidana dewasa dan 1.215 Anak Binaan. Adapun remisi langsung bebas diberikan pada 3.050 narapidana dewasa dan 41 Anak Binaan. Wilayah penerima remisi terbanyak yaitu Sumatera Utara 20.346 orang, Jawa Barat 16.772 orang, dan Jawa Timur 16.274 orang.
Baca juga:
KDRT Menjamur Akibat Sistem Kufur
Sungguh miris, betapa banyaknya pelaku kejahatan di negeri ini. Bahkan penjara overload, sehingga pemberian remisi dianggap sebagai solusi. Selain itu, remisi diklaim dapat menghemat anggaran negara hingga Rp274,36 miliar. Karena negara dapat mengurangi biaya perawatan atau pemberian makan para narapidana.
Sanksi Lemah Kejahatan Merajalela
Tidak hanya di momen HUT RI narapidana mendapatkan remisi. Ada remisi hari raya keagamaan, remisi kejadian luar biasa, remisi dasawarsa, remisi untuk kemanusiaan, dan lain-lain. Banyaknya macam remisi yang diberikan mengindikasikan sistem sanksi mudah memberikan toleransi terhadap pelaku kejahatan. Tak heran jika kejahatan semakin beragam hingga lapas menjadi over kapasitas.
Saat ini, sebanyak 531 rutan (rumah tahanan) dengan kapasitas hunian 140.424 dihuni oleh sekitar 265.346 nara pidana, jadi overcrowded sekitar 89 persen. Mirisnya, hal ini disolusi dengan pemberian remisi. Ini menunjukkan penguasa tidak berpikir mendalam bagaimana mencegah tindak kejahatan.
Baca Juga:
Kampanye #frienship4peace Untuk Siapa?
Inilah bukti lemahnya hukum buatan manusia. Hasil penerapam sistem demokrasi yang melegalkan manusia berdaulat atas hukum. Mirisnya lagi, kebijakan penguasa memberikan remisi untuk menghemat anggaran negara. Tampak sekali negara enggan terbebani untuk mengurusi rakyatnya. Begitulah jika ideologi kapitalisme dijadikan dasar kepemimpinan saat ini.
Ditambah cara pandang sekularisme yang menjadikan individu lemah memahami agama sehingga mudah melakukan kejahatan. Begitu pun dengan aspek pendidikan yang diterapkan berbasis sekuler, tak mampu mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak mulia. Alhasil tak sedikit generasi yang terjerat kasus kriminal bahkan tindak kejahatan berat.
Oleh karena itu dibutuhkan solusi sistemis. Karena maraknya tindak kejahatan bukan semata-mata disebabkan oleh lemahnya ketakwaan individu. Namun juga karena lemahnya sistem pendidikan, sistem hukum dan sistem lainnya yang menopang kehidupan.
Baca juga:
Sistem sekuler demokrasi kapitalisme telah menampakkan kegagalannya mengurus rakyat. Satu-satunya solusi adalah dengan mengganti sistem menjadi sistem Islam. Sistem paripurna yang berasal dari Sang Pencipta manusia.
Sanksi Islam Menuntaskan Kejahatan
Islam memiliki sistem persanksian yang tegas terhadap pelaku kejahatan. Memberikan efek jera untuk mencegah kejahatan merajalela, karena sanksi yang diberikan memiliki dua fungsi yakni sebagai zawajir (pencegah terjadinya kejahatan) dan sebagai jawabir (penebus dosa di dunia sehingga tidak diazab di akhirat).
Penjara bukanlah satu-satunya jenis hukuman yang diberikan. Kalaupun hukumannya penjara, tidak akan ada remisi narapidana. Karena sanksi dalam sistem Islam berdasarkan hukum syara', tidak bisa ditawar apalagi diperjual belikan. Tidak boleh ada keberatan, naik banding, dan kasasi terhadap sanksi yang sudah diputuskan.
Baca juga:
Aroma Sekulerisme di Balik PP 28/2024
Dalam sistem Islam, sanksi dibagi menjadi empat macam. Pertama, hudud yakni sanksi yang diberikan karena melanggar had Allah, seperti zina, mencuri, liwath(homoseksual), qadzaf, peminum khamar, bughat, dan sejenisnya. Kedua, Jinayat yakni sanksi terhadap pembunuhan atau melukai anggota tubuh tanpa haq, mereka akan dikenai qishah atau diyat. Ketiga, ta'zir yakni berupa sanksi yang ditentukan oleh Khalifah atau qadhi. Keempat, mukhalafat yakni sanksi terhadap pelaku penyelewengan perintah atau larangan yang dikeluarkan oleh negara.
Selain penerapan sanksi yang tegas, negara dalam sistem Islam juga melakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah melakukan kejahatan. Menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak generasi bertakwa. Hal ini menjadi benteng individu dari serangan berbagai kejahatan.
Negara dengan sistem Islam mewujudkan lingkungan tempat tinggal yang nyaman bersama masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut juga harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka. Kondisi ini membuat mereka tidak asing dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak akan bersikap individualis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu.
Tiga pilar antara individu, lingkungan masyarakat dan negara bersinergi mencegah tindakan kejahatan merajalela. Demikianlah, Islam mampu memberikan solusi sistemis bagi permasalahan kehidupan manusia. Pemberian remisi sejatinya solusi pragmatis produk sistem sekuler yang nyata-nyata tidak mampu menyentuh akar permasalahan atas maraknya kasus kejahatan. Wallahualam bissawab. [ry].