Kapitalisme Menggerus Naluri Keibuan

Admin Beritanusaindo
0

 


Kapitalisme telah menggerus naluri ibu menjadi begitu ganas. Hal ini sangat berbeda dengan Islam, yang memosisikan ibu begitu mulia melalui perannya sebagai pendidik utama dan pertama (madrasatul ula). Baik buruknya generasi ada peran ibu disana. 


Oleh Umi Lia

Kontributor Beritanusaindo dan Member Akademi Menulis Kreatif



Beritanusaindo.my.id -OPINISeorang ibu biasanya sayang dan lebih dekat ke anak gadisnya. Berbeda dengan ayahnya yang jarang berinteraksi karena tugasnya di luar rumah mencari nafkah. Dengan naluri keibuannya, ia akan menjaga anaknya dari kejahatan maupun kebahagiaan yang akan menimpanya. Tetapi yang terjadi saat ini justru diluar nalar manusia, ketika mendapati sosok yang dianggap mulia itu membiarkan anaknya dirudapaksa oleh lelaki bejat.


Itulah yang terjadi di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Seorang remaja dicabuli berkali-kali oleh kepala sekolahnya berinisial J (41). Mirisnya pencabulan ini diketahui dan disetujui ibu kandungnya, seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) berinisial E. Peristiwa ini dilaporkan ke polisi oleh ayah kandung korban. (Kumparan.com, 1/9/3024)


Baca jugaKejahatan Anak Marak Akibat Sistem Rusak


Miris, seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung yang memberikan rasa aman bagi putra putrinya justru membiarkan kekejian luar biasa menimpa anaknya. Naluri keibuannya seolah mati sekaligus menunjukkan betapa moral di tengah masyarakat begitu rusak luar biasa. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai masalah individu yang rusak sebab kejadiannya terus berulang. 


Kehidupan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistem yang diberlakukan untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana mereka memandang kehidupan sangat dipengaruhi oleh aturan, standar, dan nilai yang diterapkan oleh sebuah ideologi. Karena negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme sekuler yang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan dan mengagungkan kebebasan baik dalam beragama, kepemilikan, berpendapat, maupun bertingkah laku, telah menghantarkan kehidupan ini menjadi liberal. Memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan apapun sesuai hawa nafsunya tanpa memperhatikan norma agama. 


Baca juga: Tersandera Swastanisasi, Air Tak Lagi Mengalir


Dampak sekulerisme juga merusak sistem pendidikan baik formal maupun nonformal. Sekolah dan kampus yang harusnya bisa mencetak manusia berkepribadian Islam justru menjadi pribadi yang hanya sekadar mengetahui ilmu, tapi minim dalam ketaatan. Sekulerisme menyasar siapapun tak peduli apakah tenaga pendidik yang seharusnya peduli dengan nasib generasi maupun seorang ibu yang dikenal dengan kelembutannya. Keduanya bisa berubah menyeramkan dan menjadi buas. 


Bagaimana dengan anak-anak yang dididik di lembaga yang berbasis agama seperti pesantren atau sekolah islami? Jawabannya hampir sama, tidak ada jaminan mereka aman dan terlindungi. Sepertinya lembaga pendidikan maupun rumah yang dipandang sebagai tempat yang ramah bagi anak, tidak demikian saat ini. Seolah tidak ada tempat yang dikatakan aman bagi berkembangnya generasi. Sebab pelaku kejahatan kadang sulit ditebak, ternyata orang terdekat yang secara nalar mustahil mereka pelakunya. Itulah sistem rusak, berpotensi besar merusak tatanan sosial masyarakat. 


Baca juga: Privatisasi Air Niscaya dalam Sistem Kapitalisme


Dari sisi sanksi yang diberlakukan, tidak memberi efek jera sama sekali. Hal ini wajar terjadi karena aturan yang diberlakukan adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak mengetahui hakikat kebaikan itu sendiri. Maraknya kasus kejahatan, menjadi bukti kegagalan sistem yang diterapkan, khususnya dalam hal pendidikan dan persanksian. 


Kapitalisme telah menggerus naluri ibu menjadi begitu ganas. Hal ini sangat berbeda dengan Islam, yang memosisikan ibu begitu mulia melalui perannya sebagai pendidik utama dan pertama (madrasatul ula). Baik buruknya generasi ada peran ibu disana. 


Ibu dengan naluri keibuannya mampu melindungi dan menyayangi putra putrinya dengan segala kelembutannya dibarengi pemahaman akidah yang lurus bahwa hal itu adalah tugas mulia yang dibebankan oleh Penciptanya. 


Negara yang menerapkan sistem Islam memiliki kewajiban membina masyarakat agar memiliki kepribadian Islam. Negara berkewajiban menciptakan atmosfir ketakwaan yang senantiasa mewarnai kehidupan baik di lingkungan pendidikan maupun masyarakat. 


Baca juga: Perubahan Melalui Demokrasi Hanya Ilusi


Terkait masalah sanksi atau uqubat berdasarkan syariat akan diterapkan untuk menjaga setiap individu agar tetap berada dalam kebaikan, ketaatan dan keberkahan. Sanksi dalam Islam membawa dua efek yang efektif dan efisien sekaligus, yakni jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). 


Maka secara langsung, negara menjadi pelindung utama dari rusaknya kehidupan karena menjadikan agama sebagai pijakan dalam mengatur segala urusan rakyatnya termasuk dalam interaksinya. 

Wallahu a'lam bish shawab. [Rens]


Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)