Kereta Cepat Jakarta-Bandung untuk Rakyat atau Pengakuan Dunia Internasional?

Admin Beritanusaindo
0

 


Realitanya kereta cepat Whoosh hanya dipakai oleh segelintir masyarakat saja, dikarenakan tarifnya yang tinggi. Beginilah kalau negara menerapkan demokrasi kapitalisme. Nyatanya, adanya insfratruktur transportasi tidak dapat dinikmati oleh semua masyarakat. 




Oleh Sujilah

Pegiat Literasi dan Ibu Rumah Tangga


Beritanusaindo.my.id - OPINI - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) Whoosh sudah mulai beroperasi sejak bulan Oktober 2023. Seperti yang diberitakan media, keberadaan Whoosh bisa menarik perhatian masyarakat mancanegara dengan melayani lebih dari 200.000 penumpang warga negara asing (WNA). Penumpang WNA berasal dari 154 negara Asia, Eropa, Amerika Utara, hingga Oseania. Mayoritas dari mereka merupakan warga negara Malaysia yang berkontribusi lebih dari 40 persen, disusul oleh Cina, Singapura, Jepang, dan Australia.


General Manager Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC), Eva Chairunisa menyebutkan bahwa pencapaian ini merupakan bukti bahwa Whoosh telah menjadi simbol modernisasi transportasi yang diakui masyarakat  internasional. Ia juga merupakan kereta cepat pertama di Asia Tenggara yang menjadi magnet wisata bagi penumpang negara-negara Asia dan Australia.  Bahkan KCIC telah terhitung bisa melayani lebih dari 4 juta penumpang.  (antaranews.com, 23/8/2024)


Realitanya kereta cepat Whoosh hanya dipakai oleh segelintir masyarakat saja dikarenakan tarifnya yang cukup tinggi dan jangkauan yang pendek Jakarta-Bandung. Selain itu, kebanyakan peminatnya dari kalangan asing. KCJB dengan jarak sepanjang 140 Kilometer dan melintasi 9 kabupaten atau provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, bisa ditempuh dalam waktu 36 menit-hingga 44 menit  dengan kecepatan 350 kilometer per jam. Waktu hemat, operasi optimal, sistem pun hebat. Padahal biasanya jarak tersebut ditempuh dengan kereta biasa bisa sampai 3 jam 23 menit. Sayangnya biaya yang dihabiskan untuk membangun proyek Whoosh itu luar biasa jumbo,  7,3 miliar dolar. 


Baca juga:

Ketahanan Pangan Hanya Ilusi dalam Sistem Demokrasi


Namun demikian ada catatan khusus terkait pembangunan KCIC berbiaya jumbo tersebut. Menyikapi intervensi pemerintah terhadap pembangunannya, Walhi Jabar mengungkap ada 133 warga yang terkena dampak lingkungan dan sosial. Serta ada 15 laporan dari warga terdampak proyek KCIC, karena pencemaran sungai, pencemaran sawah, dan kerusakan pemukiman akibat pembangunan kereta cepat. Betapa disayangkan, sampai sekarang dari pihak proyek tidak ada titik terangnya. 


Maka dari itu, keberadaan kereta cepat ini justru tampak lebih merupakan salah satu bentuk pelayanan pemerintah khusus untuk kelompok oligarki properti dan kaum kaya. Di samping itu sudah pasti yang banyak diuntungkan adalah pemilik properti,  sementara masyarakat  kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa. Terlebih kalau dilihat infrastrukturnya, KCJB bukanlah kebutuhan mendesak. Masih banyak jenis transportasi lain yang bisa digunakan dari Jakarta Bandung, seperti bus, travel, mobil pribadi, motor, kereta biasa, bahkan pesawat.


Baca juga:

Tugas Berat Guru PAI dalam Sistem Demokrasi


Memang  kelebihan KCJB bisa ditempuh dengan waktu yang efektif dan singkat, namun sangatlah tidak sebanding  jika diperhitungkan dengan biaya infrastruktur yang dikeluarkan dari anggaran APBN bahkan didukung pula oleh mekanisme utang. Untuk menutupinya jangan heran jika negara sesudah pembangunannya akan menuntut rakyat agar kerja lebih keras lagi, mengambil pajak dari segala arah, dan menghilangkan berbagai subsidi. Kalau tidak, bisa juga mengambil opsi menjual aset atau menambah utang ke luar negeri yang semakin membumbung tinggi.


Beginilah kalau negara menerapkan demokrasi, yang berasal dari ideologi kapitalisme. Kekuatan ekonominya banyak ditopang oleh pajak dan utang luar negeri. 


Baca juga:

Sistem Islam Solusi untuk Palestina


Apalagi KCJB ini bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan korporasi yang dibalut regulasi negara. Yang lebih membuat miris, pemerintah sudah menyetujui perpanjangan konsesi KCJB dari 50 tahun menjadi 80 tahun. Sarana publik yang seharusnya terjangkau oleh rakyat, menjadi barang komersil yang mahal harganya, dan hanya menguntungkan korporat yang ikut andil di dalamnya. 


Sistem kapitalisme memang tidak akan melakukan tugasnya  sebagai pelayan umat. Kebijakan yang dijalankan selalu berpihak pada kepentingan para kapitalis. Maka hanya sistem Islamlah yang menjadi tumpuan rakyat. Sebab hanya dalam Islam, kepemimpinan dibangun atas dasar keimanan dan bersungguh-sungguh melayani umat.


“Seorang imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Baca juga:

Remisi HUT RI bagi Narapidana Solusikah?


Seperti dulu pada masa kekhilafahan Islam pernah dibangun megaproyek Hijaz Railway atau jalur kereta api Hijaz. Ia adalah jalur kereta api yang dibangun pada masa  Khilafah Utsmaniyah pada pemerintahan Sultan Abdul Hamid ll. Jalur ini membentang antara Damaskus-Amman sampai ke Madinah. Tujuan pembangunannya untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan jamaah haji.


Proyek Hijaz Railway juga mengiringi program telekomunikasi dengan pemasangan kabel telegraf di seluruh wilayah Khilafah. Biaya yang diperlukan untuk pembangunan tersebut adalah sebesar US$16 juta berdasarkan nilai dolar saat itu. 


Dalam sistem Islam pembiayaannya berasal dari pos harta negara, seperti kharaj, jizyah, ghanimah, maupun harta milik umum, seperti hasil pengelolaan SDA secara mandiri. Seandainya dari kas negara kurang maka bisa diambil dari sumbangsih kaum muslim, angkatan bersenjata, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan dari kantong pribadi Sultan Abdul Hamid ll. Yang jelas ia dibangun tanpa adanya mekanisme utang luar negeri.


Negara dalam hal ini sebisa mungkin akan menghindari utang. Apalagi utang dengan riba yang jelas besar dosanya dan tidak berkah. Dengannya maka rakyat dapat menikmati infrastruktur  berbiaya terjangkau  bahkan gratis.


Baca juga:

Rasio Utang Dianggap Aman Negara Di Ambang Kehancuran


Sementara untuk pembangunan yang mendesak kebutuhannya seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya, negara akan membangunnya tanpa melihat ada atau tidak dana Baitulmal. Seandainya kas kosong, baru negara akan menerapkan pajak pada warga yang muslim, laki-laki dewasa, dan memiliki kelebihan harta. Itu pun pajak diambil secara insidental. Jika kebutuhan pembiayaan yang mendesak tadi sudah selesai, pajak pun dihentikan segera.


Adapun seperti yang kita lihat sekarang, bahwa KCJB bukanlah termasuk yang urgen untuk dibangun. Hanya saja dalam sistem kapitalisme, yang selalu diutamakan adalah kepentingan oligarki dari pada rakyatnya sendiri. Maka dari itu, sudah saatnya kita beralih ke sistem Islam yang menerapkan aturan yang berasal dari Allah,  dan mengutamakan kepentingan juga kemaslahatan umat lebih utama dari pada oligarki. Wallahualam bissawab. [Rens]



Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)