Makanan dan minuman haram sudah berani beredar di pasaran. Ada yang jelas dengan nama yang haram. Ada juga yang zatnya tersembunyi. Walaupun dengan kadar sedikit, alkohol jelas terlarang. Apalagi dengan kadar banyak, tentu sangat membahayakan. Sayangnya hal ini tidak dikontrol penuh dan malah ada yang difasilitasi. Ini menjadi perbincangan publik dan dapat menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Di antara minuman keras yang beredar, justru ada yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) RI. Alhasil media sosial ramai membicarakan keanehan pada tuak, bir, dan wine. Karena jelas-jelas ada larangan berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 Tahun 2020.
Di sisi lain, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag menyatakan bahwa produk-produk tersebut telah sesuai prosedur dengan aturan sertifikasi halal. Masyarakat tidak perlu meragukan kehalalan produk yang telah bersertifikat halal karena sudah melalui proses penilaian sesuai standar yang berlaku. (Kitakini.news, 9-10-2024)
Namun, rupanya pihak MUI membantah sertifikasi halal dari Kemenag. Menurut MUI, sertifikat halal produk tersebut diperoleh melalui jalur self declare. Jelas kebijakan Kemenag sudah disalahgunakan.
Kalau ditengok ke belakang, adanya produk haram memang sejalan dengan Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal untuk miras. Alhasil produksi miras di negeri ini pun semakin meningkat. Jadi tak aneh jika Indonesia dengan konsumen terbesar produk halal di dunia, tetapi hanya berada pada urutan ke-10 untuk produksi pangan halal.
Sungguh ironis, negara nonmuslim seperti Brasil, AS, dan Cina malah menjadi produsen utama pangan halal dunia. Kondisi ini disebabkan karena layanan sertifikasi halal di Indonesia dipersulit dengan membayar Rp650.000 untuk setiap produk. Selain itu, dari 66 juta unit UMKM, yang mendapatkan sertifikat halal gratis hanya sebagian saja.
Sungguh kebijakan yang membahayakan menyamakan nama produk yang sudah terkenal haram beredar di masyarakat dengan label halal. Semuanya ini akibat sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini. Sehingga negara membiarkan produk haram beredar di pasaran. Ini dikarenakan yang menjadi kebahagiaannya tidak lain hanya materi semata dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Banyak produk tanpa label halal namun beredar di tengah masyarakat, sehingga siapa pun bisa mengaksesnya. Parahnya lagi, demi cuan, miras dilegalkan dan dilabeli halal. Bahkan memfasilitasi keberadaan diskotek, bar, ataupun pabrik miras. Sebaliknya, layanan sertifikasi halal harus berbayar. Akibatnya, pelaku usaha yang jelas-jelas dengan produk halal tidak mempunyai label halal.
Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah) adalah pelayan dan pengurus kebutuhan rakyatnya sesuai dengan hukum syarak. Daulah Islam senantiasa akan menjaga akidah umat dan memastikan rakyatnya jauh dari keharaman.
Khilafah akan melayani jaminan halal dengan biaya yang murah, bahkan gratis. Selain itu, para qodi hisbah rutin mengawasi pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik untuk memastikan setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan, terjamin kehalalan dan kethayyibannya. Juga ada sanksi takzir jika terjadi peredaran barang haram di pasaran.
Hanya dalam daulah Islam yang bisa memberikan ketenangan bagi masyarakat. Karena standar halal-haram selalu sesuai syariat dari zatnya, prosesnya, hingga namanya. Adapun untuk mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau sesuai kebijakan khalifah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad).
Hukuman yang menjerakan pun akan diberikan kepada produsen, penjual, pembeli, maupun kurir produk haram di kalangan kaum muslim. Untuk penjual dan produsen khamar sanksinya lebih berat karena menyebarkan kemaksiatan. Maka hukumannya seperti dicambuk, denda, atau penjara. Hal ini sesuai riwayat Ali bin Abi Thalib ra.,
“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Semuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim).
Selain itu khalifah akan membentengi individu dan masyarakat dengan ketakwaan. Dengan ketakwaan individu menjadi kontrol individu agar tidak melakukan kemaksiatan termasuk menjual, mengedarkan, dan mengonsumsi produk pangan haram. Masyarakat pun bisa mencegah dan mengawasi bila ada peredaran produk haram.
Hanya dalam Khilafah akan terjamin kehalalan dan tentunya bisa diterapkan seluruh syariat Islam. Sehingga keberkahan dari Allah meliputi seluruh alam. Oleh karena itu penting untuk mengkaji Islam kaffah bersama kelompok politik yang ideologis yang memperjuangkan tegaknya hukum Allah di muka bumi.
Wallahu a’lam bisshawwab. []
Penulis : Ummu Ghoza