Oleh: Nursaroh Hidayanti
Beritanusaindo.my.id--OPINI, Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga, sebagian besar lahan di Indonesia dikelola oleh korporasi. Dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, artinya 94,8 persen lahan diserahkan kepada korporasi (WALHI Agustus 2022).
Berdasarkan penelitian WALHI bersama Auriga penguasaan lahan terbesar berada didalam kawasan hutan dengan luas mencapai 30,2 Juta hektar, selanjutnya disusul penguasaan lahan oleh pertambangan seluas 9,4 juta Hektar dan penguasaan lahan untuk perkebunan sawit melalui Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) 6,01 juta hektar (Walhi, 2022).
Disisi lain, berdasarkan amanah konstitusi UUD 1945 menyebut sumber daya alam dikuasai oleh negara, dan mengamanatkan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi, berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa penguasaan sumber daya alam justru oleh segelintir kelompok, maka benarkah sumber daya alam tersebut dikelola untuk kemakmuran rakyat?
Perselingkuhan antara Penguasa dan Pengusaha
Ketimpangan lahan yang luar biasa tentu saja tidak bisa berjalan sendiri, tanpa peran dari penguasa, yang jelas telah membuka gerbang dan mempersilakan para oligarki untuk menguasai dan mengeksploitasi. Pemerintah memberikan izin dengan mudahnya kepada para oligarki untuk menguasai sumber daya alam tanpa sedikitpun memikirkan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.
Baca juga:
Nasib Petani Makin Miris di Negeri Agraris
Demikianlah busuknya sistem kapitalisme, siapapun yang punya modal bisa memiliki apapun yang diinginkan, termasuk sumber daya alam. Maka tak heran jika para korporasi hari ini bisa menguasai hutan, sungai, tambang, bahkan gunung emas sekalipun. Karena memang sistem hari ini mengizinkan hal tersebut terjadi, bahkan memfasilitasi agar lancar dan bebas tanpa hambatan.
Penguasaan sumber daya alam oleh individu akan membuat individu tersebut mendapatkan hasil kekayaan yang fantastis nilainya. Ketika orang kaya semakin kaya, tentu dengan mudahnya dia bisa membeli lagi dan lagi sumber daya alam lainnya. Maka tak heran jika pada akhirnya 94.8% lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi, yang didalamnya terdapat kekayaan alam yang dapat dieksploitasi tanpa memikirkan kerusakan terjadi.
Baca juga:
Korupsi Tuntas dalam Sistem Kapitalis Demokrasi, Ilusi!
Disisi lain, penguasaan lahan tanpa batas kepada siapapun asal memiliki cuan, membuat siapapun bisa membeli lahan tanpa adanya syarat ataupun pertimbangan. Yang marak adalah mereka yang bercuan berlomba-lomba membeli lahan atas dasar investasi, sehingga tak jarang lahan yang dibeli berakhir mangkrak tak produktif, berakhir menjadi semak belukar tanpa ada upaya perawatan. Bukan hanya lahan, banyak pula bangunan dibiarkan mangkrak dan berakhir hancur dimakan rayap.
Miris bukan? Disaat banyaknya petani kehilangan lahannya karena dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan berakhir menjadi buruh tani dengan upah yang tidak memadai. Disaat yang sama, banyak lahan pertanian terabaikan menjadi semak belukar. Apakah demikian idealnya sebuah kehidupan? Lantas bagaimana Islam memandang?
Pengaturan Urusan Lahan dalam Islam
Perbedaan nyata dan mendasar antara sistem kapitalis dan Sistem Islam adalah bahwa Islam memandang bahwa penguasa dan pejabat adalah para pelayan rakyat yang mengurusi urusan umat, serta sebagai pelindung rakyat. Menelantarkan rakyat sama artinya dengan bermaksiat kepada Allah. Penguasa dalam Islam harus menjadikan rakyat sebagai amanah utama dalam kepimpinan mereka. Sehingga haram hukumnya mereka tidak mementingkan rakyat atau bahkan bekerja sama dengan korporasi untuk kepentingan para oligarki.
Dalam hal kepemilikan, sistem kapitalis liberal memandang bahwa kepemilikan bebas tanpa batas atas bercuan sedangkan Islam mengatur dengan adanya kepemilikan Individu, Umum, dan Negara. Aspek kepemilikan individu artinya setiap individu berhak memiliki dan memanfaatkan lahan perkebunan, pertanian, kolam, dan sebagainya.
Aspek kepemilikan umum yaitu, lahan yang merupakan harta milik umum, dan haram hukumnya dimiliki oleh individu, contohnya; hutan, sumber mata air, barang tambang, jalan, laut, dan sebagainya. Semua yang termasuk kepemilikan umum harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
Maka jelaslah haram hukumnya negara menjual hutan, gunung, mata air, ataupun sumber daya lainnya kepada para korporasi. Ketika aturan ini diterapkan maka tidaklah mungkin terjadi ketimpangan kepemilikan lahan yang jumlahnya sangat fantastis. Sumber daya alam tidak akan mungkin bisa dikuasai oleh korporasi, melainkan akan diurus oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
Aspek kepemilikan negara yaitu lahan yang tidak berpemilik serta lahan yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun, maka akan dikuasai oleh negara, dikelola dan dimanfaatkan oleh negara sesuai kepentingan negara, negara pun boleh memberikan tanah tersebut kepada siapapun yang mampu mengelolanya.
Baca juga:
Maka sungguh, tidak akan ditemukan lahan tidak produktif dan berakhir menjadi semak belukar dalam daulah Islam. Disisi lain, tidak akan ada petani yang tidak memiliki lahan, tidak akan ada rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal. Karena sungguh pengaturan Islam begitu sempurna dalam mengatur seluruh urusan manusia.
Khatimah
Islam memiliki pengaturan yang begitu sempurna, termasuk dalam urusan lahan. Negara mengelola kepemilikan lahan dan sumber daya alam hanya untuk kepentingan rakyat. Ketika negara meriayah rakyatnya dengan maksimal, maka seluruh kebutuhan rakyat dapat terpenuhi dengan mudah. [RY].