![]() |
Ilustrasi: Sekat Nasionalisme. Sumber: iStock. |
Oleh: Yulia (Pegiat Pena Banua)
Insiden yang dialami kapal Medlen Freedom Flotilla telah mengguncang nurani dunia. Kapal yang membawa 12 aktivis dari berbagai negara serta mengangkut bantuan pangan dan obat-obatan untuk warga Gaza itu berlayar menembus blokade Israel melalui jalur laut. Namun tragisnya, pada Senin pagi, 9 Juni 2025, sebelum mencapai tujuannya, kapal ini diserang oleh militer Zionis Israel dan seluruh aktivis di dalamnya ditangkap.
Peristiwa ini memicu gelombang solidaritas global terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Aksi "Global March to Gaza" pun berlangsung dan memuncak pada Minggu, 15 Juni 2025. Aksi ini ditujukan untuk mendesak pihak-pihak terkait agar segera menghentikan blokade total atas Gaza yang telah diberlakukan sejak Maret 2025. Blokade tersebut tidak hanya menutup akses bantuan, tetapi juga secara perlahan membunuh warga Gaza, karena mereka tak dapat memperoleh pasokan makanan, air bersih, bahkan obat-obatan. Rumah sakit di Gaza pun hampir lumpuh total karena kehabisan perlengkapan medis.
Para aktivis kemanusiaan datang dari berbagai penjuru dunia yakni Tunisia, Libya, Maroko, Amerika, Eropa, Asia, hingga Indonesia. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari perawat, dokter, jurnalis, pegiat HAM, hingga pemuda biasa yang tak lagi sanggup hanya menjadi penonton tragedi Gaza. Dorongan nurani telah mendorong mereka bertindak.
Namun, harapan mereka pupus saat perbatasan Rafah yang dijaga ketat oleh militer Mesir tak kunjung dibuka. Aktivis hanya bisa menangis di hadapan pagar tertutup. Di antara mereka, seorang aktivis non-muslim bahkan terlihat berlutut memohon pada tentara Mesir agar pintu Rafah dibuka. Potongan-potongan peristiwa menyayat hati ini kemudian tersebar luas di media sosial.
Sementara itu, Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, pada 12 Juni 2025, mengonfirmasi bahwa gangguan terhadap distribusi bantuan kemanusiaan telah memperparah kelaparan di Gaza. Situasi ini menuntut perhatian global. Dunia tak seharusnya tinggal diam terhadap blokade yang tidak berperikemanusiaan ini.
Dari sudut pandang sejarah, sejak Israel diakui sebagai sebuah negara pada 1948 di atas tanah Palestina, penjajahan pun resmi dimulai. Peristiwa Nakba menjadi simbol kepedihan rakyat Palestina yang terusir secara paksa dari rumah mereka sendiri oleh entitas yang awalnya datang sebagai pengungsi dari Eropa. Hal ini diperparah oleh runtuhnya perisai umat Islam terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah, pada 1924. Sejak saat itu, dunia Islam terpecah belah oleh sekat nasionalisme.
Nasionalisme yang ditanamkan oleh Barat telah menghambat umat Islam untuk bersatu dan membela saudaranya yang tertindas. Para penguasa negeri-negeri Muslim tidak kunjung mengirimkan bantuan militer, karena terbelenggu oleh batas-batas negara dan tunduk pada solusi "dua negara" yang ditawarkan oleh kekuatan asing. Padahal, solusi tersebut tidak lain hanyalah ilusi yang memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Lebih dari itu, nasionalisme telah mematikan nurani para penguasa muslim. Mereka membisu di tengah jeritan anak-anak Gaza yang kelaparan, meski jurnalis-jurnalis Gaza telah mengorbankan nyawanya demi membuka mata dunia. Sayangnya, bahkan saudara sesama muslim di negeri tetangga pun tampak tak mampu berbuat banyak karena sekat nasionalisme yang membatasi tindakan nyata.
Maka, satu-satunya jalan pembebasan Palestina adalah dengan jihad yang dilakukan oleh institusi yang kuat dan satu yaitu Khilafah Islamiyah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah menegaskan bahwa jihad adalah kewajiban. Hal ini telah diperintahkan pula dalam Al-Qur’an:
“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kalian...” (QS. Al-Baqarah: 216)
Sejarah pun mencatat, satu-satunya digdaya yang berhasil membebaskan Palestina secara nyata adalah Khilafah Islamiyyah. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya imam (khalifah) adalah perisai, di belakangnya orang-orang berperang dan dengannya orang-orang berlindung.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, solusi satu negara dengan sistem Islam adalah keharusan. Palestina tak bisa dibebaskan oleh bangsa yang tercerai-berai. Persatuan adalah kunci, seperti yang pernah diperjuangkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia tidak serta-merta merebut Al-Quds, tetapi terlebih dahulu menyatukan umat Muslim hingga mereka memiliki kesadaran kolektif untuk membebaskan Tanah Suci. Hasilnya, Al-Aqsha berhasil dibebaskan.
Kini, saatnya umat Islam meneladani langkah tersebut. Tidak ada lagi alasan untuk diam. Pemikiran umat harus dibangkitkan kembali agar menyadari bahwa hanya dengan persatuan dan kekuatan umat—yang berpijak pada Islam—Palestina benar-benar bisa dibebaskan dari cengkeraman penjajahan.
Wallahu a'lam bishshawwab.
_Editor: Vindy Maramis_