Pulau Diperebutkan, Rakyat Dilupakan: Kegagalan OTDA

Goresan Pena Dakwah
0

Ilustrasi pulau (pinterest)

Oleh : Ummu Bisyarah


Beritakan.my.id, Opini--Kisruh antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait klaim atas empat pulau, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, menjadi alarm serius atas rapuhnya fondasi kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


Saat Kemendagri menetapkan keempat pulau itu sebagai bagian dari Tapanuli Tengah, Sumut, gelombang penolakan datang dari Aceh. Pemerintah Aceh menyatakan bahwa berdasarkan peta historis tahun 1956 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1992, pulau-pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Simeulue, Aceh (kompas.com, 17-6-2025).


Tidak berhenti di sana, Aceh mengaku telah berulang kali menyurati Kemendagri sejak 2017, termasuk pada tahun 2018 dan 2022, namun tidak mendapat respons. Bahkan revisi Permendagri No. 141 Tahun 2017 yang dikeluarkan tahun 2023 justru mencederai hak historis Aceh dan memperkuat legalitas administrasi Sumut atas wilayah tersebut (kompas.com, 17-6-2025). Apakah negara serius dalam menjaga keadilan dan kesetaraan antar wilayah?


Masalah ini bukan sekadar soal batas administratif. Di baliknya tersembunyi kepentingan ekonomi: kontrol atas sumber daya alam, potensi pariwisata, laut kaya hasil tangkapan, bahkan akses terhadap dana pusat. Sistem otonomi daerah (OTDA) yang selama ini digadang sebagai solusi justru membuka celah perebutan kekayaan antar daerah. 


Ketika penguasaan wilayah berarti penguasaan atas SDA, maka daerah tak segan berseteru satu sama lain. Inilah wajah liberalisme dalam pengelolaan negara, di mana negara pusat hanya bertindak sebagai wasit yang bisa berpihak kapan saja.

Baca juga: 

Job Fair Ricuh, Sarjana Hingga Paska PHK Bertaruh


Tak pelak, konflik semacam ini bisa menjadi pemicu api disintegrasi. Ketika daerah merasa tak didengar, kepercayaan publik terkikis. Alih-alih memperkuat persatuan, sistem OTDA yang berbasis keuntungan fiskal justru menciptakan kompetisi liar antar provinsi.


Islam Menawarkan Solusi: Sentralistik, Adil, dan Menyatukan


Islam tidak memandang wilayah sebagai unit otonom yang bebas menentukan pengelolaan sendiri berdasarkan potensi lokal. Islam memandang wilayah sebagai amanah yang harus dikelola negara secara sentralistik demi kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi.


Tak ada istilah “daerah kaya” atau “daerah miskin” dalam sistem Islam. Semua hasil kekayaan alam dikumpulkan di baitulmal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat secara merata baik di pusat maupun di daerah pelosok.


Sejarah Islam membuktikan hal ini. Pada masa Khilafah Utsmaniyah, berbagai wilayah seperti Mesir, Syam, Hijaz, dan Balkan dikelola dalam satu sistem pemerintahan tanpa konflik kepemilikan wilayah atau rebutan sumber daya. Bahkan Andalusia, yang jauh dari pusat pemerintahan, tetap diperhatikan pembangunannya. Begitu pula pada masa Abbasiyah, surplus hasil pertanian dari Irak dikirim untuk membiayai kebutuhan pembangunan di wilayah timur Khurasan dan Asia Tengah, tanpa mempertimbangkan siapa menyumbang lebih besar.

Baca juga: 

Palestina dan Matinya Nurani Kemanusiaan


Prinsip dasarnya sederhana: seluruh wilayah berada di bawah satu pemimpin (Khalifah), satu hukum (syariah), satu sistem keuangan (Baitulmal), dan satu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umat. Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban langsung di hadapan Allah SWT atas kondisi rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :“Imam adalah penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)


Sistem Islam tidak mengenal model “bagi hasil” yang menyebabkan perebutan wilayah. Tidak ada dana alokasi khusus atau transfer fiskal yang membuat daerah merasa dianak tirikan. Sebaliknya, negara akan aktif menjamin pemerataan pembangunan, bahkan pada daerah yang secara ekonomi tidak produktif. Negara tidak menunggu daerah “mengajukan proposal” pembangunan seperti dalam sistem sekarang, karena Islam menempatkan penguasa sebagai pelayan, bukan tuan.


Pulau Diperebutkan, Rakyat Dilupakan


Rebutan pulau antara Aceh dan Sumut hanyalah satu dari sekian konflik administratif yang muncul akibat sistem OTDA yang rapuh dan berwatak kapitalistik. Selama pengelolaan negara didasarkan pada logika untung-rugi, konflik perebutan wilayah akan terus terjadi. Hari ini Aceh vs Sumut, besok mungkin Papua, Kalimantan, atau Maluku.

Baca juga: 

Generasi Muda Dalam Perangkap Judi Online


Sudah saatnya bangsa ini mengevaluasi sistem yang diterapkan. Sistem Islam, dengan seluruh sejarah dan kematangannya, telah terbukti menyatukan wilayah luas selama lebih dari 13 abad, tanpa perlu merancang desentralisasi atau konsep federal. Islam menjadikan pemimpin sebagai pengayom seluruh umat, bukan sekadar administrator anggaran.


Jika negeri ini benar-benar ingin menjaga keutuhan wilayah dan kepercayaan rakyat, maka Islamlah solusinya bukan sekadar sebagai nilai, tetapi sebagai sistem hidup yang menyatu dalam setiap aspek pemerintahan. Wallahualam bissawab. [ry]


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)