Oleh: Nabihah
Aktivis Dakwah
Beritakan.my.id - OPINI - Serangan brutal Israel ke Jalur Gaza tidak hanya menargetkan militer dan infrastruktur, tetapi secara terang-terangan mengarah pada pemusnahan massal warga sipil. Yang paling mengiris hati adalah strategi pengepungan dan blokade total yang digunakan sebagai senjata untuk menghilangkan eksistensi rakyat Palestina. Dalam laporan Komite Khusus PBB disebutkan, bahwa Israel sengaja menggunakan "kelaparan" sebagai salah satu metode perang yang mengarah pada tindakan genosida. Sudah lebih dari dua bulan rakyat Gaza terjebak tanpa akses pada makanan, air bersih, obat-obatan, bahkan listrik. Sementara itu, truk bantuan kemanusiaan yang berada hanya beberapa kilometer dari perbatasan, ditutup akses masuknya oleh pemerintah Zionis. (metrotvnews.com, 9 Mei 2025)
Sungguh, ini bukan sekadar taktik militer tetapi bentuk pengecut dari sebuah kekuasaan yang gagal menundukkan musuhnya secara adil. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah rezim yang takut menghadapi perlawanan bersenjata, hingga memilih membunuh anak-anak dan wanita lewat kelaparan?
Bahkan, sebagaimana dilansir dari Republika.co.id (17 Mei 2025), lebih dari 53 ribu warga telah menjadi korban jiwa. Rumah-rumah dibombardir, rumah sakit kolaps, dan ribuan lainnya terperangkap di bawah puing bangunan. Yang lebih menyedihkan, praktik kekejaman ini dibiarkan begitu saja oleh dunia, termasuk oleh penguasa negeri-negeri Muslim. Seruan jihad yang menggema dari masjid hingga jalanan, dari sosial media hingga demonstrasi besar-besaran, tetap tidak cukup menyentuh hati mereka untuk mengirimkan bala bantuan, apalagi pasukan.
Padahal, sejarah mencatat bahwa kaum Muslim pernah memiliki pelindung yang tangguh, negara yang bukan hanya memperhatikan nasib umat Islam di wilayahnya, tetapi juga di seluruh dunia. Ketika seorang wanita Muslimah di Amuriyah dipermalukan, Khalifah (pemimpin) Al-Mu’tashim langsung mengirim pasukan untuk membebaskannya. Hari ini, ribuan Muslimah di Gaza menjerit, anak-anak meregang nyawa, tetapi tidak ada pemimpin Muslim yang mampu bersikap seperti Al-Mu’tashim. Mengapa demikian? Karena pelindung itu telah tiada.
Islam tidak membiarkan penindasan dibiarkan tanpa perlawanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (khalifah) adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Khilafah bukan hanya sistem pemerintahan, tetapi juga pelindung umat, pengayom hak-hak manusia, dan pelaksanaan jihad untuk membela kaum yang terzalimi. Hanya dengan institusi ini, penjajahan seperti di Palestina dapat dihentikan secara tuntas, bukan sekadar melalui resolusi rapuh atau diplomasi yang berulang-ulang gagal.
Maka, seruan untuk membangun kembali Khilafah Islamiyah bukanlah utopia atau nostalgia sejarah. Ini adalah kebutuhan riil umat hari ini. Perjuangan untuk menegakkannya sudah dimulai oleh partai Islam ideologis yang konsisten memperjuangkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Umat harus membangun kesadarannya, tidak cukup hanya dengan marah, sedih, atau berdoa. Saatnya bergerak, menyambut panggilan perjuangan bersama mereka yang telah lebih dulu mengibarkan panji perubahan.
Gaza tidak membutuhkan belas kasihan, yang mereka butuh adalah pembelaan nyata. Dan pembelaan sejati hanya akan datang dari institusi yang lahir dari akidah Islam yakni Khilafah.
Wallahu a'lam bish shawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.