Anomali Beras di Negeri Padi, Stok Melimpah tapi Rakyat Tak Bisa Membeli

Lulu nugroho
0


ilustrasi Pinterest
Oleh: Tsaqifa Farhana W 
(Aktivis Mahasiswa)



Beritakan.my.id, Opini_ Negeri penghasil padi, tapi rakyat tetap sulit beli nasi. Stoknya ada, tapi harganya menggila. Anomali semacam ini bukan sekadar salah kelola. Ini buah dari sistem yang salah arah.

Indonesia saat ini sedang menghadapi kenyataan pahit: harga beras yang terus naik, justru di tengah stok yang melimpah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025, sebanyak 119 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras. Angka ini naik menjadi lebih dari 130 kabupaten/kota hanya dalam waktu sepekan.

Padahal, pemerintah mengklaim bahwa cadangan beras nasional mencapai 4,2 juta ton, jumlah tertinggi sepanjang tahun. Kondisi ini sontak memicu berbagai pertanyaan. Jika stok beras begitu banyak, mengapa harganya tetap naik? 

Guru Besar UGM, Prof. Lilik Sutiarso, menyebut fenomena ini sebagai anomali. Menurutnya, ini adalah kondisi yang tidak masuk akal dan sangat merugikan masyarakat serta petani. 

Ia mempertanyakan logika pasar yang tak lagi berpihak pada realitas: stok ada, tapi harga tetap menanjak.

Di sisi lain, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai bahwa persoalan utamanya bukan pada ketersediaan barang, melainkan distribusinya. Sebagian besar gabah yang diserap oleh Bulog justru menumpuk di gudang dan tidak segera disalurkan ke pasar. 

Ketika pasokan di pasar menipis sementara permintaan tetap tinggi, otomatis harga naik. Tambahkan pula biaya logistik yang mahal serta spekulasi harga dari pedagang besar. Lengkaplah sudah deretan sebab yang membentuk anomali ini.

Borok Kapitalisme : Saat Pangan hanya Sekadar Komoditas

Fenomena anomali - stok beras melimpah tapi harga tetap tinggi – bukanlah sekadar kebetulan. Ini adalah produk gagal dari sistem kapitalisme yang selama ini mengatur urusan pangan. Dalam sistem ini, negara tidak lagi berfungsi sebagai penjamin kesejahteraan rakyat, melainkan sekadar “pengatur lalu lintas” yang berdiri di pinggir jalan, membiarkan arus pasar menentukan nasib siapa yang kenyang dan siapa yang kelaparan.

Kapitalisme telah mereduksi peran negara dalam mengelola pangan, termasuk beras sebagai kebutuhan pokok utama rakyat Indonesia. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pelindung atau penanggung jawab distribusi yang adil.
 
Akibatnya, pangan tidak dianggap sebagai hak dasar yang wajib dijamin, tapi sekadar komoditas barang yang bebas diperjualbelikan demi keuntungan ekonomi semata.

Dampak dari logika ini sangat nyata, negara tidak serius melakukan pengawasan. Distribusi dibiarkan mengalir lewat rantai panjang yang ruwet dan tidak transparan, mulai dari petani, pengumpul, pedagang besar, distributor, hingga pengecer di pasar.

Proses ini membuka banyak celah manipulasi, tengkulak bisa memainkan harga, menimbun stok, hingga menciptakan kelangkaan palsu yang memicu lonjakan harga. Dan celakanya, semuanya bisa terjadi dalam ruang yang “sah secara sistem”, karena logika kapitalisme memang memberi ruang seluas-luasnya bagi pelaku pasar untuk mencari untung.

Alhasil, yang paling dirugikan adalah rakyat. Mereka dipaksa membeli beras dengan harga mahal di tengah situasi ekonomi yang serba sulit. Pangan yang seharusnya menjadi hak dasar, kini berubah menjadi “barang mewah” yang tidak mudah dijangkau.

Lebih dari sekadar kerumitan teknis, semua ini menunjukkan bahwa kapitalisme secara sistemik tidak mampu menjamin keadilan pangan. Sistem ini terlalu longgar terhadap manipulasi, terlalu memberi panggung pada pelaku pasar, dan terlalu abai pada rakyat yang seharusnya dilindungi. 

Negara berdiri jauh di belakang, membiarkan rakyat “berkompetisi” dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Distribusi Pangan yang Adil dalam Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan urusan pangan ke logika pasar, Islam datang dengan sistem yang menjadikan negara sebagai pelayan kebutuhan rakyat. Dalam sistem Khilafah, pangan diposisikan sebagai kebutuhan pokok yang wajib dijamin negara, bukan barang dagangan yang bebas diperjualbelikan.

Negara bukan sekadar pengatur, tapi pengelola langsung dari hulu ke hilir, dari produksi hingga distribusi.
Dalam sistem Islam, pangan tidak boleh dipermainkan oleh pasar. Islam memandang bahwa negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap individu, termasuk pangan.

Negara akan mengelola langsung produksi dan distribusinya, memastikan rakyat bisa mendapatkan kebutuhan pokok secara adil dan merata. Negara tidak hanya mendukung petani secara teknis, tapi juga menyediakan bibit, pupuk, dan alat pertanian secara cuma-cuma, tanpa sistem utang. 

Stok beras tidak akan dibiarkan menumpuk karena distribusi akan ditangani negara secara aktif dan amanah. Sementara itu, praktik-praktik merusak seperti penimbunan, monopoli, kartel harga, dan manipulasi pasokan akan diberantas hingga ke akar-akarnya. Dalam Islam, tindakan seperti itu bukan sekadar salah secara moral, tapi termasuk ke dalam perbuatan haram yang harus dihentikan oleh negara. Islam melarang pematokan harga secara paksa oleh negara atau penguasa pasar.

 Seperti sabda Rasulullah ﷺ ketika diminta menetapkan harga saat pasar mengalami lonjakan:
“ _Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan, Yang_ _Maha Memberi Rezeki, lagi Maha Menentukan Harga…”_ (HR Ahmad).

Tak berhenti di produksi dan pengawasan pasar, sistem Islam juga memikirkan infrastruktur distribusi pangan yang menyeluruh dan merata. Negara akan membangun jalan, jalur distribusi, transportasi umum, serta sistem logistik yang menjangkau seluruh wilayah—bahkan daerah terpencil sekalipun. 

Islam menyadari bahwa keterbatasan akses dapat menyebabkan kelangkaan, lonjakan harga, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. Karena itu, negara akan memastikan pangan tersedia dan terjangkau oleh seluruh rakyat, dari kota besar hingga desa terluar.

Seluruh rangkaian sistem ini bertujuan satu: memastikan rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya, dengan proses yang adil, mudah, dan merata.
 
Tidak ada birokrasi yang menyulitkan, tidak ada bantuan yang salah sasaran, tidak ada celah manipulasi data. Semua berjalan dalam satu sistem: Islam sebagai aturan hidup yang kaffah, bukan tambal
sulam kebijakan yang reaktif.

Kenaikan harga beras di tengah stok yang melimpah adalah cermin kegagalan sistem ekonomi kapitalistik yang mengabaikan keadilan dan kebutuhan rakyat. 

Selama kebobrokan sistem kapitalisme terus dipertahankan, anomali-anomali seperti ini hanya akan menjadi pola berulang.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)