Normalisasi, Netralitas, dan Nafsu Kekuasaan: Ketika Darah Muslim Bukan Prioritas

Lulu nugroho
0


Ilustrasi CBC

Oleh: Rifdah Reza R,. S.Sos.
 (Mahasiswa S-2 Komunikasi Politik)



Beritakan.my.id, Opini_ Sejak 7 Oktober 2023, serangan dari Israel ke Gaza telah menghabisi lebih dari 56.600 jiwa. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan warga sipil yang sedang antre makanan pun dibantai tanpa ampun. (Tempo, 10/06/2025).

Serangan tak terbendung pun menyasar rumah sakit. IDF pada berbagai kesempatan mengakui telah melancarkan serangan ke rumah sakit. Alasan yang mereka ajukan, rumah sakit itu merupakan bagian dari “infrastruktur kelompok teror.” (BBC, 03/07/2025).

Di balik kehancuran ini, dunia tetap pada posisi tenangnya. Pernyataan resmi disampaikan, konferensi kemanusiaan digelar, dan para pemimpin negeri Muslim sibuk, katanya, “merumuskan keprihatinan.” Hal ini memantik tanya, “mengapa genosida bisa terus terjadi dalam sistem global yang dalam teriaknya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM)?” 

Fakta menunjukkan, kelangkaan makanan dan kebutuhan dasar lainnya juga masih terjadi, truk-truk bantuan di Gaza berulang kali dijarah baik oleh kelompok bersenjata maupun sipil yang putus asa mencari makanan. Di saat yang sama, militer Israel terus meningkatkan serangan udara. Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa lebih dari 500 orang tewas dalam beberapa pekan terakhir akibat serangan udara, tembakan, dan pengeboman oleh Israel. Sebagian besar korban tewas saat tengah menunggu di lokasi distribusi bantuan di sekitar truk-truk pembawa makanan.

Pada 27 Juni, surat kabar Israel, Haaretz, menerbitkan laporan yang menyebut bahwa tentara Israel telah diberi lampu hijau untuk menembaki kerumunan warga sipil di dekat pusat distribusi makanan. Dalam artikel tersebut, seorang tentara yang tak disebutkan namanya mengaku bahwa pasukannya menembaki warga tak bersenjata yang tidak menunjukkan ancaman. Haaretz juga melaporkan bahwa militer Israel tengah tengah menyelidiki apakah tindakan tersebut melanggar hukum internasional dan berpotensi dikategorikan sebagai kejahatan perang. (DW, 04/07/2025).

Namun, tabiat bengis. Menanggapi laporan itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallat menepisnya dan justru menuduh Haaretz menyebarkan kebohongan berbahaya yang bertujuan mencemarkan nama baik IDF, militer paling bermoral di dunia.

Dengan segala pengepungan, serangan, dan seluruh kejadian yang menggerus nurani tersebut, mengerikannya normalisasi diplomatik pun terus berlanjut. Proses diplomatik antara negara-negara Arab dan Israel memberikan sinyal bahwa dengan mudahnya penguasa negeri Muslim dikendalikan oleh kalkulasi geopolitik kapitalistik ketimbang akidah dan solidaritas ideologis Islam.

Ambisi modernisasi ekonomi Arab Saudi misalnya, visi besar 2030 bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi agar tidak bergantung pada minyak, dengan fokus pada teknologi, pariwisata, dan inovasi. Sektor teknologi Israel, salah satu yang paling maju di dunia, dianggap dapat menyediakan keahlian dan peluang investasi yang sejalan dengan aspirasi Arab Saudi. Untuk itu, Washington menjadi aktor penting menjembatani Saudi-Israel. Saat terpilihnya Donald Trump, banyak pihak Israel berharap ia dapat menggunakan keberhasilan “Abraham Accords”  untuk mendorong kesepakatan serupa antara Arab Saudi dan Israel. (JPost, 26/11/2024).

Dari potensial signifikan di atas, tetaplah yang utama adalah masalah Palestina. Arab Saudi sudah berulang kali menormalisasi ketergantungannya tanpa resolusi. Padahal, sangat jelas hubungan formal tersebut mengakibatkan terpecahnya kepercayaan dunia Muslim dan mencoreng reputasi Arab Saudi sebagai pemimpin “dunia Islam.”

Adanya pertimbangan pragmatis pun akan memungkinkan langkah-langkah bertahap semisal perluasan kerja sama ekonomi, pertukaran budaya, dan sebagainya.  Hal ini merefleksikan prioritas kepentingan di atas perpecahan ideologis yang mengakar.

Keresahan nyatanya sudah hadir dari berbagai wilayah, salah satunya dari masyarakat Maroko. Hal ini terkait normalisasi hubungan dengan Israel membuncah. Puluhan ribu orang telah berdemonstrasi di berbagai kota Maroko, ada 110 demonstran di 66 kota untuk mendukung warga Palestina di Gaza. Di Casablanca, Rabat, hingga Tangier, massa menyerukan pemutusan hubungan diplomatik, ekonomi, dan militer dengan Israel. (20/04/2025).

Dr. Aziz Bishara selaku intelektual publik mengatakan normalisasi Arab dengan Israel dimotivasi oleh kepentingan sempit, mengesampingkan perjuangan Palestina, dengan kemerosotan moral, kekecewaan ekonomi, dan penguatan kolonialisme pemukim Israel sebagai satu-satunya hasilnya.

Normalisasi ini selalu dibungkus atas nama kestabilan regional dan penanggulangan ekstremisme, namun pada realitanya stabilitas yang dimaksud adalah stabilitas pasar, hubungan dagang, dan investasi lintas negara, bukan untuk perlindungan atas nyawa warga Palestina.

Di sisi lain rezim Arab menggambarkan ketakutannya bila kehilangan legitimasi di hadapan Barat, tetapi di waktu bersamaan kehilangan kepercayaan rakyatnya sendiri atas langkahnya. Alih-alih menjadi pemutus kekuasaan serangan Israel, mereka justru menjadi penopang diplomatik yang melegitimasi penjajah. 

Ironi yang menjadi nyata, para penguasa negeri Muslim kini lebih nyaman bersalaman dengan penjajah ketimbang meneteskan air mata dan memberikan perlawanan untuk menyelamatkan Palestina. Darah kaum Muslim menggenangi jalan-jalan, para pemimpin dunia justru mengangkat piala diplomasi di atas nama perdamaian. Sungguh normalisasi ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap darah para syuhada.

Dengan segala permasalahan tiada ujung di atas, solusi hakiki untuk menyelesaikannya adalah bukan sekadar konferensi dan proposal perdamaian semata. Melainkan menuntut kekuatan politik kolektif yang mampu menandingi kekuatan kolonial. Sejarah telah membuktikan, Palestina pernah terbebas melalui keberadaan satu entitas politik umat yang dapat menyatukan wilayah dan kekuatan militer dengan kepemimpinan dalam bingkai syariat Islam.

Sebab, umat Islam tidak akan pernah memiliki wibawa jika tidak menjalankan struktur politik yang mampu menerapkan hukum Allah SWT dan melindungi kaum Muslim. Maka, solusi sebenarnya adalah mengarahkan pada keputusan berlandaskan hukum syara Allah SWT, bukan berdasarkan kompromi diplomatik. Berdasarkan keputusan militer yang terpusat, bukan sebatas perlawanan parsial. Serta yang tidak kalah penting, berdasarkan kepemimpimpinan umat yang bertanggung jawab secara syar’i, bukan loyal pada kepentingan adidaya.

Kini saatnya bertanya kembali, apakah kita rela diatur oleh sistem yang membiarkan darah Muslim ditukar dengan pasar dan perjanjian dagang? Sungguh, sistem kapitalisme global tidaklah netral, ia selalu berpihak pada siapa saja yang menguntungkan. Bahkan jika itu artinya harus mengabaikan penderitaan Muslim. Inilah sistem yang melanggengkan problem dan membungkam perlawanan.

Sudah sepatutnya saat ini bergegas mengambil perubahan dengan mengembalikan kekuatan politik Islam yang menyeluruh, bukan solusi tambal sulam yang sekadar meredam amarah sesaat. Kesadaran ideologis perlu dipantik, kembalinya penerapan syariat perlu diperjuangkan, dan mencampakkan kapitalisme adalah hal prinsipil yang harus segera dilakukan.

Wallahualam bishshawab.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)