Oleh: Pastri Sokma Sari
Aktivis Mahasiswa Ilmu Sastra
Beritakan.my.id, Opini_ Dalam acara St. Petersburg International Economic Forum di Rusia pada 20 Juni 2025, presiden terpilih menyampaikan bahwa Indonesia memiliki ancaman besar yang sedang mengintai yaitu state capture, kolusi antara pebisnis modal besar dengan pejabat pemerintahan dan elit politik. Lanjutnya, kolusi semacam ini tidak akan menjadi solusi pengentasan kemiskinan dan perluasan kelas menengah. (news.republika.co.id, 24/06/2025)
Di laman yang sama, disampaikan bahwa sosialisme murni sudah terbukti tidak berhasil karena terlalu utopis. Sementara itu, kapitalisme murni juga terbukti menimbulkan ketimpangan dan hanya sebagian kecil yang dapat menikmati hasil kekayaan. Maka, memilih untuk mengambil jalan tengah yaitu dengan mengambil kreativitas kapitalisme, inovasi, dan inisiatif. Diperlukan intervensi pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan, kelaparan, serta melindungi yang lemah dan pemerintah yang bebas korupsi.
Penawaran solusi ini jika diteliti justru terkesan berputar-putar. Menurutnya, solusi dari state capture adalah dengan jalan kompromi antara kapitalisme dan sosialisme, tetapi tetap membutuhkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Dirinya ingin mengatasi state capture, tapi syaratnya adalah pemerintahan harus bersih dari korupsi, padahal inti permasalahan ialah korupsi itu sendiri.
Dalam (kompas.com, 18/06/2025), pihak yang selalu menduduki peringkat atas dalam Klasemen Liga Korupsi Indonesia nyatanya senantiasa diisi oleh korporasi. Seperti kasus yang terkuak yaitu korupsi Pertamina menimbulkan kerugian negara mencapai Rp968,55 triliun. Kemudian disusul PT. Timah Tbk yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Lalu, kasus korupsi terbaru yang juga masuk pada Klasemen Liga Korupsi Indonesia adalah kasus Wilmar Group yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp11,8 triliun.
State capture sejatinya merupakan akibat dari penerapan sistem politik sekuler demokrasi kapitalisme yang tegak hari ini, menihilkan peran agama dalam aktivitas politik serta ekonomi. Akibatnya, target utama dalam proses berpolitik dan berekonomi adalah tujuan materi belaka yang tetap dikejar meskipun harus menghalalkan segala cara. Sistem demokrasi kapitalisme juga erat dengan politik transaksional karena penguasa membutuhkan kucuran bantuan dana superbesar dari para pengusaha (kapitalis) untuk dapat maju pada kontestasi politik dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Sedangkan, hubungan timbal balik yang diinginkan oleh para pengusaha kapitalis ini adalah adanya balas budi dari para elit politik ini dengan bentuk kebijakan penguasa yang pro-kapitalis. Akibatnya, muncullah regulasi yang hanya menguntungkan kapitalis tapi merugikan rakyat. Tidak cukup hanya merugikan rakyat, akan tetapi dampak dari regulasi ini pun dapat dilihat dengan semakin banyaknya kasus kerusakan alam.
Investasi adalah salah satu contoh bentuk dari state capture yang dilegalkan. Akibatnya, para kapitalis besar mendapatkan hak untuk mengelola segala macam kekayaan yang dimiliki negara demi keuntungan mereka yang sebesar-besarnya. Hubungan gelap antara penguasa dan pengusaha terus terjalin sepanjang waktu tanpa memperdulikan kemaslahatan rakyat dan tidak peduli dampak terhadap alam dan juga rakyat. Kebijakan dan regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi antara penguasa dan pengusaha menjadikan rakyat sebagai korban yang kehidupannya semakin menderita dan menderita. Kekayaan alam yang diserahkan dan dikeruk oleh para kapitalis sehingga rakyat tidak bisa menikmati hasil manis dari tambang dan justru hanya semakin miskin saja. Rakyat juga yang mendapatkan dampak buruk dari aktivitas tambang ini berupa limbah dan dampak kerusakan alam lainnya.
State capture akan terus bertumbuh subur apabila negara masih menerapkan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Pengambilan jalan tengah berupa kompromi antara sistem kapitalisme dan sosialisme tidak akan bisa menghilangkan watak asli kapitalisme. Peniadaan peran agama dalam sistem sekulerisme juga justru akan membuat state capture dalam negara semakin menggurita.
Sistem pemerintahan Islam merupakan sistem yang bersih karena Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan setiap individu dan masyarakat, termasuk juga menjadi asas bernegara. Islam telah menata kepemilikan secara adil dan seksama yang berasal dari Allah Yang Mahaadil. Islam juga membangun sistem ekonomi yang berasaskan iman dan takwa yang bertujuan untuk menciptakan keberkahan bagi umat. Hal demikian akan membentuk sikap yang jujur pada setiap individu dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk semakin memperkaya diri apalagi sampai menghalalkan segala macam cara.
Para pejabat dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan memandang jabatan sebagai amanah dan harus dijalankan sesuai dengan hukum syara dan akan dipertanggungjawabkan pada Hari Akhir kelak di hadapan Allah subhanahuwata’ala. Penguasa di dalam Islam harus memiliki kepribadian Islam, memiliki kekuatan akal (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah). Penguasa juga harus memiliki iman serta takwa di dalam dirinya dan dalam kepemimpinannya terhadap umat.
Sistem Islam sudah sedari dini mencegah manusia untuk memiliki niat korupsi dari awal. Keimanan dan ketakwaan akan membuat para penguasa menjadi sosok yang tidak akan mau menerima suap, melakukan kolusi dan korupsi, apalagi sampai melakukan intimidasi terhadap rakyat. Mereka akan menjalankan amanah kepemimpinan sesuai dengan hukum syariat dan tulus kepada rakyat serta hanya mengharap rida Allah subhanahuwata’ala.
Islam memiliki sejumlah langkah untuk mencegah dan memberantas kolusi dan korupsi agar tidak semakin meluas sampai menggerogoti negara.
Penerapan sistem kehidupan islam dalam naungan negara akan menjamin tidak akan terjadi kompromi politik dan bisnis, apalagi sampai menjadikan negara jadi komoditas.