Ilustrasi Pinterest
Oleh Nining Sarimanah
Aktivis Muslimah
Beritakan.my.id, Opini_ Lagi, konsumen dirugikan oleh ulah pengusaha nakal. Sebelumnya masyarakat dikagetkan dengan minyak oplosan, kini beras oplosan. Tak ayal, beras oplosan memantik kemarahan masyarakat yang selama ini percaya beras berlabel premium merupakan beras berkualitas.
Hal ini diungkapkan oleh salah satu konsumen, Ety. Ia mengaku kecewa berat setelah mengetahui beras yang rutin ia beli ternyata tidak sesuai dengan kualitas dan isinya. Selama ini, Ety membeli beras merek Sania dan Sentra Ramos kemasan 5 kg.
Pengungkapan beras oplosan berawal dari laporan Menteri Pertanian Amran Sulaiman kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia mendapati adanya ketidakwajaran harga beras di masa panen raya, yaitu stok beras berlimpah tetapi terjadi kenaikan harga yang fantastis.
Mentan lalu melakukan pengecekan ke sejumlah pasar di sejumlah provinsi dengan hasil di antaranya pada beras premium sebesar 85,56% tidak sesuai dengan mutu yang sudah ditetapkan; 59,78% tidak sesuai dengan HET; sebesar 21,66% memiliki berat yang lebih rendah daripada yang tertera pada kemasan.
Adapun pada beras medium terdapat ketidaksesuaian mutu sebesar 88,25%; tidak sesuai dengan HET sebesar 95,12%; ketidaksesuaian berat beras kemasan di bawah standar sebesar 90,63%. Atas temuan itu, konsumen dirugikan mencapai Rp99,35 triliun per tahun dengan rincian beras premium Rp34,21 triliun dan beras medium Rp65,14 triliun. (Detik.com, 14/7/2025).
Dari penyelidikan pada 212 merk, ditemukan 67 perusahaan yang diduga terlibat yaitu 52 PT perusahaan produsen beras premium dan 15 PT produsen beras medium. Dari hasil investigasi penyidik Bareskrim menemukan modus yang dilakukan produsen mengoplos beras dengan menggunakan alat modern dan tradisional.
Sungguh, praktik kecurangan yang dilakukan oknum produsen beras sangat merugikan rakyat. Bagaimana tidak, masyarakat bekerja keras demi mendapatkan beras berkualitas yang diperoleh justru beras jelek. Mirisnya, meskipun negara sudah memiliki regulasi untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam industri beras, tetapi tetap kecolongan.
Beberapa kasus oplosan mulai dari Pertamax isi Pertalite, MinyaKita yang isinya kurang dari yang tertera di kemasan, sampai beras yang kualitas dan berat tidak sesuai dengan kemasan, mengonfirmasi bahwa ada yang tidak beres dalam tata niaga di negeri ini, terlebih yang menjadi korban seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, beras oplosan bukan sekadar pelanggaran pidana umum, tetapi telah menjadi kejahatan terstruktur yang berdampak sistemik pada ketahanan pangan, stabilitas harga pangan nasional, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kasus kecurangan yang terus bermunculan menunjukkan sebagai akibat dari keserakahan manusia (pengusaha) untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli apakah halal atau haram. Praktik ini tumbuh subur dalam sistem yang menjauhkan agama dalam kehidupan, akibatnya membuat manusia mengejar materi semata.
Di sisi lain, maraknya kecurangan lantaran lemahnya pengawasan dan sanksi yang diterapkan negara. Negara lalai mengawasi produksi beras sampai distribusi. Sayangnya, negara baru bertindak ketika terjadi anomali yaitu harga tinggi di saat melimpahnya stok beras. Ketika diinvestigasi ternyata kecurangan sudah terjadi bertahun-tahun yang pelakunya para produsen besar.
Semua itu merupakan konsekuensi dari diterapkan sistem kapitalis yang menjadikan negara absen dalam mengurus urusan umat, salah satunya masalah pangan. Pangan dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi dari hulu sampai hilir yang tentu saja berorientasi hanya bisnis (keuntungan).
Sementara negara hanya menguasai sekitar 10% saja, sehingga pemerintah tidak memiliki posisi tawar terhadap korporasi. Jika negara menekan korporasi, korporasi bisa menarik beras di pasaran yang berakibat terjadinya penurunan stok di pasar yang akan mengerek harga nasional.
Karenanya, negara tidak mampu bersikap tegas dengan memberikan waktu kepada korporasi untuk menurunkan harga beras premium. Ini adalah gambaran bagaimana negara dalam sistem kapitalis sekularisme menjadi regulator dan fasilitator bagi para kapital, sementara rakyat diabaikan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menempatkan pemimpin (khalifah) sebagai pengurus dan pengatur urusan umat. Rasulullah saw. bersabda, "Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR Bukhari dan Muslim).
Pangan adalah kebutuhan rakyat yang wajib disediakan oleh negara. Negara harus memastikan setiap individu rakyat terpenuhi baik dari jumlahnya cukup, mudah diakses, dan harga yang terjangkau. Negara tidak sebatas memastikan pasokan tersedia, tetapi juga sampainya beras tersebut bisa dinikmati oleh konsumen.
Pada sisi produksi negara wajib mendukung penuh pada petani lokal dengan memberikan bantuan atau subsidi seperti pupuk, bibit unggul, lahan, modal tanpa riba, dan sebagainya. Dengan begitu, produksi beras mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tercipta swasembada pangan. Swasembada akan menstabilkan harga di pasaran karena persediaan relatif tetap dan tidak terpengaruh dengan sentimen pasar global.
Negara (Khilafah) menyiapkan para penyuluh pertanian untuk membimbing para petani agar menggunakan teknik bertani yang efektif dan efisien sehingga hasil panen meningkat, baik kuantitasnya maupun kualitasnya. Selain itu, negara memfasilitasi para ahli pertanian untuk melakukan riset dan pengembangan supaya hasil panen lebih baik.
Negara juga melakukan industrialisasi pertanian dengan memproduksi alat-alat pertanian untuk memudahkan kerja petani dan hasil panen segara diproses tanpa terkendala faktor cuaca dan lainnya sehingga mudah dipasarkan.
Dari sisi distribusi, negara akan memastikan beras sampai ke konsumen (rakyat) tanpa adanya monopoli, penimbunan, permainan harga, dan praktik curang lainnya. Negara pun membolehkan swasta menjual beras dengan syarat yang sudah ditetapkan oleh khalifah, misalnya produk didaftarkan dulu ke pemerintah sehingga pasti kualitas, berat, dan keamanannya. Setelah lolos uji, barulah merek beras itu boleh beredar di pasaran.
Kemudian, kadi hisbah mengawasi beras yang beredar di pasaran dengan tujuan agar para pedagang mematuhi aturan Islam dan mencegah mereka melakukan kecurangan. Kadi hisbah juga diberikan kewenangan memberikan sanksi terhadap pelanggar hukum seperti timbangan/takaran yang tidak sesuai dengan kemasan.
Dengan demikian sangat jelas hanya Islam yang mampu menyolusi masalah beras oplosan. Rakyat pun tidak was-was ketika membeli beras untuk memenuhi kebutuhan. Terlebih, keberadaan khalifah hadir untuk mengurus rakyat yang merupakan bagian tanggung jawabnya.
Wallahu a'lam bishshawab