Ketika Pemerintah Lebih Tertarik Rekening Nganggur daripada Pengangguran

ZRP
0


Oleh: Rizqi Awal (Pengamat Kebijakan Publik)

Di negeri ini, ironisnya, pemerintah tampak lebih sigap membekukan rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan ketimbang menangani jutaan warga yang terjebak dalam jerat pengangguran. Kebijakan pemblokiran rekening "nganggur" oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai sorotan tajam, bukan hanya karena caranya yang terkesan mendadak, tetapi juga karena mencerminkan prioritas yang salah kaprah. Sementara rekening rakyat dihantui ancaman pembekuan, nasib pengangguran—yang jauh lebih mendesak—terabaikan, dibiarkan membeku dalam ketidakpastian.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat angka pengangguran terbuka mencapai lebih dari 7 juta orang, meningkat dari 7,2 juta pada periode yang sama di 2024. Dari jumlah tersebut, 65% adalah anak muda, termasuk 1 juta lulusan sarjana yang berjuang mencari kerja. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bom waktu sosial, seperti diungkapkan Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi, yang menyebut situasi ini "kontradiktif" dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2–5,8%. Media internasional seperti Al Jazeera bahkan menyoroti bahwa tingkat pengangguran muda Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di Asia, dua kali lipat lebih buruk dibandingkan Vietnam atau Thailand.

Sementara itu, pemerintah melalui PPATK getol memblokir 28.000 rekening dormant sepanjang 2024, dengan alasan mencegah penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal seperti judi online, perdagangan narkoba, atau pencucian uang, yang melibatkan dana Rp4,2 triliun. Langkah ini memang berdasar pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, kebijakan ini terasa timpang ketika rekening pasif milik petani, pensiunan, atau buruh migran yang jarang bertransaksi—bukan kriminal—turut terdampak tanpa notifikasi memadai. Publik bertanya: mengapa pemerintah lebih gesit menutup akses keuangan rakyat kecil ketimbang membuka peluang kerja?

Pengangguran bukan sekadar angka, tetapi cerminan kegagalan sistemik. Penyebabnya beragam: mismatch keterampilan, minimnya lapangan kerja berkualitas, hingga urbanisasi cepat yang tidak diimbangi investasi memadai di perkotaan. Data menunjukkan 75–80% penduduk Indonesia berusia di bawah 50 tahun, dengan usia median 30 tahun, menjadikan Indonesia memiliki tenaga kerja besar yang terus bertambah. Namun, lapangan kerja tidak bertumbuh secepat angkatan kerja. Krisis seperti pandemi COVID-19 dan Krismon 1998 memperparah situasi, mendorong banyak pekerja ke sektor informal yang rentan.

Pemerintah mengklaim telah berupaya melalui pembangunan infrastruktur, pelatihan vokasi, dan program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) atau stimulus UMKM. Namun, hasilnya jauh dari optimal. Nurhadi menegaskan, pelatihan kerja yang digembar-gemborkan Kementerian Ketenagakerjaan sering kali tidak terserap industri, menunjukkan kegagalan desain kebijakan. Program vokasi berbasis industri, seperti PePADU Plus di NTB, memang menjanjikan, tetapi skala dan dampaknya masih terbatas. Sementara itu, fokus pada proyek seremonial dan narasi pencitraan kerap mengaburkan kebutuhan akan terobosan nyata.

Sebaliknya, kebijakan pemblokiran rekening terasa seperti pukulan telak bagi rakyat kecil. Banyak rekening dormant dimiliki oleh mereka yang tidak aktif bertransaksi karena keterbatasan akses, seperti petani yang hanya menabung musiman atau pekerja migran yang menunggu kepulangan. Tanpa peringatan berlapis—melalui SMS, email, atau surat resmi—kebijakan ini berisiko mencabut hak atas dana pribadi tanpa proses hukum yang jelas. PPATK menegaskan dana tetap aman, tetapi ketidakjelasan prosedur reaktivasi dan minimnya edukasi keuangan digital membuat rakyat bingung, bahkan waswas.

Negara tetangga seperti Singapura menawarkan solusi inspiratif melalui program SkillsFuture, yang memberikan kredit pelatihan tahunan untuk meningkatkan keterampilan warga dan mendukung transisi ke sektor baru. Di Indonesia, pendekatan serupa bisa diadopsi: alih-alih hanya mengejar aset tak bergerak, pemerintah perlu "menyapa" pengangguran dengan pelatihan berbasis kebutuhan industri, perluasan akses kerja digital, dan perlindungan tenaga kerja informal. Kebijakan fiskal ekspansif, seperti menambah subsidi atau mengurangi pajak bagi sektor UMKM, juga bisa mendorong penciptaan lapangan kerja.

Ironi ini menelanjangi prioritas yang terbalik: negara lebih takut pada "uang gelap" ketimbang nasib warga yang terpuruk. Jika pemerintah lebih curiga pada rekening yang diam daripada manusia yang terdiam dalam pengangguran, maka yang membeku bukan hanya saldo, tetapi juga empati. Saatnya pemerintah mengalihkan energi dari membekukan rekening rakyat ke membuka harapan baru bagi jutaan pengangguran. Kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan hanya omon-omon, adalah jawaban yang ditunggu.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)