![]() |
Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Arie Rahmayanti
Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan rencana pemerintah daerah yang akan meluncurkan program berobat gratis untuk masyarakat. Sebuah kabar yang sekilas terdengar menggembirakan, terlebih ditengah kondisi saat ini dimana biaya kesehatan semakin mahal dan akses layanan kesehatan yang layak masih menjadi persoalan utama.
Apakah rakyat benar-benar akan menikmati layanan kesehatan secara gratis dan berkelanjutan, ataukah ini hanya sekedar program musiman yang akan lenyap seiring waktu?.
Apalagi berdasarkan pemberitaan yang ada di media, program ini masih dalam tahap usulan dan menunggu disahkannya Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD). Artinya masih ada proses politik dan pertimbangan untung rugi yang harus dilalui sebelum program ini benar-benar berjalan.
Sebagaimana kita ketahui dalam sistem pemerintahan hari ini yang berbasis kapitalisme, setiap kebijakan tidak pernah lepas dari perhitungan manfaat dan keuntungan. Sekalipun pemerintah menawarkan layanan gratis, tentu tetap ada pihak-pihak yang harus menanggung biaya, baik itu pengusaha obat, rumah sakit, maupun tenaga kesehatan. Pertanyaannya, apakah semua pihak ini akan rela bekerja tanpa menerima bayaran?
Berdasarkan pengalaman dari program-program sebelumnya, janji-janji semacam ini seringkali tak bertahan lama. Bahkan tak jarang justru membuka celah bagi oknum untuk melakukan korupsi, memanfaatkan anggaran kesehatan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat akhirnya tetap harus merogoh kocek sendiri, atau bahkan menghadapi pelayanan yang buruk dan lambat.
Selama sistem yang diterapkan masih berlandaskan kapitalisme, program berobat gratis hanya akan menjadi ilusi. Kapitalisme menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas, termasuk kesehatan. Rumah sakit beroperasi sebagai bisnis, obat-obatan dijual untuk meraup laba, dan bahkan alat-alat kesehatan menjadi bagian dari industri besar.
Berbeda dengan sistem Islam, kesehatan merupakan hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara bukan sekedar berperan sebagai regulator atau pembuat aturan, tetapi bertanggung jawab langsung menyediakan layanan kesehatan yang layak, cepat, berkualitas dan benar-benar gratis bagi seluruh rakyat baik yang kaya maupun yang miskin.
Praktiknya bisa kita lihat dalam sejarah peradaban Islam dahulu. Dimasa kekhilafahan Islam, rumah sakit dibangun secara luas dan terbuka untuk umum tanpa pungutan biaya. Semua dibiayai dari kas negara, yang dikenal dengan Baitul Maal. Tidak ada sistem asuransi yang akan membebani rakyat, tidak ada rumah sakit swasta yang mengutamakan pasien berdasarkan uang muka.
Bahkan negara Islam tidak hanya fokus pada layanan kesehatan saat masyarakat sakit, tetapi lebih dari itu negara juga membangun sistem yang menjaga kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Mulai dari edukasi tentang pola hidup sehat, pengaturan pangan halal dan thayyib di pasar, pengawasan produk-produk makanan dan obat-obatan hingga menjaga kestabilan ekonomi dan ketahanan pangan.
Semua itu dilakukan berdasarkan asas akidah Islam, dimana aturan yang digunakan adalah syariat Islam. Kapitalisasi dan komersialisasi atas hak-hak dasar seperti kesehatan adalah sesuatu yang dilarang oleh Islam. Inilah yang membedakan sistem Islam dengan kapitalisme yang mendominasi saat ini.
Maka dari itu sudah seharusnya dan selayaknya seluruh masyarakat dan khususnya para pemegang kebijakan, untuk benar-benar memikirkan solusi yang mendasar. Bukan hanya program tambal sulam yang sifatnya sementara. Kita butuh perubahan sistemik, bukan sekedar kebijakan populis yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pihak yang benar-benar dilayani, bukan dijadikan objek bisnis atau alat politik. Islam telah memberikan contoh dan Solusi yang nyata dalam hal ini. Tinggal bagaimana kita sebagai umat mau Kembali kepada aturan Allah atau tetap bertahan dalam sistem yang penuh dengan ketimpangan dan ketidak adilan.
Allahu'alam.
_Editor : Vindy Maramis_