![]() |
Ilustrasi : Kekerasan pada wanita. Sumber : iStock. |
Oleh : Arie Rahmayanti
Tragedi memilukan kembali mengetuk nurani
bangsa. Seorang asisten rumah tangga (ART) di Batam, Kepulauan Riau, mengalami
penyiksaan yang sungguh di luar batas kemanusiaan. Ia dipukuli, dijambak,
dipaksa makan kotoran anjing, bahkan minum air got. Kekerasan ini berlangsung
selama hampir satu tahun, dan makin memburuk dalam dua bulan terakhir.
Pelakunya bukan hanya majikan, tetapi juga sesama ART. (Detiknews.com, 24/06)
Hal ini menunjukkan kekuasaan dan
kekerasan bisa muncul bahkan dalam
lingkaran masyarakat kecil dan kelas bawah. Tragedi ini bukan semata
kasus kriminal biasa, tetapi cermin dari sistem yang gagal menjaga harkat dan
martabat manusia.
Dalam realitas sosial hari ini, ART
adalah kelompok rentan yang hidup dalam relasi kekuasaan yang timpang. Mereka
bekerja dalam ruang privat yang sulit diawasi, bergantung pada kebaikan hati majikan,
tanpa perlindungan yang memadai. Ketika relasi ini berjalan baik, tak ada
masalah. Tapi ketika relasi itu dibumbui oleh tekanan ekonomi, budaya kekerasan
dan impunitas hukum, maka yang terjadi adalah penderitaan yang sunyi dan tak
terlihat. Korban bisa disiksa selama berbulan-bulan tanpa terdeteksi oleh
lingkungan atau aparat. Ini menunjukkan lemahnya sistem perlindungan sosial dan
minimnya kesadaran publik akan pentingnya menjaga sesama manusia.
Lebih jauh, akar dari masalah ini
tak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi. Mengapa perempuan seperti korban
harus bekerja jauh dari kampung halaman dan menerima pekerjaan beresiko tinggi
dengan upah yang minim?.
Ya, karena sistem yang ada tidak
memberikan alternatif lain. Negara gagal menyediakan lapangan kerja yang layak,
terutama bagi kepala keluarga (laki-laki), yang dalam Islam seharusnya menjadi
penanggung jawab utama nafkah keluarga. Maka perempuan terpaksa ikut turun ke
pasar tenaga kerja, bahkan hingga ke luar negeri, demi bertahan hidup. Dalam
situasi seperti ini, mereka menjadi mudah di eksploitasi, dilecehkan dan
disakiti tanpa perlindungan struktural yang memadai dari negara.
Negara seharusnya hadir bukan hanya
sebagai penegak hukum setelah kekerasan terjadi, tetapi sebagai pelindung sejak
awal. Namun sayangnya, dalam sistem sekuler yang berjalan saat ini,
perlindungan manusia tidak mungkin menjadi orientasi utama. Sistem hukum lebih sering
bersifat reaktif, bukan preventif. Sistem ekonomi yang kapitalistik juga
membuat manusia dipandang dari sisi nilai ekonominya, bukan dari kehormatannya
sebagai manusia. Maka tak heran jika banyak dari kalangan miskin dibiarkan hidup
tanpa jaminan kebutuhan dasar, tanpa akses pekerjaan yang bermartabat, dan tanpa
perlindungan sosial yang memadai.
Islam memandang manusia dengan
sangat mulia. Dalam pandangan Islam, setiap manusia apapun status sosialnya,
memiliki kehormatan yang harus dijaga.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).
Dalam relasi kerja, Islam
mewajibkan majikan untuk memperlakukan pekerjanya dengan baik, memberi makan
dan pakaian seperti yang ia kenakan sendiri, dan tidak membebaninya dengan
tugas di luar batas kemampuan. Islam tidak sekedar menawarkan norma moral,
tetapi juga sistem sosial yang mendukung implementasinya.
Dalam sistem Islam (Khilafah),
negara memiliki tanggung jawab langsung untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat
seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan serta menyediakan
pekerjaan yang layak, khususnya untuk para kepala rumah tangga. Jika seorang
laki-laki tidak mampu bekerja, negara wajib mencarikan pekerjaan untuknya atau
memberikan tunjangan dari Baitul Maal.
Dana Baitul Maal berasal dari
sumber-sumber yang adil dan syar’i seperti zakat, kharaj, fa’i, ghanimah, dan
pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah). Kekayaan umum ini
mencakup kepemilikan bersama umat atas sumber daya strategis seperti air,
hutan, tambang, energi dan lahan luas sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Kaum Muslimin berserikat dalam
tiga hal; air, padang rumput dan api (energi)” (HR. Abu Dawud).
Negara dalam Islam tidak boleh
menyerahkan sumber daya ini kepada swasta atau asing, karena hasilnya harus kembali
kepada rakyat. Inilah yang memungkinkan negara untuk membiayai kebutuhan publik
tanpa membebani rakyak dengan pajak yang menyesakkan.
Dengan sistem Islam yang
komprehensif inilah martabat manusia benar-banar dijaga. Tidak cukup dengan
kampanye “Perlindungan Perempuan” atau “Stop KDRT”, jika akar kemiskinan dan
ketimpangan relasi kuasa tidak diselesaikan. Islam bukan hanya agama ibadah,
tetapi juga sistem kehidupan yang menata seluruh aspek sosial, politik, dan
ekonomi. Kasus seperti kekerasan terhadap ART ini tidak akan pernah selesai
jika kita hanya berfikir dalam bingkai hukum sekuler yang sempit.
Sudah saatnya umat Islam menyadari
bahwa satu-satunya sistem yang benar-benar memuliakan manusia adalah Islam itu
sendiri. Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Allah, bukan
sebagai alat produksi atau beban anggaran. Maka mengembalikan kehidupan kepada
aturan Islam bukanlah sebuah utopia, melainkan keharusan. Hanya dengan sistem
Islam, kita bisa membangun Masyarakat yang adil, manusiawi dan penuh kasih
sayang bukan yang membiarkan kekerasan mengakar dan martabat manusia
diinjak-injak.
Allahu ‘alam
_Editor : Vindy Maramis_