Oleh. Ummu Caca
"Guru, digugu lan ditiru". Saat ini, semboyan ini mulai pudar dan ditinggalkan. Bahkan posisi guru dianggap tidak lebih dari sekadar mencetak nilai. Sungguh, ironis memang. Pemerintahpun yang semestinya mengangkat dan memuliakan guru, ternyata menjadikannya sosok yang harus terkena imbas dari sebuah kebijakan. Pencoretan tunjangan tambahan (tuta) guru dari APBD 2025 Banten, sebagai bukti betapa nasib guru semakin memilukan.
Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2024, rata-rata gaji guru ASN golongan III baru berkisar Rp 4 juta-Rp7 juta per bulan. Sementara guru honorer bisa jauh di bawah itu, bahkan di bawah UMR daerah. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara beban kerja dan penghargaan terhadap profesi guru. (detikedu.com 11/5/2025)
Berbagai macam cara telah dilakukan sebagai bentuk kepedullian akan nasib guru. Salah satunya yang dilakukan Anggota Komisi X DPR RI Juliyatmono dalam Kunjungan Kerja Komisi X ke Jambi, Kamis (8/5/2025). Juliyatmiko menyampaikan dengan tegas, "Gaji guru standarnya harus Rp 25 juta per bulan. Ini baru akan ideal di Indonesia, dan minat menjadi guru akan meningkat," (detikedu.com, 11/5/2025).
Memperjuangkan nasib guru di sistem sekuler kapitalis seperti saat ini jelas tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan. Sistem kapitalis yg saat ini tumbuh subur di negeri ini tidak akan berpihak pada tuntutan rakyat. Terutama pada guru yang menjadi tulang punggung pendidikan. Pendidikan saat ini mengedepankan nilai-nilai di rapot daripada kemampuan riil dan moral. Sehingga, wajar jika guru saat ini dihadapkan pada kenyataan pahit. Antara mendidik sungguh-sungguh dengan tuntutan dunia pendidikan tersebut. Di samping, bayaran yang didapat tidak sebanding dengan jerih payahnya.
Sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Sistem pendidikan dalam Islam sangat mengedepankan pendidikan yang sungguh-sungguh pada capaian membentuk kepribadian Islam yang tercermin pada kecerdasan berpikir dan keluhuran tingkah lakunya. Semuanya berdasarkan pada aqidah islam yang memancar darinya aturan-aturan cabang pendidikan yang mampu melahirkan generasi cemerlang dan beradab.
Semua itu bisa terealisasi atas peran guru. Oleh karena itulah, Islam sangat memperhatikan kesejahteraan guru. Guru yang sejahtera akan berpengaruh pada kesungguhan dalam mendidik dan mengajar. Lebih dari itu, guru dalam sistem Islam tidak kenal lelah mendidik karena mereka telah tersuasanakan dengan keimanannya. Mereka yakin bahwa apa yang mereka tanamkan pada anak-anak didiknya akan membuahkan pahala jariyah, yaitu pahala yang terus mengalir meskipun mereka terkubur tanah.
Di masa kekhalifahan Umar ibn Khattab, gaji seorang guru perbulan 15 dinar. 1 dinar di masa Rasuliullah setara Rp2,2 juta. Jika digunakan dinar versi Rasulullah SAW, maka gaji guru pada masa khalifah Umar Ibn Khattab dengan 15 dinar setara dengan 33 juta/bulan. Sebuah angka atau nominal pendapatan guru yang sangat fantastis jika direalisasikan untuk kehidupan saat ini. Ini sangat ironi dan patadoks dengan kenyataan guru di Indonesia khususnya. Kita masih melihat guru yang mendapatkan gaji di bawah Rp 500.000.
Untuk itulah, jika ingin memperjuangkan nasib guru saat ini, maka memperjuangkan sistem Islam kaffah adalah jalan satu-satunya. Tidak hanya nasib guru yang terselesaikan, namun semua problem bangsa ini akan terselesaikan juga. Penerapan Islam kaffah, bisa menjadi solusi sebab yang diperbaiki adalah semua aturan dalam sistem kehidupan. Termasuk sistem ekonomi yang saat ini sangat memengaruhi pendapatan yang diperoleh para guru.
Wallahu a'lam bish-showab.