![]() |
Ilustrasi : Korupsi. Sumber : iStock. |
Oleh : Hamzinah, S.I.Pust. (Pustakawan & Pegiat Media Sosial)
Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu state capture. State capture yang dimaksud adalah kolusi antara kapital besar dengan pejabat pemerintahan serta elite politik. Kolusi ini tidak membantu mengentaskan kemiskinan atau memperluas kelas menengah. Hal ini diungkapkan Prabowo saat menjadi pembicara di acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia. (www.kumparan.com)
Disisi lain, kasus korupsi di negeri ini tak kalah mengkhawatirkan. Baru-baru ini terungkap lagi skandal CPO yang melibatkan Wilmar Group. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang sejumlah Rp. 11,8 triliun dari korporasi Wilmar group dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya di industri kelapa sawit pada tahun 2022. (www.tempo.co)
State Capture Keniscayaan Dalam Demokrasi
State Capture sejatinya merupakan keniscayaan di dalam sistem politik demokrasi kapitalisme-sekuler yang diterapkan hari ini, yang di mana kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah untuk mengurus rakyat, melainkan dijadikan sebagai sarana meraih kepentingan duniawi dengan menghalalkan segala cara, termasuk kolusi antara penguasa dan pengusaha.
Dalam sistem ini, politik transaksional menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, sebab proses kontestasi kekuasaan membutuhkan biaya yang sangat besar. Para calon penguasa bergantung pada sokongan dana dari para pemilik modal (pengusaha). Sehingga ketergantungan ini melahirkan hubungan timbal balik, di mana para pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan atau proyek yang menguntungkan mereka. Saat penguasa yang mereka dukung berhasil menduduki jabatan, inilah yang menjadikan arah kebijakan negara lebih tunduk pada kepentingan elite pemilik modal ketimbang berpihak kepada kepentingan rakyat secara luas.
Pemberantasan korupsi dalam sistem kapitalisme-demokrasi tampak dilakukan secara setengah hati. Meskipun lembaga-lembaga anti korupsi dibentuk dan berbagai regulasi dibuat, praktik korupsi tetap marak terjadi. Bahkan korupsi juga melibatkan aktor-aktor politik dan ekonomi kelas atas yang kerap kali lolos dari jerat hukum atau hanya dikenai sanksi ringan yang tidak menimbulkan efek jera.
Sebab utama dari suburnya persoalan korupsi dan kolusi adalah diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme, dimana asas yang digunakan adalah pemisahan agama dari kehidupan. Aturan yang berlaku disusun berdasarkan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu, bukan berdasarkan nilai benar dan salah menurut syariat. Sehingga kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, kolusi dan korupsi dalam sistem demokrasi-kapitalisme seperti dua sisi mata uang, tak terpisahkan dan tak bisa dielak.
Kebutuhan Mekanisme Pemberantasan Kolusi dan Korupsi
Sistem Islam memiliki mekanisme dalam mencegah kolusi dan korupsi. Sistem Islam menjadikan aqidah Islam sebagai asas kehidupan, baik pada level individu maupun negara. Aqidah ini bukan hanya menjadi landasan keyakinan, tetapi juga menjadi sumber dalam menetapkan seluruh aturan kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum.
Dengan aqidah yang kokoh, setiap individu muslim didorong senantiasa terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya. Sehingga ia akan merasa diawasi oleh Allah SWT dalam segala tindakannya. Hal ini akan membentuk pribadi yang jujur, amanah dan bertanggung jawab serta tidak menjadikan jabatan atau kekuasaan sebagai sarana memperkaya diri.
Dalam sistem Islam, pemimpin dipilih bukan untuk mencari keuntungan duniawi, melainkan untuk menjalankan amanah dalam mengurus urusan umat sesuai dengan syariat. Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam juga akan membentuk masyarakat yang senantiasa melakukan kontrol terhadap penguasa dalam rangka menegakkan muhasabah lil hukkam. Sistem Islam juga memiliki sanksi (uqubat) yang tegas dan memberi efek jera. Perbuatan seperti korupsi, suap dan pengkhianatan terhadap amanah termasuk dosa besar yang tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Islam menegaskan larangan keras terhadap suap dan kecurangan, sebagaimana Firman Allah SWT:
"Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal
kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188)
Rasulullah SAW bersabda, “Allah
melaknat pemberi suap, penerima suap dan perantara antara keduanya” (HR.
Ahmad)
Dengan penerapan sistem sanksi yang adil dan transparan dalam negara yang menjalankan syariat Islam secara kaffah, maka para pelaku tindak kejahatan akan mendapatkan hukuman yang setimpal tanpa pandang bulu. Ditambah dengan kontrol sosial dan ketakwaan setiap individu, potensi penyimpangan dan kezaliman akan dapat dicegah.
Wallahu a’lam bish shawwab.
_Editor : Vindy Maramis_