Korupsi : Budaya atau Dogma?

Admin BeritakanMyId
0
Ilustrasi: Tindakan Korupsi. Sumber : iStock.


Oleh : Vindy W. Maramis, S.S


Beberapa tahun kebelakang, kasus-kasus korupsi mega proyek secara teratur bermunculan satu per satu di permukaan publik. Kasus korupsi yang bukan lagi hitungan ratusan atau miliyaran rupiah, melainkan puluhan hingga ratusan triliunan.


Setidaknya ada beberapa kasus korupsi dengan nilai triliunan yang menghebohkan seantero negeri yakni, kasus korupsi PT. Timah sebesar kurang lebih 300 Triliun; kasus korupsi tata kelola minyak mentah subholding Pertamina sebesar 193 Triliun; kasus korupsi BLBI sebesar 138 Triliun; dan yang terbaru kasus korupsi PT. Wilmar sebesar 11 Triliun.


Kasus-kasus mega korupsi seperti diatas tidaklah lepas dari keterlibatan pemerintah, baik daerah, pusat, maupun melalui kementerian terkait. Dalam kasus korupsi PT. Timah misalnya, ada dugaan kuat terhadap keterlibatan pejabat kementerian ESDM baik daerah hingga pusat.


Melansir laman Kompas.com, menurut Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional, Muhammad Jamil, agar dugaan keterlibatan otoritas dapat terungkap, penyidik mesti mendalami dokumen RKAB yang diajukan perusahaan tambang kepada pemerintah. Di dalam dokumen itu tercantum jelas perencanaan kegiatan pertambangan selama setahun, semisal lokasi tambang, data tentang deposit mineral, hingga rencana jumlah mineral yang akan ditambang karena setiap jenis mineral diberi kuota. Persetujuan RKAB itu melibatkan pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM.


Dalam kasus korupsi Pertamina hingga kini juga tidak mendapat titik terang. Baik pihak Kementerian BUMN maupun Kementerian ESDM sama-sama bungkam soal kasus korupsi yang dilakukan perusahaan plat merah ini.


Adanya peran dan keterlibatan pihak-pihak pemerintah tidak bisa diabaikan dalam setiap proses izin usaha, apalagi usaha tambang, tentu semua proses harus melalui tangan pemerintah. Akhirnya masyarakat pun berspekulasi bahwa keterlibatan pemerintah dalam setiap kasus korupsi benar adanya, dilihat dari diamnya pihak-pihak yang bersangkutan.


Banyaknya kasus mega korupsi di Indonesia bukan lagi menyoal budaya, atau bukan pula sekedar siapa dibalik kasus mega korupsi ini, apakah pemerintah daerah, pusat, dinas atau kementerian, tetapi korupsi dewasa ini harus dipahami telah menjelma sebagai sebuah dogma kehidupan.


Korupsi secara inheren akan mengarah pada sistem apa yang sedang digunakan. Di Indonesia -dan sebenarnya secara global- telah mengadopsi sistem kapitalisme. Dalam sudut pandang fraud triangle, setidaknya ada tiga faktor seseorang melakukan tindakan korupsi yakni tekanan, pembenaran diri dan kesempatan.


Pertama faktor tekanan, bisa berupa tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal biasanya karena dorongan dari dalam diri individu/kelompok yang dipengaruhi oleh kebutuhan ataupun gaya hidup. Tekanan eksternal biasanya terjadi karena pengaruh lingkungan, misalnya budaya korupsi berjamaah, bila ada yang menolak maka akan diintimidasi atau dimutasi. Kedua faktor pembenaran diri, biasanya ada dorongan korupsi karena melihat yang lain korupsi juga melakukannya. Ketiga faktor kesempatan, adanya keinginan melakukan tindakan korupsi karena memegang pengaruh dan jabatan tertentu, atau melihat lemahnya sistem kontrol dan lain sebagainya.


Sedangkan sistem kapitalisme merupakan ideologi yang berasaskan materi. Kapitalisme menjadikan pasar bebas sebagai dasar ekonominya. Dari sini kemudian lahirlah sebuah polarisasi sudut pandang yang menjadikan segala sesuatu menjadi sebuah komoditas, seperti tambang, bahan bakar minyak, bahkan vaksin (dalam bidang kesehatan).


Berdasarkan sudut pandang fraud triangle serta pengertian kapitalisme, maka dapat ditarik benang merah antara korupsi dengan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Bahwa sistem kapitalisme dengan paham ekonomi pasar bebas yang menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas, akan memberi peluang untuk praktik-praktik korupsi terjadi di dalamnya. Ditambah sistem kapitalisme secara ideologi juga telah memisahkan peranan agama dan norma dalam kehidupan manusia. Alhasil manusia-manusia yang lahir dalam sistem ini bersaing untuk memperoleh materi dengan menghalalkan segala cara. Lemahnya hukum demokrasi dalam sistem kapitalisme juga menjadi faktor pendukung maraknya tindakan korupsi itu sendiri. Para tersangka korupsi nyatanya tidak pernah benar-benar dihukumi dengan serius dan memberi efek jera, sehingga korupsi tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi tinggi.


Berbeda dengan Islam, tindakan korupsi merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah Swt. berdasarkan dalil-dalil syarak. Beberapa diantara dalil syarak yaitu firman Allah Swt:

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 188)


Adapun beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah dan menghilangkan perilaku korupsi ialah dengan menumbuhkan ketakwaan individu, pengelolaan sumber daya alam mandiri, serta negara sebagai pelaksana hukum.


Pertama, ketakwaan individu yang berasal dari sistem pendidikan yang baik, dimana negara berkewajiban memfasilitasi masyarakat dengan akses pendidikan yang berkualitas serta mudah dijangkau. Kurikulum yang digunakan merujuk pada pembangunan karakter individu yang kuat dan khas, melalui pemahaman tentang kehidupan yang benar. Dari sini maka setiap individu akan mampu memiliki kontrol diri terhadap pemikiran dan perbuatannya, apa saja yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Sehingga, setiap individu akan jauh dari perilaku korup.


Kedua, sumber daya alam wajib dikelola oleh negara secara mandiri. Tidak seperti dalam kapitalisme - dimana negara memberi izin pada investor asing ataupun swasta selaku para kapital – yang boleh mengelola sumber daya alam serta meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, Islam justru mengharamkan hal tersebut. Melepas pengelolaan sumber daya alam pada pihak swasta dan asing inilah yang menjadi celah marak terjadinya tindakan korupsi.


Ketiga, negara wajib menegakkan hukum dan peradilan tanpa tebang pilih juga memberi hukuman yang memberi efek jera. Menyoal tindakan korupsi, maka hal ini masuk kedalam hukum ta’zir dimana hukumannya ditentukan oleh khalifah berdasarkan hasil ijtihad yang diambil. Sejarah pernah mencatat beberapa hukuman untuk pelaku korupsi yang pernah diterapkan di masa sistem pemerintahan Islam, diantaranya ialah penyitaan harta/dimiskinkan, pengasingan selama beberapa tahun, hingga dihukum mati.


Dari sini maka jelas bahwa korupsi bukanlah sekedar budaya melainkan sebuah dogma, dimana potensi perilaku korup itu sendiri tergantung dari sistem apa yang sedang diterapkan. Dengan demikian, Islam menjadi sebuah jalan keluar yang logis serta solusi yang praktis untuk menghilangkan praktik dan perilaku korupsi.

Allahua’lam.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)