Oleh : Ummu Hanan
Kebenaran.my.id, opini--Kasus perundungan di institusi pendidikan kembali berulang. Kali ini salah seorang siswa SMP di wilayah Bandung, Jawa Barat menjadi korban perundungan rekan sebayanya. Siswa tersebut mengalami luka dan trauma akibat menolak untuk menenggak minuman beralkohol (tuak) yang diberikan rekannya.
Kasus ini mendapat respon dari salah seorang anggota Dewan, yakni Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani. Lalu Hadrian berharap ada tindakan tegas terhadap pelaku baik dari sisi hukum maupun administrasi sebab telah mengarah pada sebuah tindak pidana (rri.co.id, 27-6-2025).
Beliau juga memandang pentingnya kerjasama antara Kementerian PPPA, pihak KPAI serta para penegak hukum di negeri ini. Selain itu dibutuhkan adanya pembentukan tim pencegahan kekerasan yang menyertakan peran orang tua, siswa dan guru.
Baca juga:
Fantasi Sedarah, Potret Masyarakat yang sakit
Kasus perundungan bukan kali ini saja terjadi. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), terdapat kecenderungan kasus perundungan dalam lingkup pendidikan yang melibatkan anak, dan trennya terus meningkat. Pada tahun 2024, jumlah kasus perundungan anak di lingkungan pendidikan meningkat 100 persen lebih dibandingkan tahun 2023, sehingga dapat disimpulkan jika selama tahun 2024 terdapat 573 kasus maka dalam sehari bisa terjadi lebih dari satu kasus perundungan (kbr.id,30-12-2024).
Sungguh sebuah rekor yang membuat miris hati siapapun. Padahal kita dapati adanya regulasi yang mengatur soal perlindungan anak yang berisi penjaminan atas hak-hak anak. Perlindungan anak seolah sekadar menjadi wacana belaka jika dikontraskan dengan kasus perundungan yang semakin meningkat.
Ibarat gunung es, kasus perundungan yang terjadi di tengah masyarakat boleh jadi jauh lebih banyak ketimbang yang terlaporkan. Ini Semua setidaknya menjadi evaluasi besar bagi para pemangku kebijakan negeri ini. Dalam sistem hukum misalnya, hukuman atau sanksi yangn diberikan kepada para pelaku perundungan terbukti tak mampu memunculkan efek jera. Para pelaku mendapatkan keringanan dengan pertimbangan masih terkatagori di bawah umur.
Opsi mediasi selalu dikedepankan dan akhirnya berujung pada permintaan maaf, hanya dibebankan wajib lapor secara berkala kepada yang bersangkutan. Tentu ini menciderai rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Terlebih Jika korban perundungan menderita cacat permanen atau bahkan meninggal dunia.
Begitupula halnya dengan sistem pendidikan. Idealnya, sistem pendidikan dalam suatu negeri mampu mencetak kader perubahan di tengah masyarakat menuju ke arah kemajuan yang beradab. Bukan sebaliknya menjadi mesin pembuat masalah di tengah lingkungannya. Ini semua merupakan buah buruk dari penerapan sistem Kapitalisme sekuler yang jelas rusak dan merusak.
Sistem pendidikan hendaknya tidak sekadar berorientasi pada capaian materi seperti ketuntasan nilai atau peluang dalam memeroleh pekerjaan di masa mendatang. Kita membutuhkan sebuah reformasi sistemik di dalam kehidupan. Tidak akan terwujud suatu perbaikan kecuali pengaturan kehidupan kita dikembalikan pada mekanisme yang benar sesuai dengan ketentuan Sang Pencipta, yaitu Allah swt. Maka menjadi kepentingan kita semua untuk mengembalikan urusan kehidupan kita pada syariat Allah swt.
Baca juga:
Membebaskan Palestina, Hanya Khilafah yang Bisa
Dalam pandangan Islam, perundungan merupakan suatu perkara yang jelas melanggar syariat dan haram dilakukan oleh siapapun. Tidak hanya perundungan yang dilakukan secara fisik bahkan verbal pun dapat terkatagori sebagai kejahatan yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman. Setiap perbuatan yang melanggar syariat maka pelakunya wajib bertanggungjawab sesuai dengan ketetapan yang digariskan syara’.
Terkait pelaku perundungan, maka jika pelakunya telah berusia dewasa (baligh) maka melekat pada dirinya sebagai mukalaf yakni seseorang yang telah dibebankan hukum syara’ padanya. Sehingga berlaku seluruh sanksi bagi pelaku kejahatan seperti hukuman qishas jika korbannya terbunuh, dan adanya pemberlakuan diyat bagi setiap luka yang ditorehkan.
Dalam sistem pendidikannya, syariat Islam telah menjadikan akidah Islam sebagai fondasi dan pijakan satu-satunya, tidak ada yang lain. Akidah Islamlah yang akan membentuk kepribadian Islam pada diri generasi sejak usia dini, memahamkan pada diri setiap individunya bahwa mereka adalah hamba Allah yang wajib terikat pada syariat-Nya.
Pendidikan berbasis akidah Islam wajib diadakan oleh negara karena merupakan tanggungjawab negara, dalam hal ini penguasa, sebagai raa’in. Dalam salah satu hadits Nabi saw bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in, dan ia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Menurut Iman Suyuti kata raa’in (pemimpin) bermakna setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya.
Baca juga:
Tak Sekadar Fatwa, Palestina Butuh Jihad dan Khilafah
Alhasil, kualitas generasi sangat bergantung pada suasana kehidupan yang melingkupinya. Sistem Kapitalisme sekuler terbukti gagal mencetak generasi berkualitas baik dengan tabiat kerusakan yangn dibawanya. Merebaknya kasus perundungan menjadi salah satu bukti dampak kerusakan sistem ini.
Regulasi soal perlindungan anak pun tak mampu berkontribusi pada perbaikan generasi, terbukti tren perundungan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang using ini dengan aturan Sang Pencipta. Sebab hanya Allah swt yang Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi kehidupan manusia. Allahu’alam. [ry].