Ilustrasi Pinterest
Oleh: Ummu Zeyn
Beritakan.my.id, Opini_ Kasus korupsi nampaknya menjadi fenomena yang sulit lenyap di negeri ini. Kasus demi kasus terus terungkap secara bergantian . Baru -baru ini kasus korupsi kembali terjadi di negeri kita tercinta.
Kasus korupsi proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) nampaknya semakin menambah ramai bursa kasus korupsi di Indonesia. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp2,1 triliun dan berlangsung pada 2020—2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima tersangka, salah satunya adalah mantan Direktur Utama BRI Catur Budi Harto.
Deretan kasus korupsi menjadi semakin panjang dan kasus korupsi BRI baru-baru ini telah menambah daftar kasus yang harus ditangani. Padahal, kasus-kasus sebelumnya belum tuntas diselesaikan oleh KPK. Misalnya kasus korupsi gratifikasi pemberian kredit Bank Jawa Tengah periode 2014—2023, proyek e-KTP, dana bantuan sosial Covid-19, pengadaan lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, dll..
Sungguh sangat ironis, kejahatan yang dilakukan para pejabat yang merampas uang rakyat itu telah nyata menjadi tindakan yang menyengsarakan rakyat dan merugikan negara. Kerugian yang dialami negara akibat keserakahan para koruptor bukan lah angka yang sedikit.
Kasus yang terus berulang, bahkan kasus lama yang tak kunjung usai penyelesaiannya atau bahkan kasus yang penyelesaiannya kerap kali tidak adil atau dengan hukuman yang tidak setimpal menandakan bahwa selama ini solusi yang digunakan tidak menyentuh yang menjadi akar masalah.
Akar masalah penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang diterapkan di negeri ini, yaitu sekuler kapitalisme. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kini yang berkiblat pada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan dan hedonisme ini.
Tentu tidak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lain. Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya, individu yang tidak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam akan memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan.
Oleh karena itu, dalam Islam, pemimpin negara, misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, islam menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt..
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan kanaah dengan pemberian Allah Swt., maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih rida Allah Swt..
Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Itulah solusi yang diberikan Islam dalam mengatasi permasalahan kasus korupsi. Dan semua itu hanya akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah).
Wallaahu A'lam Bi-Ash-Shawwab