Otonomi Daerah Menimbulkan Potensi Disintegrasi

Admin Beritanusaindo
0

 

Rebutan pulau terjadi karena adanya aturan otonomi daerah (otda). Maka adanya kasus ini menunjukkan bahwa otda ini bisa menimbulkan konflik dan bahkan disintegrasi. Faktanya pertikaian tersebut muncul antara wilayah terutama jika menyangkut potensinya yang strategis/kaya SDA. Semua akibat sistem kapitalisme sekuler.




Oleh Umi Lia

Member Akademi Menulis Kreatif dan Autor Beritakan


Beritakan.my.id - OPINI - Ketegangan terjadi antara gubernur Aceh dan Sumatera Utara. Pasalnya, Kemendagri menetapkan empat pulau menjadi bagian Tapanuli Tengah, padahal sebelumnya berada di wilayah administrasi Aceh Singkil. Sontak, hal ini menimbulkan  kegaduhan, masyarakat Provinsi Aceh merasa telah kehilangan daerahnya secara sepihak. Anggota DPR yang berasal dari Aceh, Muslim Ayub, menilai polemik kepemilikan  ini diduga terjadi karena ada potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Setelah terjadi kisruh, pihak kementerian menyatakan akan mengkaji ulang keputusan tersebut. (CnnIndonesia.com, 15/6/2025)


Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah: Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek. Yang secara historis, geografis dan perbatasan masuk ke dalam wilayah Aceh. Namun Mendagri, Tito Karnavian berargumen bahwa batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) TNI AU dan Topografi AD. Jadi harus masuk ke wilayah Sumatera Utara. Di sisi lain, Gubernur Bobby Nasution berinisiatif untuk menenangkan keadaan dengan mengajak Pemprov setempat untuk sama-sama mengelola keempat pulau tersebut. Hanya saja Gubernur Aceh, Muzakir Manaf mengatakan untuk tidak memperdebatkan hak dan kewenangannya dalam mengelola daerahnya.


Presiden Prabowo pun akhirnya turun tangan untuk menengahi. Dalam sebuah rapat tertutup di istana tanggal 17 Juni 2025, akhirnya pemerintah memutuskan keempat pulau tersebut masih masuk wilayah administrasi Aceh Singkil. Sehingga Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek batal menjadi bagian Sumatera Utara. Meski letaknya lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, tapi itu bukan syarat untuk menetapkan satu wilayah masuk ke provinsi paling dekat.


Namun demikian masyarakat harus tetap waspada dan  kritis karena kasus seperti ini mungkin saja terjadi kembali terutama pada pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan. Karena dalam sistem kapitalisme, penguasa dan pengusaha bisa bekerja sama dalam mengeksploitasi wilayah yang mengandung SDA. Daratan atau nusa, laut bahkan langit pun jadi objek bisnis mereka.


Rebutan pulau terjadi karena adanya aturan otonomi daerah (otda). Maka adanya kasus ini menunjukkan bahwa otda ini bisa menimbulkan konflik dan bahkan disintegrasi. Faktanya pertikaian tersebut muncul antara wilayah terutama jika menyangkut potensinya yang strategis/kaya SDA. Sistem ini sendiri lahir dari kerangka berpikir demokrasi sekuler kapitalis yang berkembang di Barat pasca revolusi industri dan modernisasi. Otonomi dipandang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi lokal. Sehingga pemerintahan pusat tidak harus mengurusi daerah yang lebih jauh tempatnya, karena kepengurusannya sudah tertangani.


Namun dalam konteks negara berkembangbiak seperti Indonesia hal ini seringkali mendatangkan masalah baru. Alih-alih memperkuat keadilan dan pemerataan, justru timbul konflik kepentingan, tarik menarik kekuasaan serta eksploitasi SDA atas nama pembangunan. Dalam kasus Aceh yang memiliki status otonomi khusus pengalihan wilayah ini dianggap mencederai semangat desentralisasi itu sendiri. Masyarakat merasa hak-haknya diabaikan dan kepentingan strategis daerah dikalahkan oleh kepentingan pusat yang terkesan sepihak dan tidak transparan.


Selain itu, kasus ini menunjukkan bahwa sistem otda yang diadopsi dari model Barat, hanya dimanfaatkan oleh elit-elit politik untuk kepentingan jangka pendek bukan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Serta memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur urusan pemerintah termasuk pengelolaan pendapatan asli daerah (PAD). Akibatnya muncul perbedaan kesejahteraan antar wilayah terutama antara daerah kaya SDA seperti migas dan tanah yang miskin potensi. Ketimpangan ini memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik. Ketidakmerataan kesejahteraan juga dapat menjadi ancaman disintegrasi. Ideologi kapitalisme yang diterapkan negara saat ini tidak peduli dengan disintegrasi wilayah. 


Sehingga negara yang mudah dipecah belah seperti ini menguntungkan para penjajah. Menjadi tidak sulit untuk dimanfaatkan dan dieksploitasi sehingga akhirnya menjadi bangsa yang lemah secara ekonomi, politik, pemerintah dan kedaulatannya. Sementara itu otda memiliki potensi perpecahan di tengah masyarakat. Untuk itu solusinya adalah dengan konsep sentralisasi. Di Indonesia sendiri ide sentralisasi menimbulkan kekhawatiran karena pengalaman waktu zaman Orde Baru. Padahal sebenarnya akar masalahnya ada pada ideologi yang diadopsi.


Dalam sistem sentralisasi, pengelolaan SDA dan pembangunan lebih merata karena berada di bawah kendali pusat. Hanya saja hal ini bisa ditemukan jika Islam kafah diterapkan di bawah institusi khilafah. Pengelolaan wilayah dilakukan secara sentralistik di bawah kepemimpinan khalifah yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat tanpa membedakan satu daerah dengan yang lain. Islam tidak mengenal konsep otda seperti dalam demokrasi yang membagi kewenangan secara bebas kepada masing-masing wilayah. Sebaliknya seluruh urusan pemerintahan termasuk pengelolaan SDA dan pendistribusian kekayaan berada di bawah kendali pusat yang diatur berdasarkan syariah. Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri tidak tergantung pada potensi ekonomi atau pendapatan daerah.


Terkait SDA, negara wajib mengelola semua kekayaan alam seperti  tambang migas, laut dan hutan sebagai milik umum (milkiyah amah) yang hasilnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air dan api." (HR Abu Daud)


Hadis ini menjadi dasar bahwa sumber daya strategis tidak boleh dimiliki individu atau dikuasai daerah tertentu. Melainkan harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh umat. Dengan cara seperti ini Islam mampu mencegah kecemburuan sosial antar wilayah, menghindari ketimpangan pembangunan dan menjamin bahwa setiap warga mendapatkan haknya secara adil dan merata tanpa tergantung pada lokasi geografis atau kekayaan alam daerah tempat tinggalnya. Inilah keunggulan sistem sentralistik dalam Islam yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan bersama. Negara harus berlaku adil dan amanah dalam mengurus seluruh urusan rakyatnya tanpa memandang perbedaan suku, daerah ataupun tingkat ekonomi.


Negara yang adil tergantung pada ideologi yang diadopsinya dan penguasanya yang amanah. Maka faktor ketakwaan para pejabat sangat penting, ditambah dengan kepedulian masyarakat yang memperhatikan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Disamping itu hukum Allah yang ditegakkan negara akan menutup celah terjadinya penyelewengan yang dilakukan aparat. Dalam sistem Khilafah, ada yang disebut wali dan amil atau setingkat gubernur dan bupati, yang diangkat dengan tugas umum atau khusus. Maksudnya dengan kewenangan yang luas atau terbatas. Sementara urusan militer, peradilan dan keuangan ada yang mengurusnya secara terpisah dan langsung di bawah kontrol khalifah.


Menurut Syeikh Taqiudin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Islam, pembangunan dan kemajuan tidak akan menimbulkan kesenjangan di tengah masyarakat dan antar wilayah. Karena target Khilafah adalah memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) seluruh individu rakyat. Sementara daerah yang kaya SDA tidak diperlakukan khusus sehingga menimbulkan ketimpangan dengan provinsi lain yang minim potensi alamnya. Karena itu akan mengantarkan kepada perebutan tanah atau pulau seperti di sistem kapitalisme. Sebaliknya Khilafah akan menyeimbangkan atau meratakan kekayaan pada seluruh warganya. Seperti yang terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khaththab ra. ketika Madinah paceklik, khalifah mengirim surat ke para walinya agar mereka mengirimkan pertolongan untuk mengakhiri musibah. Tidak lama kemudian bantuan itu datang.


Kisah ini menggambarkan bagaimana kepedulian mereka kepada saudara-saudaranya begitu kuat terjalin. Sistem pemerintahan yang sentralistik dalam khilafah dan pemimpin yang amanah bisa menyatukan umat. Tidak ada kesenjangan antara wilayah yang kaya SDA dengan yang tidak. Sehingga potensi disintegrasi tidak ada sama sekali. Itu semua karena ideologi yang diadopsi adalah sahih sesuai fitrah manusia berasal dari Sang Pencipta. Maka dari itu penerapan Islam kafah dan penegakkan khilafah sangat urgen di saat ketimpangan terjadi dan disintegrasi mengancam.

Wallahu a'lam bish shawab.

Editor: Rens


Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)