Oleh: Nur Elmiati, S.Pd
Beritakan.my.id--Jika ingin melihat hancurnya sebuah negara, maka lihatlah apakah korupsi itu tumbuh subur ataukah tidak di dalamnya. Kata-kata di atas menjadi prolog yang memantik bagaimana wajah korupsi di Indonesia, apakah sudah mereda ataukah justru semakin tumbuh subur?
Ternyata korupsi semakin tumbuh subur bahkan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto saat menjadi pembicara di acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, mengatakan bahwa ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Bahaya itu adalah state capture, kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik (Kumparan.com, 20-06-2025).
State Capture, Jalan Ninja Korupsi
Indonesia dinobatkan menjadi negara terkorup nomor 5 se-ASEAN 2023 dengan IPK 34. Karena memang Indonesia berada di fase “Klasemen Liga Korupsi Indonesia”, bagaimana tidak? Sudah banyak kasus korupsi yang menyebabkan kerugian besar. Sebut saja kasus Pertamina (Rp968,55 triliun), PT Timah (Rp300 triliun), BLBI (Rp138 triliun), PT Duta Palma Group (Rp78 triliun), PT TPPI (37,8 triliun), PT Asabri (22,7 triliun), PT Asabri (Rp22,7 triliun) dan PT Jiwasraya (16,8 triliun) dan yang terbaru PT. Wilma Group (11, 8 Triliun). (Muslimah News.com, 27-06-2025).
Baca juga:
Marak Konten Sampah, Lemahnya Pengawasan Negara
Faktanya kian terbuka lebar, bahwa semua kasus korupsi ini melibatkan korporasi dan para Kapitalis besar yang bekerja sama dengan oknum pejabat hingga merugikan negara dalam jumlah yang luar biasa. Kasus-kasus ini merupakan realitas state capture di Indonesia. Sebagai contoh, praktik korupsi yang melibatkan Wilmar dan beberapa anak usahanya. Perusahaan-perusahaan ini menyuap pejabat untuk mempercepat proses izin ekspor CPO (Berita Satu.com, 18-06-2025).
State capture merupakan jalan ninja untuk korupsi, dimana suatu kelompok atau individu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan dan keputusan pemerintah, sehingga mereka dapat mengontrol dan memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Maka tidak heran, banyak pengusaha dengan mudah mengelola kekayaan negara sebab bermain dengan penguasa.
Korupsi Tidak Lahir Dari Ruang Hampa
State capture sejatinya keniscayaan dalam sistem politik Demokrasi Kapitalisme yang berakidah sekuler yang diterapkan hari ini. Akidah sekulerisme inilah yang menjadi konstruksi dasar model sistem politik modern (demokrasi). Hubungan keduanya dapat kita lihat dari kredo prinsipil demokrasi; kedaulatan rakyat. Kredo ini bermakna penyerahan otoritas pembuatan undang-undang kepada manusia (rakyat). Hal ini memiliki keterkaitan erat dengan sekulerisme yang mengamputasi peran agama dalam domain politik.
Maka dalam sistem demokrasi kapitalisme yang kental dengan politik transaksional, penguasa yang ingin menduduki tahta kekuasaan membutuhkan modal superbesar untuk maju dalam kontestasi sehingga membutuhkan kucuran dana dari para pengusaha (kapitalis), sebab kursi kekuasaan itu mahal. Sebagai contoh, beberapa calon kepala daerah pada Pilkada 2024 mengaku telah mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Tentu para calon tersebut tidak memiliki dana sebesar itu sehingga mereka melakukan kolusi dengan para kapitalis untuk mendapatkan dana segar.
Baca juga:
Palestina dan Kebangkitan Umat di Depan Mata
Sebagai kompensasi, para pengusaha kapitalis tersebut akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang pro Kapitalis. Selanjutnya, lahirlah regulasi yang menguntungkan Kapitalis dan merugikan rakyat, seperti UU Ciptaker, UU Minerba, UU Omnibus Law dan lain-lain menjadi karpet merah bagi oligarki. Dengan UU ini, para oligarki bergerak bebas seperti dewi-dewi yang tidak bisa disentuh. Menurut Walhi, kerugian negara akibat korupsi sumber daya alam ditaksir mencapai Rp 437 Triliun dan ini belum di aspek yang lain.
Inilah yang terjadi ketika Demokrasi dan korupsi menjadi satu kesatuan, ia tidak lahir dari ruang hampa melainkan para pejabat memberikan izin eksploitasi kekayaan negara dan memuluskan jalan bagi kartel-kartel besar.
Sebab korporasi memiliki kekuatan untuk memanipulasi kebijakan, menciptakan produk hukum yang menguntungkan mereka dan memanfaatkan infrastruktur pemerintah untuk menutupi kejahatan mereka. Maka benar, Demokrasi telah menjadi alat untuk pemuasan kepentingan segelintir elit. Sementara rakyat harus menelan pahit berupa kesengsaraan hidup dan kerusakan lingkungan.
Korupsi Semakin Subur, Islam Solusinya!
Ideologi Kapitalisme sekular melahirkan sistem yang rusak dengan penguasa yang rakus dan koruptor yang semakin subur. Maka tidak ada jalan lain untuk membasmi korupsi kecuali dengan Islam. Islam merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh, maka setiap inci kehidupan sudah diatur oleh Islam termasuk soal negara.
Baca juga:
Kasus Perundungan Berulang, Apa Kabar Perlindungan Anak?
Khilafah merupakan pemerintahan Islam yang bersih. Khilafah mampu secara efektif mencegah terjadinya state capture sejak aspek mendasar, yaitu asas kehidupan masyarakat. Akidah Islam menjadi asas kehidupan dalam Khilafah, baik bagi individu, masyarakat, maupun negara. Setiap individu dibentuk memiliki keimanan dan ketakwaan yang kukuh sehingga bersikap jujur dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan korup.
Para pejabat dalam Khilafah akan memandang jabatan sebagai amanah yang harus dijalankan sesuai dengan hukum syariat dan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Taala pada hari akhir. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II hlm. 158 menjelaskan bahwa penguasa haruslah orang yang kuat, yaitu memiliki kekuatan kepribadian (syakhsiyah) berupa kekuatan akal (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) Islam.
Kedua, sistem rekrutmen pejabat dalam Khilafah sederhana dan murah, tetapi efektif. Penguasa dalam Khilafah harus memenuhi tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu (kapabel). Ketiga, Khalifah wajib menjalankan pemerintahan dengan hukum Islam. Keempat, pengelolaan harta Baitulmal harus sesuai syariat. Kelima, Khalifah akan melakukan pengawasan terhadap harta para pejabat.
Keenam, terdapat sanksi tegas dan menjerakan bagi siapa pun yang terbukti melakukan tindakan khianat terhadap harta umat. Hukuman untuk koruptor adalah takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah atau qadi. Bentuk takzir mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hlm. 78-89).Wallahu'alam bissawab. [ry].