Oleh Tiktik Siti Mukarromah
Pegiat Literasi
Beritakan.my.id - OPINI - Pendidikan adalah fondasi peradaban. Namun bagaimana mungkin kita berharap pada kokohnya pondasi, jika tukang bangunnya yakni para guru terus dibiarkan dalam kondisi rapuh dan tak sejahtera? Pernyataan dari anggota Komisi X DPR RI yakni Juliyatmono, yang menyebut idealnya gaji guru di Indonesia adalah Rp 25 juta per bulan memicu diskusi hangat di ruang publik. Ia beralasan bahwa kesejahteraan guru akan berdampak besar pada motivasi kerja dan kualitas pendidikan nasional di Indonesia. Namun kenyataan di lapangan jauh dari kata ideal. Gaji guru ASN golongan III hanya berkisar antara Rp 4 hingga Rp 7 juta per bulan. Di sisi lain, guru honorer masih banyak yang digaji di bawah UMR, bahkan ada yang hanya menerima ratusan ribu rupiah setiap bulannya.
Laporan BPS Februari 2025 menunjukkan bahwa sektor pendidikan termasuk lima besar sektor bergaji terendah di Indonesia yakni hanya Rp 2,79 juta per bulan. Pemerintah memang telah menggulirkan tunjangan profesi, bantuan studi, hingga bantuan tunai bagi guru non sertifikasi. Tetapi, apakah kebijakan ini cukup? Apakah insentif berskala kecil ini bisa mengangkat martabat para pendidik yang memikul beban besar membentuk karakter generasi bangsa? Fakta justru berbicara sebaliknya. Banyak guru yang harus mencari penghasilan tambahan, kehilangan waktu berkualitas dengan keluarga, bahkan harus meninggalkan idealisme mengajar karena kebutuhan hidup yang cukup mendesak. (detikedu.com, 11/05/2025)
Fenomena ini bukan hanya masalah teknis anggaran, tetapi cerminan dari cara pandang sistemik. Di dalam sistem kapitalisme sekuler, profesi dinilai berdasarkan kontribusi ekonomi. Profesi guru yang tidak dianggap menghasilkan keuntungan langsung, cenderung dipinggirkan dari prioritas anggaran. Pendidikan pun dijalankan lebih sebagai sektor jasa bukan sebagai kewajiban negara membentuk manusia paripurna. Akibatnya, guru kehilangan martabat sosial, dan masyarakat kehilangan orientasi pendidikan yang hakiki.
Sistem Kapitalisme Adalah Akar Masalah
Masalah rendahnya kesejahteraan guru sesungguhnya adalah potret dari cacat fundamental sistem kapitalisme yang diadopsi oleh banyak negara. Dalam sistem ini, nilai seseorang diukur berdasarkan produktivitas ekonomi. Profesi guru yang hasil kerjanya tidak menghasilkan uang secara langsung akan terus terpinggirkan.
Lebih miris lagi, pendidikan diposisikan sebagai komoditas. Guru dijadikan pelaksana proyek, bukan pelaku pembentuk karakter. Beban administrasi, laporan tak berujung, target kurikulum, semua menjadi tekanan yang membuat profesi ini kering secara ruhiyah dan material. Padahal merekalah yang seharusnya dibekali ketenangan lahir batin agar mampu mencetak generasi cemerlang.
Dalam sistem Islam, guru tidak dibiarkan menggantungkan hidup pada subsidi atau insentif tahunan. Negara menjamin penuh kebutuhan hidup mereka, dengan gaji tetap dan fasilitas hidup yang layak. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa seluruh kebutuhan pendidikan umat, termasuk kesejahteraan guru, wajib dibiayai dari Baitul Mal. Bahkan, bila kas negara kosong, negara tetap harus memenuhinya dari harta kaum Muslimin, karena ini adalah hak rakyat dan tanggung jawab negara.
Mengambil rujukan dari kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz bisa menjadi bukti sejarah bahwa sistem Islam mampu merealisasikan kesejahteraan tersebut. Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahannya, para guru dan pengajar anak-anak diberi gaji dari Baitul Mal secara tetap. Tidak hanya itu, kebutuhan hidup mereka dicukupi oleh negara sehingga mereka bisa fokus mendidik generasi dengan tenang. Bahkan disebutkan, pada masa Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ditemukan lagi rakyat yang layak menerima zakat, saking meratanya kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat termasuk guru dan penuntut ilmu.
Islam memandang guru secara berbeda. Dalam Islam, guru adalah penjaga ilmu, penerus tugas kenabian, dan tiang peradaban. Dari Abu Umamah al-Bahili Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasalam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut dalam lubangnya dan ikan di laut, semuanya mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan bahwa kemuliaan guru bukan hanya secara sosial, tapi juga spiritual. Maka sudah sewajarnya negara Islam menempatkan kesejahteraan guru sebagai tanggung jawab utama yang tidak bisa ditunda atau dikompromikan.
Bukti lain dari tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu dan pengajar tercermin dari kisah pada masa Khalifah Al-Ma’mun dari Daulah Abbasiyah. Ketika mendirikan Bayt al-Hikmah, pusat ilmu dan penerjemahan terbesar pada masanya, para penerjemah dan penulis seperti Hunayn ibn Ishaq diberi bayaran yang sangat tinggi bahkan kitab hasil karya mereka ditimbang, lalu dibayar dengan emas seberat buku tersebut. Ini bukan sekadar cerita romantik sejarah, melainkan realitas bahwa ilmu dan pengajarnya sangat dihargai secara nyata, bukan hanya dengan pujian dan seremoni.
Sistem Total yang Memuliakan Guru
Islam tidak hanya memberikan pengakuan terhadap pentingnya guru, tapi juga menghadirkan sistem konkret untuk menjamin kesejahteraan mereka secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam sistem Islam, pendidikan diposisikan sebagai kebutuhan pokok publik yang wajib disediakan negara. Negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan pendidikan dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa pungutan biaya, dan hal ini mencakup jaminan terhadap kesejahteraan para pengajarnya.
Di sisi lain, guru tidak diposisikan sebagai pelaksana kebijakan semata, melainkan sebagai bagian dari institusi pembentuk peradaban. Negara Islam akan membayarkan gaji guru dari Baitul Mal, bukan bergantung pada fluktuasi APBN atau kondisi politik sesaat. Dengan demikian, guru tidak akan lagi hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tidak perlu mencari pekerjaan tambahan, dan dapat fokus penuh dalam menjalankan tugas mendidik generasi. Kesejahteraan mereka dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab permanen negara terhadap rakyat.
Negara Islam juga menyediakan sarana pendukung seperti tempat tinggal, layanan kesehatan, transportasi, pelatihan profesi, dan akses terhadap sumber daya pendidikan. Negara bukan hanya membayar upah, tapi juga membangun ekosistem pendidikan yang berkualitas, mulai dari fasilitas mengajar hingga riset dan pengembangan ilmu. Semua ini menjadi bukti bahwa Islam sangat serius menjadikan pendidikan sebagai fondasi peradaban yang kokoh.
Lebih jauh lagi, Islam menempatkan guru dan ulama dalam posisi yang sangat mulia. Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Para ulama adalah pewaris para nabi.” Dalam sistem Islam, guru adalah pewaris risalah, dan keberadaan mereka dijaga dengan penuh kemuliaan. Oleh karena itu, penghormatan terhadap mereka bukan sekadar retorika, tetapi diwujudkan dalam bentuk perlindungan sosial, penghargaan material, dan kepercayaan ideologis.
Dengan sistem seperti ini, maka kemuliaan dan kesejahteraan guru tidak lagi menjadi angan-angan atau proyek sementara. Guru akan hidup tenang, sejahtera, dan mulia. Mereka tidak hanya didoakan, tapi juga dilindungi, difasilitasi, dan dijadikan poros utama dalam membangun masyarakat berperadaban tinggi. Inilah bukti bahwa hanya dalam sistem Islam kaffah, guru benar-benar dihormati bukan sekadar sebagai profesi, tetapi sebagai pelita umat.
Gaji guru sebesar Rp25 juta per bulan tentu ideal. Tapi realisasi angkanya tidak akan pernah cukup tanpa sistem yang menopangnya. Kapitalisme sekuler akan selalu memprioritaskan proyek-proyek politik dan kepentingan elite, bukan kesejahteraan para pendidik. Maka, pertanyaannya bukan hanya 'berapa gaji guru yang ideal' tetapi 'sistem apa yang mampu menjamin kesejahteraan guru secara menyeluruh dan berkeadilan'. Jawabannya hanya satu yakni sistem Islam, yang telah terbukti secara historis dan konseptual mampu mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemuliaan profesi guru dalam kerangka membangun peradaban.
Karena hanya dalam naungan Islam kaffah, guru tidak hanya dihormati dengan gelar, tapi juga disejahterakan, difasilitasi, dan diberi peran penting dalam membentuk generasi umat terbaik.
Wallaahu ‘alam bisshawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.